Helena Lose Beraf
(Tinggal di Tangerang)
CAKRAWALANTT.COM - Di waktu
libur ini, saya sering mendengar lagu-lagu di Spotify untuk menemani aktivitas. Lagu-lagu yang menarik perhatian
saya antara lain adalah “Idgitaf :
Satu-Satu”, “Yura Yunita : Tenang”, “Nadin : Beranjak Dewasa”, “Suara Kayu :
Kembali Pulang”, dan “Febby Putri & Fiersa Besari : Runtuh”.
Bagi saya,
penulis lagu-lagu di atas memiliki kepedulian dan kegelisahan yang sama
terhadap masalah-masalah manusia dewasa ini. Lagu-lagu ini pun membawa saya
pada sejumlah pertanyan sekaligus sebuah refleksi panjang tentang “Manusia, Inner Child, dan Sesuatu
yang Belum Selesai”.
Untuk
mengenal dan memahami manusia (bahkan diri kita sendiri), dimulai dengan
menggali akar-akar yang ditanamkan jauh sebelum manusia (kita) memiliki
kata-kata untuk mengartikulasikan apa yang terjadi pada kita.
Kita dapat
meminjam istilah “Biji Menyimpan Pohon”
barangkali maksudnya adalah kalau ingin mengerti pohonnya, kita harus kembali
ke bijinya.
Rahim sebagai
Tabung Emosi
Dalam sebuah
kesempatan kuliah umum psikologi, saya pernah mendengar seorang ahli berkata, “Saat
ibu mengandung selama sembilan bulan, rahim bukan hanya sebagai tempat anak
manusia tumbuh dan hidup di sana, lebih dari itu, rahim adalah ‘tabungan emosi’”.
Kalimat itu
sontak menggugah hati dan pikiran saya. Indah sekali mempelajari kembali mata
kuliah kebidanan dulu, tapi dalam bingkai ilmu psikologi.
Tabung emosi,
selama sembilan bulan mengandung, ibu pun menabung benang-benang emosi dalam
rahim bersama bayinya.
Emosi (positif
maupun negatif) itu tidak diam, ia senantiasa bergerak dan mempengaruhi seluruh
aspek perkembangan janin. Bahkan, sampai janin itu tumbuh menjadi bayi, dilahirkan,
menjadi anak kecil yang lugu, menjadi dewasa, dan menua.
Jadi, dapat
dikatakan bahwa rahim bukan hanya sebagai “benda biologis”, tapi lebih dari itu,
rahim adalah tanda cinta dan pengetahuan.
Menurut WHO, lebih
dari 13 juta bayi lahir ke dunia setiap tahunnya. Setiap bayi datang membawa
situasi sosial, ekonomi, dan budaya yg unik. Beberapa bayi disambut dengan rasa
syukur dan sukacita , dibuai dalam tangan-tangan orang tua dan keluarga mereka
yang gembira.
Sementara
itu, bayi-bayi lain mengalami penolakan dari ibu muda yang memimpikan kehidupan
yang lain, pasangan yang diremukkan oleh tekanan kemiskinan, atau ayah pemarah
yang mengabaikan lingkaran kekerasan.
Entah, apakah
bayi itu dicintai atau tidak, setiap bayi yang lahir saat ini maupun di masa
lalu berbagi satu sifat penting yang mendalam. Apapun situasi tempat kita
dilahirkan, kita datang ke dunia dengan memiliki rasa utuh dalam diri. Kita
tidak memulai hidup kita dengan bertanya, “Apakah aku cukup?”, “Apakah aku
pantas?”, “Apakah aku boleh mengalami ini atau boleh dicintai?”.
Eric Fromm
dalam bukunya “The Art of Loving”
menjelaskan bahwa teori tentang cinta harus mulai dengan teori tentang manusia
dan eksistensi manusia.
Fakta
menyedihkan adalah bahwa sejak dari dalam rahim (bayi) sampai tumbuh (anak-anak)
pun sudah bisa mengalami keterasingan eksistensinya; suatu kondisi terlempar
dari cinta. Pengalaman ini menimbulkan
kegelisahan. Itulah sesungguhnya yang menjadi sumber dari segala kegelisahan.
Luka Batin
dan Trauma Masa Kecil
Luka bukan
hanya luka fisik, tapi ada juga luka batin. Sedari kecil, kita jarang
membicarakan luka batin, karena terlalu absurd, abstrak, dan mungkin terlalu
tabu. Berbeda dengan luka fisik yang jelas wujudnya. Misalnya, ketika kita
terjatuh dan terluka, ibu akan segera membasuh dan membersihkannya. Atau, ayah akan
segera mencari obat dan menutup bagian yang terluka.
Kita tentu
bisa mengetahui dengan pasti bentuk luka tersebut dan cairan merah itu bernama
darah. Dari situ kita belajar bahwa ketika ada luka, maka harus segera
dibersihkan, diberi obat, dan ditutup agar tidak infeksi dan bernanah.
