Oleh:
Dr. Eliazer Teuf, S.Pd., M.Pd.
CAKRAWALANTT.COM - Pimpinan Organisasi Perangkat Daerah atau perusahaan tentu mengeluh jika kinerja organisasinya tidak meningkat. Kinerja Organisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah ketersediaan anggaran. Oleh karena itu, baik organisasi pemerintah, korporasi maupun masyarakat madani (LSM/NGO) melakukan upaya meningkatkan pendapatan, apakah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) atau sumber lain pada tataran pemerintahan.
Pada korporasi dan masyarakat madani, tentu memiliki sumber anggaran sendiri, karena memiliki kuasa pada local governance (menetapkan standar, mencari pendapatan dan memberi layanan). Namun, upaya itu belum tentu menjamin adanya peningkatan kinerja. Mengapa demikian?
Kinerja sebagai output/outcome dari pelaksanaan program dan kegiatan menjadi bagian terpenting dalam management dari sebuah perusahan atau Organisasi Perangkat Daerah. Output akan bermutu jika dilandasi dengan input dan proses yang bermutu pula. Input berupa perencanaan dikatakan bermutu jika memenuhi unsur-unsur Teori SMART, seperti yang dikemukakan George T. Doran (1981).
Teori SMART pun mendapat perhatian, kurang lebih 42 tahun dijadikan sebagai landasan penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan di seluruh dunia, baik dalam public governance (pemerintahan), corporate governance (korporasi-Dunia Usaha/ Dunia Industri), maupun civil society (LSM/ NGO).
Dalam sektor pemerintahan, Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)/Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dikoreksi kementerian/lembaga untuk memastikan bahwa unsur-unsur SMART telah dipenuhi atau tidak.
Unsur-unsur SMART adalah 1) Specific (spesifik), 2) Measureable (terukur), 3) Attainable/achievable (dapat dicapai), 4) Relevant/realistis (relevan/realistis), dan 5) Timely Time/Time Bound (sesuai kurun waktu tertentu). Kelima unsur ini merupakan indikator untuk mengukur kinerja sebuah program dan kegiatan yang akan dilaksanakan.
Dalam praktiknya, SMART hanyalah sebuah metode. Karena ternyata, SMART tidak mampu meningkatkan kinerja sebuah organisasi, sehingga diperlukan pendekatan dan strategi dalam melengkapi metode itu. Pendekatan, strategi, dan metode ini disebut model. Dalam konteks ini, maka penulis ingin mengangkat SMART PLUS sebagai model untuk peningkatan kinerja organisasi, yang selanjutnya disebut Model SMART PLUS.
Konsep Model SMART PLUS ini tetap mengikuti teori George T. Doran tentang SMART, yang berbeda adalah ketika SMART dilengkapi dengan kata PLUS menjadi SMART PLUS, yang artinya LEBIH CERDAS.
Kata PLUS adalah akronim dari kata Powerfull, Lovely, Unforgettable, dan Spiritual. Artinya, peningkatan kinerja hanya dapat terjadi jika pegawai (pimpinan/staf) dalam organisasi/perusahan itu bekerja sekuat tenaga (powerfull), bekerja dengan cara-cara atau dalam kondisi yang menyenangkan (lovely), bekerja secara tuntas (unforgettable), dan memiliki keyakinan (spiritual) bahwa yang dikerjakan itu benar sesuai aturan dan berhasil.
SMART PLUS adalah sebuah
model peningkatan kinerja yang diusulkan Dr. Eliazer Teuf (penulis), karena
mengandung pendekatan, strategi dan metode SMART.
Dalam aspek pendekatan, PLUS dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, powerfull (sekuat tenaga). Artinya, seorang pegawai (pimpinan/staf) harus bekerja sekuat tenaga jika ingin mencapai kinerja maksimal. Indikator
seseorang bekerja sekuat tenaga, antara lain: a) bekerja terus sepanjang waktu,
kecuali jam istirahat (sesuai waktu yang dijadwalkan); b) tidak bercerita saat
bekerja; c) taat pada Standar Operasional Prosedur (SOP); d) bicara dengan
teman sejawat seperlunya; e) fokus dalam bekerja (melakukan pekerjaan pertama, setelah
selesai pekerjaan pertama, baru mengerjakan pekerjaan lain); serta f)
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Kedua, lovely (menyenangkan). Artinya, seorang pegawai (pimpinan/staf)
tidak boleh bersungut-sungut dalam bekerja atau bekerja dengan suasana hati
senang dan tenang, jika ingin mencapai kinerja maksimal. Indikator seseoarang
bekerja dengan suasana hati senang dan tenang, antara lain: a) bekerja walaupun
tanpa ada pimpinan di kantornya; b) bekerja dengan mendengarkan musik; c) suka bertanya
pada teman sejawatnya atau pimpinan di saat tidak memahami tugas yang
dikerjakan; d) bekerja sambil bernyanyi atau bersiul, tanpa mengganggu teman
sekitarnya; e) berusaha menjadi motivator bagi teman-teman yang lain; f) mengawali
dan mengakhiri pelayanan atau pekerjaan dengan senyum, sapa dan salam (3S); g)
mengucapkan terima kasih jika diberi tugas oleh pimpinan; h) menerima masukan
dan kritikan dari staf; serta i) berusaha memberi pelayanan terbaik bagi orang
lain.
