Dokumentasi. |
Oleh: Sastri Sunarti,
Ninawati Syahrul, dan Atisah
(Peneliti tradisi lisan BRIN)
Lembata, CAKRAWALANTT.COM - Malam makin larut saat kami masih
merekam Lia-Lia ‘syair-syair’ merayu Koteklema (Paus Sperma/Physeter Macrocephalus), Seguni (Orca/Orcinus Orca), dan Blebang
(Pari Manta/Mobula Birostris) yang
dinyanyikan oleh Bapak Ignasius Seran Blikololong, 75 tahun. Seorang mantan Lamafa ‘penikam paus’ dan sekaligus Ata Mole ‘ahli pembuat peledang’ perahu
tradisional dari Dsa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Lembata.
Bapak Ignas bercerita bahwa ia
belajar melaut pada usia 15 tahun. Ia belajar menjadi nelayan dari ayah dan
kakeknya yang juga seorang Lamafa dan
ia merupakan generasi kelima dan dilanjutkan generasi keenam oleh tiga orang anak-anak
laki-lakinya yang juga menjadi Lamafa dari
keluarga Blikololong (salah satu nama subklan) di Lamalera.
Sebagai pemula, ia memulai tugasnya menciduk air
yang masuk ke dalam peledang. Setelah
setahun menjadi penciduk air di peledang,
ia dibolehkan menjadi Matros ‘tukang
dayung’ bersama sembilan hingga delapan Matros
lainnya. Biasanya dalam satu peledang
terdapat 8-10
Matros, seorang Lamauri dan seorang Lamafa.
Lamauri
bertugas sebagai juru mudi yang duduk di buritan dan
Lamafa berdiri di ujung haluan yang
sekaligus sebagai imam (pemimpin ritual) dan penentu nasib baik atau nasib
buruk anggota peledang dalam
mendapatkan rezeki saat menikam Koteklema.
Tugas dan tanggung jawab seorang Lamafa sangatlah berat. Selama musim Leva ‘musim melaut’ untuk menikam paus yang dimulai sejak 1 Mei
hingga 31 Oktober setiap tahun, maka seorang Lamafa wajib menahan hasratnya supaya tidak bergaul dengan
istrinya. Bahkan bersinggungan ujung kaki pun tidak diperbolehkan. Selain itu, Lamafa juga harus memimpin beberapa
ritual sebelum melaut.
Ritual pertama yang harus
dipimpinnya adalah ritual masa persiapan melaut. Pada ritual masa persiapan
ini, semua anggota peledang wajib
hukumnya mengakui semua ganjalan di hati, di hadapan anggota peledang lainnya sebelum melaut. Semua hambatan
emosional dan persoalan dalam rumah tangga, dengan sesama anggota, dan tetangga
harus selesai sebelum melaut.
Mereka juga harus menjaga semua
ucapan dan tindak-tanduk sebelum dan selama melaut agar tidak terjadi mala
bencana dan kesialan di laut. Jika di gereja mereka bisa meninggalkan waktu
pengakuan dosa maka saat musim Leva
hal itu akan dibayar tunai di laut. Artinya, tidak ada urusan dan hambatan yang
dapat disimpan selama musim Leva karena
laut akan membuka semua kebohongan dan ketidakjujuran yang disimpan dalam hati
setiap nelayan dan terutama Lamafa.
Ritual kedua adalah ritual masa
pelaksanaan di laut. yang terbagi lagi dalam beberapa tahapan. Tahapan pertama
adalah ritual saat akan menarik peledang
ke laut yang diawali dengan pembukaan topi kecil penutup ujung haluan peledang
yang disebut dengan Blobos. Lamafa
akan melakukan sembahyang di Naje
‘pangkalan peledang’ di pantai.
Setelah selesai dengan ritual di Naje,
maka Lamafa akan melakukan sembahyang
di atas peledang yang ditandai dengan
menyentuh dan mengusap ujung tempuling
‘alat untuk menikam Koteklema dan Blebang’.
