Untukmu
Bluk. . .
Tubuh bersimbah darah,
rubuh,
patah,
senyap,
kau, kah itu?
Dadamu ditembus peluru,
pesona matamu katup sudah,
jiwa-jiwa terbang dari raga tanpa rela,
jiwa lepas, raga meregang
di negeri ini banyak darah mengalir sia-sia.
Hai, empunya kehidupan,
beri setitik kebajikan, menetesi rongga penguasa yang
kering,
beri seberas terang, suluh iman yang kian meredup,
beri sedikit kebencian, tapi biarkan melebur karena
cinta,
beri sedikit kemarahan, tapi biarkan sirna dibatasi
kasih,
beri sedikit kemashgulan, tapi bersegerakan menjadi
tegar,
beri sedikit kesempatan bertobat, tapi hukum para
pecundang.
Hai. . .
Jawablah, jawab dengan hatimu. . .
Mengapa mengugurkan bunga saat tangkai masih belia?
Mengapa memetik setangkai, tapi mencungkil dengan
akarnya?
Jawablah, jawab dengan hatimu,
mengapa terus berguguran. . .
Patah. . . .
Senyap. . .
Sia-sia
Bathin meranggas kering,
gugur, jatuh,
patah ada merebak tanya,
bilakah tuan membilang selaksa harap?
Tak usah mengerling di padang gundah,
tak usah mata menatap lara,
gugur, patah tak terbilang banya,
sia-sia.
Kuntum
Kuntumku. . .
Mengapa melepas di putik?
Mengapa melindas tubuh untuk gelora semestas alam?
Angkara belum datang jua, menjemputmu di tanah
merangas ini,
tetapi mengapa melepas gundah di tanah kering merana?
Kuntumku. . .
Rebahlah di tamanku, rebahkan pesonamu.
Di taman asaku, menampiklah, kupingku membuka
senantiasa,
mendesah, menggugat, bergejolak aku menyambut,
mengumpat, mencacilah agar gelora samuderamu mereda.
Rebahlah di tamanku,
rebahlah.
Kopi Pahit
Pagi ini kusajikan secangkir arabika dengan sejumput
gula. Kutaruh tepat di atas kursi rotan usang tempat biasa kau habiskan waktu
mencari kalimat pembuka sajak-sajak yang entah sudah berapa banyak kau buat. Kau
menyeruput sembari menengok ke arahku, sesekali mengedipkan mata menyunggingkan
senyum dan berkata, “Kau tak pernah gagal membuatku jatuh cinta setiap hari.”
Kau selalu memujiku setiap waktu. Dengan pipi merona
kusambut pujiannya dengan menyambar pipinya yang penuh misai. Kali ini kau
menyunggingkan senyum namun tak kau sambut arabika favoritmu. Kau menatapku
tajam, sembari menitipkan setumpuk kenangan lama di balik foto hitam putih.
Perlahan bayangan itu sirna bersama dengan bias cahaya
fajar. Kau menggerutu sebab kopinya terlalu pahit. Biarlah sisa kopi itu
kuminum agar kenangan sembilan tahun lalu menjadi nisan indah untuk kita. Ya,
begitulah, semenjak kau pergi, kopi di kendi kita tak pernah habis.
Kupang, 18 Oktober 2022.
Alexandra Taum, S,Pd. adalah guru bahasa Indonesia di Seminari
Menengah St. Rafael Oepoi Kupang.
0 Comments