Ketiga, unforgettable (tidak terlupakan/tuntas). Artinya, seorang pegawai
(pimpinan/staf) harus memiliki semangat bekerja tuntas, jika ingin mencapai
kinerja maksimal. Indikatornya, antara lain: a) tidak boleh menunda-nunda
pekerjaan; b) memastikan pencapaian target kerja; c) meja kerja dipastikan
bersih sebelum pulang kerja (pekerjaan administrasi terkait surat menyurat
diselesaikan dalam hari kerja itu); d) menyelesaikan pekerjaan sesuai urutan kerja;
serta e) menyelesaikan program dan kegiatan dalam tahun berjalan.
Keempat, spiritual. Artinya seorang pegawai (pimpinan/staf) harus memiliki
keyakinan (spiritual) yang tinggi bahwa yang dikerjakan itu benar dan dapat
mencapai tujuan organisasi. Indikatornya, antara lain: a) melaksanakan program
dan kegiatan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; b) memastikan
pelaksanaan program dan kegiatan sesuai petunjuk teknis; c) pelaksana program
dan kegiatan memahami dengan benar tugas pokok dan fungsinya; d) menghindari inequality administrasi
(maladministrasi) atau menegakkan aturan; serta e) berdoa sebelum dan sesudah
melaksanakan program dan kegiatan.
Pendekatan di atas dirumuskan berdasarkan fenomena/gejala
dan keprihatinan yang terjadi sehubungan dengan prilaku, relasi dan kinerja
yang menyimpang dari tujuan organisasi. Sebuah keadaan yang cukup
memprihatinkan terkait disiplin pegawai dalam bekerja. Masuk dan keluar kantor
seenaknya, bekerja sesuka hati (dalam bahasa Kupang, mau kerja ya kerja, tidak mau
kerja, ko kenapa? santai sa!), tanpa
peduli dengan ketercapaian tujuan organisasi. Karena memang tidak ada kesatuan
tujuan atau terjadi konflik tujuan antara pimpinan dan staf.
Mestinya, pimpinan dan staf berada dalam
satu tujuan (satu gerbong), yakni satu kiat dan giat mencapai tujuan
organisasi. Tujuan organisasi mesti
disusun dan ditetapkan secara bersama-sama, sehingga dipahami, dimiliki dan
menjadi tanggungjawab seluruh anggota organisasi untuk mencapainnya.
Dalam aspek strategi, SMART PLUS mesti diikuti dengan perjanjian kinerja dan pengukuran kinerja. Perjanjian kinerja harus dipandang sebagai sebuah ikatan yang harus dipatuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian. Perjanjian kinerja sekurang-kurangnya memuat sasaran strategis, indikator kinerja, satuan dan target. Sedangkan, pengukuran kinerja merupakan salah satu fondasi utama dan dilakukan untuk menjamin adanya peningkatan akuntabilitas dan layanan publik.
Pengukuran kinerja dilakukan dengan cara mengklarifikasi output dan outcome dalam perencanaan (hasil yang diharapkan) dengan yang telah dicapai. Dalam pengukuran akan terlihat seberapa besar kinerja yang ada dengan kinerja yang diharapkan. Pengukuran kinerja dapat dilakukan secara berkala (triwulan) dan tahunan. Di samping itu, perlu diikuti dengan penyampaian laporan, sebagai salah bentuk pertanggungjawaban atas kinerja yang telah dicapai. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi bahan refleksi di penghujung Tahun 2023 serta menjadi catatan berharga dalam melakukan aktivitas di Tahun 2024. Selamat Natal 2023 dan Tahun Baru 2024, Tuhan Yesus memberkati. (MDj/red)
0 Comments