Namun, saat
kita menangis kecewa karena tidak juara, saat kita marah karena orang tua
berbohong untuk menenangkan kita, saat kita tidak mendapat apresiasi dari orang
tua atau guru kita ketika kita juara, atau saat kita merasa sedih karena
mendapat perlakuan tidak adil, atau bahkan menangis sedih melihat kekerasan di
depan mata kita, tidak ada satu pun yang memberi tahu bahwa tiap emosi punya
nama.
Tidak ada yang
mengajarkan kita bahwa peristiwa-peristiwa (dan peristiwa lainnya) tersebut
punya nama. Tidak ada yang mengajarkan kita bahwa peristiwa-peristiwa tersebut
menimbulkan luka, meski tidak ada wujud darahnya. Luka itu adalah luka batin
yang juga perlu diobati. Namun, kebanyakan orang hanya berkata, “Sudahilah
tangisnya” atau “Sudahlah, nanti kelihatan jelek kalau menangis. Nanti kita
beli permen supaya jangan menangis lagi”.
Luka batin
kita tak pernah disembuhkan, melainkan hanya terus dialihkan. Saat tumbuh
dewasa, kita merasakan amarah pada orang-orang tua, rasa curiga yang amat besar
pada pasangan, atau merasa tak pernah punya teman dekat atau selalu merasa
diabaikan. Kita tak pernah tahu di mana rasa itu berada dan dari mana perasaan
itu berasal. Perselisihan, pengabaian, konflik, kritik, dan tangis seakan
selalu mewarnai kehidupan dewasa kita.
Banyak yang
merasa hidup harusnya baik-baik saja, karena punya pendidikan, sudah punya
pekerjaan, sudah punya pacar/pasangan, dan kedua orang tua masih sehat, serta
hidup berkecukupan. Dengan keadaan seperti itu, kita menyangka akan berbahagia.
Alih-alih kita merasa hampa dan seperti tidak mengenal diri kita sendiri.
Namun
sesungguhnya, yang tidak kita kenal adalah emosi dan luka-luka batin yang kita
endapkan bertahun-tahun lamanya sejak masih kecil dan masih sangat lugu.
Pengalaman
masa kecil seseorang di masa lalu dapat menimbulkan sejumlah trauma. Misalnya, ketika
anak mengalami pengabaian, penolakan, buruknya bounding dan attachment dengan
orang tua, kurang kasih sayang, serta perhatian, inner child dalam diri bisa terluka. Apabila luka tersebut tidak
disembuhkan, maka orang tua tidak memahami konsep ini dan berlaku abai daripada
mengambil langkah tepat untuk mengurangi rasa sakit akibat peristiwa traumatis
tersebut. Akibatnya, anak akan tumbuh dengan sejumlah permasalahan yang
memiliki efek destruktif hingga dewasa.
Di sinilah
biasanya permasalahan kita saat dewasa berakar. Banyak orang dewasa menjadi
sangat rentan, merasa tidak aman dengan dunia, dan kehilangan kualitas-kualitas
diri seperti rasa cinta kasih, kejujuran, rasa aman, bahagia, serta tidak
merasa bersalah pada diri sendiri.
Kenali,
Maafkan, Hargai
Semua yang
terjadi dalam hidup kita, dari sejak bayi hingga dewasa dan lanjut usia, tentu
akan kita dapati dalam berbagai peristiwa menyakitkan. Peristiwa tersebut
meninggalkan luka. Peristiwa itu bisa saja datang dari orang tua, guru,
kerabat, atau bahkan pasangan yang kita cintai dan percayai tidak akan
menyakiti.
Hidup adalah tentang
bagaimana kita menerima setiap peristiwa, baik itu menyenangkan maupun
menyakitkan, serta memaafkan orang-orang yang terlibat di dalamnya, termasuk
diri kita sendiri.
Hidup tidak
berjalan dengan sistem aku adalah korban, aku tersakiti, dan dia berhak menerima
rasa sakit yang sama sepertiku. Namun, hidup adalah tentang bagaimana kita
sebagai manusia yang menderita mau dan berusaha untuk “memutus” rantai derita
dari pola-pola yang sama, dari luka batin satu ke luka batin selanjutnya, dari
luka orang tua ke anak-anaknya, dari luka batin pada satu generasi ke generasi
seterusnya.
Sejatinya,
rasa sakit yang disebabkan oleh siapa pun adalah “momentum” untuk “mengirimkan
sinyal” bahwa diri kita (anak kecil/inner
child dalam diri kita) perlu kita sapa.
Sudah
waktunya bagi kita untuk menengok ke dalam, mencari bagian mana yang lalai kita
perhatikan dan menyebabkan rasa sakit itu masih saja kita simpan dan tidak kita
sembuhkan. Maka, sembuhkanlah luka-luka itu, selesaikanlah masalah-masalah
dalam diri, dan terimalah segala peristiwa hidup sebagai “ladang untuk belajar”.
Terimalah diri kita sendiri dan pelan-pelan maafkan diri ini.
Maafkan diri
kita yang belum mampu melindungi diri dengan sempurna. Maafkan diri kita yang
masih terluka dan belum pulih. Memaafkan diri sendiri adalah upaya kita
memulihkan segala luka dan melepaskan beban emosi. (MDj/red)
0 Comments