Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Pada Selasa (30/05/2023), Fakultas Hukum Universitas Katolik
Widya Mandira (UNWIRA) Kupang menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk
“Urgensi Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pemilu 2024 yang Jujur, Adil, dan
Demokratis”.
Bertempat di Auditorium St. Paulus, Lantai IV Gedung
Rektorat, Kampus Penfui, Seminar Nasional itu menghadirkan Bapak Dr. Rikardo
Simarmata, SH (Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Pater
Dr. Philipus Tule, SVD (Rektor UNWIRA), Bapak Prof. Dr. Dominikus Rato, SH., M.Si (Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Jember), dan Bapak Dr. Ferdinandus Ngau Lobo, SH., MH
(Dosen Fakultas Hukum UNWIRA).
Dalam sambutan pembukanya, Pater Dr. Philipus Tule, SVD.,
Rektor UNWIRA, mengatakan bahwa kita perlu menyiapkan masyarakat agar Pemilu
dapat berjalan lancar. Secara teoritis, sambung Rektor UNWIRA yang biasa
dipanggil Pater Lipus, kita telah mempelajari semua sistem politik dan sistem
pemerintahan supaya Pemilu dapat sukses. Namun, lanjut ahli dan dosen Filsafat
Islam (Islamologi) itu, mempersiapkan Pemilu yang jujur, adil, dan demokratis
tidak hanya membutuhkan teori besar, tetapi juga membutuhkan inspirasi lokal.
“Terima kasih kepada Fakultas Hukum yang telah
menyelenggarakan Seminar Nasional ini. Seminar Nasional ini dapat membuka
kesadaran para mahasiswa/i Fakultas Hukum dan para akademisi hukum untuk
meneliti kearifan lokal, sehingga dapat memperkaya pengembangan ilmu hukum.
Saya berharap agar Seminar Nasional ini dapat berguna untuk masyarakat Nusa
Tenggara Timur (NTT) dan Indonesia,” tutur alumnus Doktoral The Australian National University itu.
Sementara itu, dalam presentasi berjudul “Fiki Nono Dhiri Lina Mata Kisa: Kearifan Masyarakat Ngadhu-Bhaga menuju Pemilu
yang Jujur, Adil, dan Demokratis”, Bapak Prof. Dr. Dominikus Rato, SH., M.Si.,
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember, mengatakan bahwa Fiki Nono Dhiri berarti sesuatu yang kotor, jelek, jahat,
tidak bermanfaat, dipinggirkan, dan disingkirkan, sedangkan Lina Mata Kisa berarti sesuatu yang bersih, baik, benar dan
bermanfaat, serta diletakkan di tengah (dipusatkan).
“Masyarakat Ngadhu Bhaga adalah masyarakat adat di Kabupaten
Ngada dengan simbol ayah-ibu. Ngadhu adalah simbol bapak leluhur – laki-laki
(lingga), sedangkan Bhaga adalah simbol ibu leluhur – perempuan (yoni),” ujar
Prof. Dr. Dominikus Rato, SH., M.Si., alumnus Magister Universitas Gajah Mada.
Menurut Prof. Dr. Dominikus Rato, SH., M.Si., alumnus
Doktoral Universitas Airlangga, demokrasi itu salah dan yang benarnya ialah
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
“Musyawarah
itu dibuat untuk mencapai mufakat. Mufakat itu artinya kesepakatan yang tidak
dapat diingkari. Oleh karena itu, sebagai hasil mufakat, Pancasila itu tidak
dapat diingkari,” tutur Prof. Domi Rato.
Selain itu, Prof. Domi Rato mengatakan bahwa salah satu pilar
demokrasi itu ialah hukum. “Selama ini, ada banyak kebocoran di dalam hukum
kita di Indonesia, sehingga tujuan hidup kita di Indonesia tidak dapat dicapai.
Tujuan kita tidak tercapai karena instrumen yang kita gunakan itu keliru.
Demokrasi yang kita gunakan sekarang ialah demokrasi liberal atau lebih
tepatnya disebut dengan demokrasi yang egois. Sebab, para calon pemimpin dan
para calon legislator itu hanya memikirkan diri sendiri, memikirkan partai, dan
tidak memikirkan kepentingan bangsa. Dampaknya ialah kegamangan kaum nasionalis
dan munculnya bayang-bayang disintegrasi bangsa,” ungkap Prof. Domi Rato.
Menurut Prof. Domi Rato, akibat lebih lanjutnya ialah
munculnya pasar bebas (neoliberalisme), semakin banyaknya keinginan untuk
mendapatkan otonomi khusus yang menjurus ke negara federasi, konflik berbau
SARA, eksploitasi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang berlebihan,
korupsi, proxy war, narkoba, perdagangan orang, serta hoaks dan post truth yang menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan.
“Semuanya itu merupakan bagian dari fiki nono dhiri, yaitu sesuatu yang kotor, jelek, jahat, tidak
bermanfaat, dipinggirkan, dan disingkirkan. Oleh karena itu, kita semua harus
mengatasinya dengan menggunakan hukum sebagai alat untuk menyapu bersih semua
hal-hal yang ‘fiki’ (kotor, jahat, bohong, kejam) dengan hukum yang
berkemanusiaan, adil, dan beradab. Dalam kearifan lokal, hukum yang
berkemanusiaan, adil, dan beradab itu ada di dalam lina mata kisa, yaitu sesuatu yang bersih, baik, benar dan
bermanfaat, serta diletakkan di tengah (dipusatkan),” ungkap Prof. Domi Rato.
Oleh karena itu, tambah Prof. Domi Rato, salah satu hal yang
harus diperbaiki menjelang Pemilu 2024 ialah mentalitas dan moralitas manusia
yang salah. Sebab, sambung Prof. Domi Rato, jika dilihat dari kearifan lokal
masyarakat, manusia sebagai pusat kosmos yang salah, sedangkan hukum, negara,
demokrasi, dan Pancasila tidak pernah salah.
“Jika mental dan moral manusia baik, maka pembentukan hukum,
pelaksanaan demokrasi, dan pengelolaan negara pasti baik. Jika mental jelek,
tetapi moralnya baik, maka pembentukan hukum, pelaksanaan demokrasi, dan
pengelolaan negara pasti jelek. Jika mentalnya baik, tetapi moralnya jelek, maka
pembentukan hukum, pelaksanaan demokrasi, dan pengelolaan negara pasti jelek.
Apalagi mentalnya jelek, moralnya jelek, maka pembentukan hukum, pelaksanaan
demokrasi, dan pengelolaan negara pasti jelek dan jahat. Oleh karena itu,
demokrasi sebagai instrumen berbangsa dan bernegara harus memenuhi syarat: ada
kesetaraan, dipimpin oleh pemimpin yang arif-bijaksana, dipandu oleh hukum yang
benar dan adil, diikuti partisipasi aktif dari seluruh warga Negara dengan
cara-cara yang beradab,” pungkas Prof. Domi Rato. (MDj/red)
0 Comments