Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Manusia dan “Inner Child”: Sesuatu yang Belum Usai


Helena Lose Beraf

(Tinggal di Tangerang)



CAKRAWALANTT.COM - Di waktu libur ini, saya sering mendengar lagu-lagu di Spotify untuk menemani aktivitas. Lagu-lagu yang menarik perhatian saya antara lain adalah  “Idgitaf : Satu-Satu”, “Yura Yunita : Tenang”, “Nadin : Beranjak Dewasa”, “Suara Kayu : Kembali Pulang”, dan “Febby Putri & Fiersa Besari : Runtuh”.

 

Bagi saya, penulis lagu-lagu di atas memiliki kepedulian dan kegelisahan yang sama terhadap masalah-masalah manusia dewasa ini. Lagu-lagu ini pun membawa saya pada sejumlah pertanyan sekaligus sebuah refleksi panjang tentang “Manusia, Inner Child, dan Sesuatu yang Belum Selesai”.  

 

Untuk mengenal dan memahami manusia (bahkan diri kita sendiri), dimulai dengan menggali akar-akar yang ditanamkan jauh sebelum manusia (kita) memiliki kata-kata untuk mengartikulasikan apa yang terjadi pada kita.

 

Kita dapat meminjam istilah “Biji Menyimpan Pohon” barangkali maksudnya adalah kalau ingin mengerti pohonnya, kita harus kembali ke bijinya.

 

Rahim sebagai Tabung Emosi

 

Dalam sebuah kesempatan kuliah umum psikologi, saya pernah mendengar seorang ahli berkata, “Saat ibu mengandung selama sembilan bulan, rahim bukan hanya sebagai tempat anak manusia tumbuh dan hidup di sana, lebih dari itu, rahim adalah ‘tabungan emosi’”.

 

Kalimat itu sontak menggugah hati dan pikiran saya. Indah sekali mempelajari kembali mata kuliah kebidanan dulu, tapi dalam bingkai ilmu psikologi.

 

Tabung emosi, selama sembilan bulan mengandung, ibu pun menabung benang-benang emosi dalam rahim bersama bayinya.

 

Emosi (positif maupun negatif) itu tidak diam, ia senantiasa bergerak dan mempengaruhi seluruh aspek perkembangan janin. Bahkan, sampai janin itu tumbuh menjadi bayi, dilahirkan, menjadi anak kecil yang lugu, menjadi dewasa, dan menua.

 

Jadi, dapat dikatakan bahwa rahim bukan hanya sebagai “benda biologis”, tapi lebih dari itu, rahim adalah tanda cinta dan pengetahuan.

 

Menurut WHO, lebih dari 13 juta bayi lahir ke dunia setiap tahunnya. Setiap bayi datang membawa situasi sosial, ekonomi, dan budaya yg unik. Beberapa bayi disambut dengan rasa syukur dan sukacita , dibuai dalam tangan-tangan orang tua dan keluarga mereka yang gembira.

 

Sementara itu, bayi-bayi lain mengalami penolakan dari ibu muda yang memimpikan kehidupan yang lain, pasangan yang diremukkan oleh tekanan kemiskinan, atau ayah pemarah yang mengabaikan lingkaran kekerasan.

 

Entah, apakah bayi itu dicintai atau tidak, setiap bayi yang lahir saat ini maupun di masa lalu berbagi satu sifat penting yang mendalam. Apapun situasi tempat kita dilahirkan, kita datang ke dunia dengan memiliki rasa utuh dalam diri. Kita tidak memulai hidup kita dengan bertanya, “Apakah aku cukup?”, “Apakah aku pantas?”, “Apakah aku boleh mengalami ini atau boleh dicintai?”.

 

Eric Fromm dalam bukunya “The Art of Loving menjelaskan bahwa teori tentang cinta harus mulai dengan teori tentang manusia dan eksistensi manusia.

 

Fakta menyedihkan adalah bahwa sejak dari dalam rahim (bayi) sampai tumbuh (anak-anak) pun sudah bisa mengalami keterasingan eksistensinya; suatu kondisi terlempar dari cinta. Pengalaman ini menimbulkan kegelisahan. Itulah sesungguhnya yang menjadi sumber dari segala kegelisahan.

 

Luka Batin dan Trauma Masa Kecil

 

Luka bukan hanya luka fisik, tapi ada juga luka batin. Sedari kecil, kita jarang membicarakan luka batin, karena terlalu absurd, abstrak, dan mungkin terlalu tabu. Berbeda dengan luka fisik yang jelas wujudnya. Misalnya, ketika kita terjatuh dan terluka, ibu akan segera membasuh dan membersihkannya. Atau, ayah akan segera mencari obat dan menutup bagian yang terluka.

 

Kita tentu bisa mengetahui dengan pasti bentuk luka tersebut dan cairan merah itu bernama darah. Dari situ kita belajar bahwa ketika ada luka, maka harus segera dibersihkan, diberi obat, dan ditutup agar tidak infeksi dan bernanah.