Ritual ketiga adalah ritual setelah menikam Koteklema ataupun Blebang. Seorang Lamafa ketika sedang menyiapakn diri untuk menikam Koteklema, tidak diizinkan minum secara terang-terangan di hadapan Koteklema yang sedang diincar. Jika terlalu haus maka ia dibolehkan meminum air dengan cara berjongkok di tengah peledang. Jika Lamafa minum secara terang-terangan alamat Koteklema atau Blebang akan makin sulit ditangkap. Bahkan ada kemungkina peledang mereka akan ditarik jauh ke tengah laut terutama oleh Blebang ‘Pari Manta’ yang besar.
Dari
Breung Alep Menuju Lamafa
Pada umur 17 tahun Bapak Ignasius
sudah dibolehkan memegang tali Leo menjadi
Breung Alep “asisten Lamafa”. Pada posisi ini dia sudah boleh
membantu Lamafa menarik atau mengulur
Tali Leo yang dijalin dengan hitungan
yang ketat dan terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang oleh para
ibu-ibu dan istri nelayan.
Tali Leo menjadi tali kehidupan karena digunakan sebagai tali pengikat tempuling yang akan dihunjamkan ke tubuh
Koteklema. Biasanya bagian yang
paling mudah untuk ditusuk adalah bagian sayap Koteklema. Sedangkan pada pari kelemahannya terlatk pada bagian
atas kepalanya. Seekor pari dapat dilumpuhkan dengan cepat setelah dikaitkan tempuling pada hidunganya terlebigh
dahulu baru kemudian ditusuk pada bagain atas kepalanya atau otaknya.
Jika hal terakhir belum dilakukan maka peledang akan ditarik jauh dari daratan
dan pergumulan akan berlangsung lama. Seirngkali seekor Blelang perlu dinyanyikan sebuah lia (ng) agar ia menjadi tenang
dan menyerahkan diri dengan cepat kepada
Lamafa untuk ditombak dengan cepat dan tepat.
Pada usia 35 tahun Bapak Ignasius
sudah layak menjadi Lamafa. Namun,
sebelumnya ia sudah diuji saat menjadi Breung
Alep saat diminta menikam Pari Bou (pari
ukuran sedang) dan kemudian levelnya ditingkatkan dengan menikam Pari Blelang (yang lebih besar). Jika dia
takut maka statusnya sebagai Lamafa
akan dicabut dan tidak akan pernah mendapatkan posisi sebagai Lamafa dalam peledang.
Dua tragedi dalam hidupnya sebagai
nelayan Lamalera telah dilaluinya. Tragedi pertama yaitu ketika kakinya
terlilit tali saat menikam Blelang.
Dia sempat di tarik oleh Blelang
selama 30 menit ke dalam laut, akan tetapi kemudian dia berhasil keluar dengan
selamat karena berani dan tidak melepaskan tempuling
yang sudah menusuk bagian tubuh atas ikan Pari besar tersebut.
Sementara kakinya masih terlilit
oleh Tali Leo yang nyaris memutuskan
pergelangan kakinya, dan anaknya Yosef sebagai Breung Alep juga masih menahan Tali
Leo bapaknya dari atas peledang. Sebelum dia ditarik terlalu
jauh ke dalam laut, pari itu akhirnya muncul ke permukaan dengan Bapak Ignasius
masih bergayut di atas pari tersebut. Kecelakaan itu mebuat kaki kanannya
pincang hingga hari ini.
Tragedi kedua yang dialami oleh
Bapak Ignasius yaitu saat anak bungsunya, Benyamin Seran Blikololong dikabarkan
hilang di laut. Benyamin sedang menikam Pari Blelang
dan terjun ke laut mengikuti pari yang ditikamnya, akan tetapi dia tidak pernah
muncul kembali ke permukaan. Tertarik oleh pari yang sudah ditikamnya ke dasar
lautan dengan Benyamin masih bergantung bersama tempuling yang telah dihunjamkan ke tubuh pari tersebut. Jenazahnya
tidak pernah ditemukan dan setelah pencarian selama dua minggu mereka
menghentikan pencarian.
Namun, menurut keyakinan masyarakat
Lamalera. Ketika seorang Lamafa
hilang di laut maka jenazahnya akan digantikan dengan kerang dari laut. Salah
seorang wakil dari kerabat subsuku Blikololong
akan mengerjakan tugas tersebut dan mengafani kerang tersebat untuk dibawa ke
darat. Sampai di darat kerang tersebut dimasukan ke dalam peti mati, dan
disemayamkan di halaman Lango Levo
(rumah adat) di bawah pohon Godi atau
Bodhi Satwa.
