(Guru SMA Negeri 1 Raijua)
CAKRAWALANTT.COM - Peradaban modern membuat sebagian besar
manusia cermat menyiapkan masa depannya. Generasi yang semata memikirkan masa lampau dan hari ini saja dianggap
pecundang. Lalu, apa yang membuat manusia terobsesi pada masa depan? Mungkin
salah satu dari sekian banyak jawaban ialah kebergantungan manusia pada zona
nyaman, ia merasa terganggu ketika hal-hal baru yang mengancam yang datang dari
luar dirinya. Alhasil, manusia cenderung selalu memikirkan masa depannya
(egosentris).
Tentu, amatlah baik merancang masa depan, sejauh kita tidak terperangkap dalam kecemasan. Jangan sampai terlalu memikirkan masa depan, kita malah tidak sanggup menikmati hari ini. “You can’t changes the past, but you can ruin the present by worrying over the future (Anda tidak dapat mengubah masa lampau, tapi anda merusakkan masa kini dengan merisaukan masa depan)”. Dengan menikmati hari ini, kita tetap memiliki masa depan tanpa harus selalu memusingkannya. Bagaimanapun, masa depan adalah rentetan dari ribuan hari pada masa sekarang.
"Education is the second sun to its prossessor". Pendidikan
adalah seperti matahari kedua bagi pemiliknya demikian sebuah ungkapan klasik
Herkleitos. Realitas dunia Pendidikan kita juga kian hari kian mencemaskan yang
memperlihatkan sebuah atmosfer pendidikan kita tidak berfungsi lagi sebagai
matahari, cahayanya kian hari kian redup lantaran pendidikan kita terbawa dalam
arus modernisasi dan hedonisme.
Kondisi tersebut kadang mengabaikan
nilai dan moral sehingga output dari
pendidikan kita tidak membentuk manusia yang tumbuh secara seimbang, baik dari
aspek intelegensi (kecerdasan intelektual) , kecerdasan emosional (psiko-emosional),
kecerdasan spiritual (psiko-spiritual), dan kematangan seksual (psiko-seksual).
Lagu-lagu yang dibawakan oleh Iwan Fals
seperti “Badut” yang berkisah tentang kebohongan politisi, “Bento” yang
berbicara tentang kedunguan manusia, dan “Kuda Lumping” yang berbicara tentang
manusia yang lupa diri untuk memerangi kebiadaban adalah lirik-lirik yang
menggambarkan kegagalan manusia dalam mencari jati dirinya. Artinya, manusia
telah kehilangan akal sehatnya. Dunia pendidikan kita sepertinya sudah dipolitisir
oleh kaum politisi sehingga ia bertumbuh kerdil.
Ada indikasi dari kebijakan politik yang
kadang mengorbankan dunia pendidikan kita, di mana yang hanya memperoleh pendidikan
formal adalah orang-orang berada (berpenghasilan menengah ke atas) lantaran
kaum marginal tetap hidup di bawah himpitan kaum kapitalis.
Sebagai salah satu contoh, kaum petani
bekerja keras untuk suatu tujuan mulia, yakni menyekolahkan anak-anak mereka
sampai ke Perguruan Tinggi (PT), dengan berusaha menanam tanaman komoditi. Sayangnya,
setelah dipanen dan dijual, harganya seenaknya saja ditentukan oleh para
pedagang, sedangkan harga bahan pokok kian hari kian melangit.
Contoh kecil itu hanya satu dari sekian
banyak fenomena yang dialami kaum petani yang tentunya berpengaruh pada dunia pendidikan
kita. Sementara itu, pemerintah hanya melihatnya sebatas pada produk kebijakan
tanpa mendalaminya secara menyeluruh. Akibatnya, mereka yang berkesusahan
secara ekonomi melihat pendidikan di
antara harapan dan kenyataan.
Proses pendidikan sebenarnya membutuhkan
tiga kancah perjuangan yang perlu ditanamkan dalam diri, yaitu pendidikan dari
kita, pendidikan oleh kita, dan pendidikan untuk kita. Ini merupakan proses pembaharuan
diri dalam menelaah pendidikan yang termotivasi dari dalam diri sendiri dan didorong
oleh motivasi eksternal demi peningkatan mutu pendidikan dalam diri. Oleh
karena itu, perlu diperhatikan secara baik bagaimana proses pendidikan yang
ditanamkan dalam diri kita.
Banyak orang mendefinisikan
pendidikan berdasarkan literatur-literatur yang pernah mereka baca tanpa menyadari
bahwa pendidikan itu sesungguhnya berasal dari dalam diri sendiri. Hal inilah
yang perlu dibenahi oleh setiap kita bahwa sesungguhnya pendidikan berasal dari
diri kita dan ditopang oleh lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Setiap
perjuangan pribadi, entah itu gagal atau sukses, perlu direfleksikan. Apakah
kita sungguh memperhatikan nilai pendidikan dalam diri sendiri ataukah pasif
memperhatikan perkembangannya.
Sebenarnya, ada potensi-potensi
yang perlu dikembangkan demi membangun perkembangan diri yang seimbang dan
cerdas secara intelek, emosional, seksual, dan sebagainya. Namun, banyak orang
belum menyadari potensi-potensi tersebut untuk dikembangkan demi kemajuan diri yang
berdampak positif bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.
Lebih lanjut, dalam
perjuangan kita untuk menata pendidikan senantiasa ada pertanyaan yang muncul.
Biasanya, setiap kita seperti berada pada persimpangan jalan dengan banyak arah
saat memberikan jawaban. Kita dituntut untuk bersikap bijaksana dalam
menentukan pilihan. Untuk itu, perlu adanya kemauan untuk mengembangkan potensi
dalam diri.
Persoalan sekarang
ialah kepada siapa pendidikan itu akan diterapkan. Dalam penerapan pendidikan
untuk diri sendiri, pasti ada banyak persoalan atau kesulitan yang dialami.
Namun, apapun persolan atau kesulitannya, kita harus mampu menghadapinya dengan
sikap mawas diri. Kita dituntut untuk memaknai persoalan dan kesulitan
tersebut, apalagi sebagai guru yang berperan sebagai penggerak pendidikan.
Berguru untuk diri
sendiri berarti memaknai pendidikan untuk diri sendiri demi kemajuan diri dan
perkembangan dunia pendidikan. Setiap kita diharapkan secara terus menerus
mengembangkan dunia pendidikan.
Pendidikan harus
menjadi sebuah literatur hidup untuk dipelajari. Pendidikan dari kita, oleh
kita, dan untuk kita selalu menjadi landasan kehidupan. Untuk itu, kita harus
mampu membangun dan mengembangkan dunia pendidikan secara lebih berkualitas. Sukseskan
dunia pendidikan selagi kita mampu untuk mempelajari dan membagikannya kepada
orang lain. (MDj/red)
2 Comments
Memang benar kondisi pendidikan hari ini sungguh miris semua orang melihat sekolah sebagai lahan bisnis dan politik yang empuk untuk merusak generasi muda
ReplyDeleteSngat bermanfaat , dpat menambah wawasan bgi pembaca mengenai pendidikan yang efesiensi 😇
ReplyDelete