 

Namun, saat kita menangis kecewa karena tidak juara, saat kita marah karena orang tua berbohong untuk menenangkan kita, saat kita tidak mendapat apresiasi dari orang tua atau guru kita ketika kita juara, atau saat kita merasa sedih karena mendapat perlakuan tidak adil, atau bahkan menangis sedih melihat kekerasan di depan mata kita, tidak ada satu pun yang memberi tahu bahwa tiap emosi punya nama.

 

Tidak ada yang mengajarkan kita bahwa peristiwa-peristiwa (dan peristiwa lainnya) tersebut punya nama. Tidak ada yang mengajarkan kita bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan luka, meski tidak ada wujud darahnya. Luka itu adalah luka batin yang juga perlu diobati. Namun, kebanyakan orang hanya berkata, “Sudahilah tangisnya” atau “Sudahlah, nanti kelihatan jelek kalau menangis. Nanti kita beli permen supaya jangan menangis lagi”.

 

Luka batin kita tak pernah disembuhkan, melainkan hanya terus dialihkan. Saat tumbuh dewasa, kita merasakan amarah pada orang-orang tua, rasa curiga yang amat besar pada pasangan, atau merasa tak pernah punya teman dekat atau selalu merasa diabaikan. Kita tak pernah tahu di mana rasa itu berada dan dari mana perasaan itu berasal. Perselisihan, pengabaian, konflik, kritik, dan tangis seakan selalu mewarnai kehidupan dewasa kita.

 

Banyak yang merasa hidup harusnya baik-baik saja, karena punya pendidikan, sudah punya pekerjaan, sudah punya pacar/pasangan, dan kedua orang tua masih sehat, serta hidup berkecukupan. Dengan keadaan seperti itu, kita menyangka akan berbahagia. Alih-alih kita merasa hampa dan seperti tidak mengenal diri kita sendiri.

 

Namun sesungguhnya, yang tidak kita kenal adalah emosi dan luka-luka batin yang kita endapkan bertahun-tahun lamanya sejak masih kecil dan masih sangat lugu.

 

Pengalaman masa kecil seseorang di masa lalu dapat menimbulkan sejumlah trauma. Misalnya, ketika anak mengalami pengabaian, penolakan, buruknya bounding dan attachment dengan orang tua, kurang kasih sayang, serta perhatian, inner child dalam diri bisa terluka. Apabila luka tersebut tidak disembuhkan, maka orang tua tidak memahami konsep ini dan berlaku abai daripada mengambil langkah tepat untuk mengurangi rasa sakit akibat peristiwa traumatis tersebut. Akibatnya, anak akan tumbuh dengan sejumlah permasalahan yang memiliki efek destruktif hingga dewasa.

 

Di sinilah biasanya permasalahan kita saat dewasa berakar. Banyak orang dewasa menjadi sangat rentan, merasa tidak aman dengan dunia, dan kehilangan kualitas-kualitas diri seperti rasa cinta kasih, kejujuran, rasa aman, bahagia, serta tidak merasa bersalah pada diri sendiri.

 

Kenali, Maafkan, Hargai

 

Semua yang terjadi dalam hidup kita, dari sejak bayi hingga dewasa dan lanjut usia, tentu akan kita dapati dalam berbagai peristiwa menyakitkan. Peristiwa tersebut meninggalkan luka. Peristiwa itu bisa saja datang dari orang tua, guru, kerabat, atau bahkan pasangan yang kita cintai dan percayai tidak akan menyakiti.

 

Hidup adalah tentang bagaimana kita menerima setiap peristiwa, baik itu menyenangkan maupun menyakitkan, serta memaafkan orang-orang yang terlibat di dalamnya, termasuk diri kita sendiri.

 

Hidup tidak berjalan dengan sistem aku adalah korban, aku tersakiti, dan dia berhak menerima rasa sakit yang sama sepertiku. Namun, hidup adalah tentang bagaimana kita sebagai manusia yang menderita mau dan berusaha untuk “memutus” rantai derita dari pola-pola yang sama, dari luka batin satu ke luka batin selanjutnya, dari luka orang tua ke anak-anaknya, dari luka batin pada satu generasi ke generasi seterusnya.

 

Sejatinya, rasa sakit yang disebabkan oleh siapa pun adalah “momentum” untuk “mengirimkan sinyal” bahwa diri kita (anak kecil/inner child dalam diri kita) perlu kita sapa.

 

Sudah waktunya bagi kita untuk menengok ke dalam, mencari bagian mana yang lalai kita perhatikan dan menyebabkan rasa sakit itu masih saja kita simpan dan tidak kita sembuhkan. Maka, sembuhkanlah luka-luka itu, selesaikanlah masalah-masalah dalam diri, dan terimalah segala peristiwa hidup sebagai “ladang untuk belajar”. Terimalah diri kita sendiri dan pelan-pelan maafkan diri ini.

 

Maafkan diri kita yang belum mampu melindungi diri dengan sempurna. Maafkan diri kita yang masih terluka dan belum pulih. Memaafkan diri sendiri adalah upaya kita memulihkan segala luka dan melepaskan beban emosi. (MDj/red)


Post a Comment

0 Comments