Ada pantangan bagi peti mati
nelayan yang meninggal di laut untuk dibawa ke dalam rumah. Baik yang
jenazahnya ditemukan ataupun yang hilang di laut maka peti matinya hanya boleh
disemayamkan di halaman rumah adat atau Lango
Levo. Hal tersebut juga berlaku pada peti jenazah Benyamin yang sudah diisi
dengan kerang, disemayamkan di halaman Lango
Levo atau di depan rumah Bataona yang sekaligus menjadi rumah adat warga
desa Lamalera Bawah (B). Para pelayat termasuk penduduk desa dari Lamalera Atas
(A) akan menyampaikan ucapan dukacita di halaman Lango Levo tersebut selama beberapa hari sebelum keranda itu
dikuburkan.
Setelah menua dan tidak lagi
melaut, bapak Ignasius mengisi hari-harinya sebagai Ata Mole ‘ahli pembuat peledang’
dan membuat cenderamata perahu mini (boku).
Harga cendera mata boku dibandrolnya mulai dari harga Rp500.000-Rp2.500.000. Selain itu, dia juga
mengukir tulang dan gigi ikan-ikan besar sebagai hiasan, mainan, kalung,
gelang, anting, dan cincin yang dijual dengan harga bervariasi. Ada juga
ukiran bagian buritan peledang yang diukir dengan hiasan
lingkaran yang cantik yang dapat dijadikan hiasan dinding. Ilmu mengukir tulang
dan gigi ikan besar itu kemudian diwariskan kepada anak, menantu, dan cucunya.
Demikan juga dengan pengetahuan Ata Mole serta Lamafa juga sudah diwariskannya kepada anak sulung dan Tengah,
masing-masing bernama Yosep dan Wili Brordus (Ondu). Putra bungsunya Benyamin
yang meninggal di laut memberinya seorang cucu laki-laki bernama Carolus
(Kolus) yang saat ini sudah kelas 4 SD. Kolus juga bermimpi suatu saat akan
mejadi seorang Lamafa mengikut jejak
opa dan ayahnya.
Cita-cita menjadi Lamafa ternyata tidak hanya menjadi
cita-cita Carolus saja, saat duduk-duduk di Naje,
saya sempat mewawancarai beberapa anak dan menanyai cita-cita mereka. Beberapa
anak, seperti Deskan, Barthol, Bento, Emme, Charles, Vincent, dan Raffael
memberikan jawaban yang sama, yakni ingin menjadi Lamafa setelwah dewasa.
“Oh
ya?” tanya saya dengan serius.
“Tidak
ada yang ingin menjadi yang lain setelah dewasa?” Mereka bingung dan saling
tersenyum sambil berpandangan satu sama lain.
Saya kemudian mengeluarkan video
animasi tentang pengetahuan astronomi lokal yang kami kerjakan tahun ini
bersama tim RMPI BRIN. Saya perlihatkan video animasi tersebut, lima hingga
sepuluh anak mengerubungi saya. Selesai pemutaran film animasi astronomi lokal
tersebut, saya mengulangi pertanyaan saya kepada mereka.
“Adakah yang ingin menjadi
astronot, seperti dalam film tadi, atau punya cita-cita yang lain selain Lamafa?”.
Vincent menjawab dia ingin menjadi
tentara, Emme ingin menjadi polisi, dan Bartol menjawab ingin menjadi astronot.
Saya lega mendengar jawaban mereka yang sudah berbeda dengan jawaban
pertama tadi. Semoga mereka mengejar
cita-citanya itu kelak.
Menjadi Atamola
Selanjutnya, Pak Ignasius
menjelaskan kepada kami, mengenai bahan yang diperlukan untuk membuat peledang
yakni menggunakan dua jenis kayu, yaitu kayu Kepappa dan kayu Kosambi
(Schleicheraoleosa/Lour). Sedangkan urutan papan peledang beserta fungsinya
disampaikannya secara
mendetail sebagai berikut.
I. Bahan Dasar Peledang
(a) Kayu Kepappa (Kayu Angsana;
Pterocarpus Indicus, latin)
(b) Kayu Kosambi (Schleicheraoleosa,
latin)
II. Urutan Pembuatan Peledang
A. Bagian Bawah dan Samping
Kiri/Kanan
1. ARABLIKANG : Kayu yang digunakan
untuk bagian dasar peledang atau fondasi dari perahu yang oleh masyarakat
Lamalera disebut Lunas Muka dan Lunas Belakang (dibuat dengan Kayu Kepapa).
2. ARAKENATI (Lapisan papan pertama
di atas kayu fondasi dibuat dari Kayu Kepapa dan Kayu Kosambi)
3. ARATUKA (Papan Paling Tengah)
4. NULUHULU
5. ARABELE (Tenepa Vanae) Penyambung
Haluan
6. NEVI (Tenepa Nevi Kiri/Kanan )
B. Bagian Atas
1. LAMAURI TOBO :Tempat juru mudi /
Nahkoda
2. BELOWAE : Tukang tikam
3. HOMALOLO : Tempt berdirinya
Belowae
4. BLINA HAMALOLO : Papan pertama ke
belakang dari HAMALOLO (tempat berdirinya Penikam Paus) yang berfungsi untuk
menyangga HAMALOLO dan menjadi pengait dari KUGUKENAPE (Kaitan yang menyamping
kiri dan kanan).
5. RAUKVUTU : Papan Kedua setelah papan
BLINA HAMALOLO berfungsi sebagai tempat berdirinya BELOWAE.
6. KERAKI : Papan Ketiga setelah
papan RAUKVUTU yang berfungsi sebagai tempat berdirinya BELOWAE.
7. GLEWE : Pendamping Belowae 2
(dua) orang yang bertugas sebagai pendayung dengan posisi duduk membelakangi
Belowae
8. TADAVA : Kayu penyandar
pendayung.
9. VAIMATA : Tempat duduk penggayung
air 2 (dua) orang sebelah menyebelah kiri dan kanan.
III. Senjata yang
Digunakan untuk Menikam Paus
1. Bambu Tempuling
2. Ujung tombak.
LAKE adalah : Bambu tempuling yang
ujungnya diikat dengan ujung tombak yang dipakai untuk menikam paus.
Lake Terdiri dari 6 ( Enam ) Jenis
1. KNADA PUAGANDA :
2. KNADA MAVANG : Cadangan atau
Reserep
3. KNADA NUBA : Puaganda yang lebih
panjang. Fungsinya untuk menikam ikan-ikan seperti : pari sedang dan kecil,
Ikan Lumba-Lumba, Ikan Hiu sedang dan kecil.
4. TLAKABLELANG : Puaganda yang
pendek (bambu yang pendek) yang berfungsi menikam paus atau ikan pari yang
besar.
5. TLAKA KECIL : Berfungsi untuk
membantu menikam paus apabila ikan pausnya belum mati dan digunakan di lain
waktu untuk menikam ikan apa saja.
6. KLAKA KECIL : Berfungsi untuk
menggenapi penikaman pada ikan paus setelah tombak besar.
IV. Kegunaan Tali
1. MENULA : Tiang untuk mengikat
tali layar
2. MENULI KELADANAE : Tali hidup
untuk mengangkat layar ke atas apabila ada tangkapan ikan paus.
3. MENAUK : Tali tiang Layar.
4. GLEVEBWALENG : Tali untuk
menangkap Ikan paus.
5. LEOBELE : Tali penunjuk ikan pari
atau ikan-ikan kecil lainnya
6. URISELO : Tali bagian atas
7. BLEUVANG : Tali depan dn tali
belakang
8. LEOVANG : Tali asli
9. LEVENE : Tali seluku pengikat
bambu
10. TALI PUANGPUKA dengan
sempulingnya
11. TALI SUKABELA dengan
tempulingnya
12. TALI TEMPULING SUKAVA : Tali
yang diikat pada bambu penikam ikan paus
13. TALI NODE PUKE : Tali yang
diikat pada tombak penikan ikan paus
14. BLEVEWANG DEPAN/BELAKANG : Tali
pengikat bambu depan /belakang untuk menyanggah bambu samping kate
15. HORO : Tali tiang untuk menaruh
layar
16. Tiang Pedang Kate
17. URILOLO : Tali samping layar
18. IVILEI : Tali yang diikat pada
ujung bawah layar ke ujung bambu kate
19. KNATE KIRI/KANAN : Tempat gayung
Air.
20. MENULA ( HALUAN ) : diistilahkan sebagai Bapak
Mengenang
Tenggelamnya Lepan Batang
Satu hal menarik yang sempat saya
perhatikan pada peledang-peledang
yang parkir di Naje (rumah tempat peledang di pantai Lamalera adalah
lukisan ular raksasa yang melilit sebuah
pulau. Saat saya tanyakan kepada Bapak Ignasius ternyata lukisan itu merupakan
kisah tentang tenggelamnya pulau Lepan Batan.
Alkisah seorang nenek menemukan
seekor belut di pantai dan membawanya pulang ke rumah serta merawatnya hingga
besar. Namun, semakin lama belut itu semakin besar. Setelah besar dia
bersembunyi di sebuah lubang di pantai dan ketika anak-anak nelayan sedang
bermain, ular tersebut mulai memakan anak-anak nelayan. Penduduk kampung mulai
curiga atas hilangnya anak-anak mereka satu-persatu.
Mulailah seseorang ditugasi
mengintip kampung itu, saat semua nelayan sedang melaut. Ternyata ada seekor
ular besar yang keluar dari lubang persembunyiannya dan memakan anak-anak
mereka. Penduduk kemudian bersepakat untuk membunuh ular tersebut dengan
membakar sarang dan terbakarlah ular itu, lalu menghilang ke udara. Tidak
berapa lama setelah ular tersebut menghilang, air laut dan gelombang besar
menghantam pulau Lepan-Batan hingga menenggelamkan perkampungan nelayan
tersebut.
Kenangan tentang cerita itu,
kemudian diabadikan pada peledang
nelayan Lamalera karena kisah itu merupakan identitas masa lalu nenek moyang
mereka yang berasal dari Lepan Batan. Ternyata kisah ini tidak hanya menjadi
memori kolektif masyarakat Lamalera saja, melainkan juga milik beberapa suku
dan kampung lain di Lembata juga mengingat kisah ini sebagai bagian dari cerita
asal-usul nenek moyang mereka.
Baik-Baiklah
Berlayar
Malam
semakin larut, saat Pak Ignasius sampai pada nyanyian [Lia] yang menggambarkan ucapan perpisahan kepada kami para peneliti
BRIN. Sekonyong-konyong seekor
anjing
di depan rumahnya melolong, kemudian diikuti oleh anjing-anjing lain dalam
kampung tersebut dengan lolongan yang pilu. Awalnya kami merinding, tapi
kemudian kami mulai terbiasa mendengar lolongan anjing tengah malam di kampung
itu, setelah selama tujuh malam di Lamalera.
Konon menurut kepercayaan mereka,
anjing-anjing melolong tengah malam karena melihat arwah orang-orang yang telah
meninggal di laut datang mengunjungi
keluarga mereka di kampung. ‘Mungkin jugakah arwah Benyamin ikut hadir saat
malam terakhir kami di rumah Bapaknya yang sedang menyanyikan Lia yang berisi kesedihan tersebut?’
“Angin akan mengantar kalian berlayar esok pagi/ baik-baiklah berlayar/ tapi
jangan lupa kembali/ untuk melihat bapak tua di Lamalera yang kalian
tinggalkan/”
Begitulah kira-kira terjemahan
bebas dari isi syair [Lia] yang
dinyanyikan dengan irama yang sendu dan pilu. Kami pun tak kuasa meneteskan air
mata haru ketika Doktor Yoseph Yapi Taum (ketua tim peneliti) kami yang asli
Lembata menerjemahkan syair Lia
tersebut malam itu. Tentu saja kami ikut meneteskan air mata dan melihat
kepedihan dalam mata Bapak Ignasius yang harus berpisah dengan kami esok hari.
“Semoga Bapak. Semoga kami bisa kembali ke Lamalera bisik saya dengan lirih.” Nyaris tidak terdengar. (red)
Lewoleba,
1 Oktober 2023.
0 Comments