(Perjalanan Literasi Menuju Bondo Kodi)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil.
(Owner
Cakrawala NTT)
CAKRAWALANTT.COM - Kami baru selesai
berbicara. Semuanya telah dibahas sedetail mungkin seperti soal biaya
transportasi, akomodasi, sedikit uang lelah, dan beberapa nama disebut untuk
dilibatkan. Akhirnya, dalam waktu kurang dari enam puluh menit, semuanya tuntas
dibicarakan. Seorang kawan yang sebelumnya lebih banyak diam dan hanya tahu
mengangguk setuju selama diskusi pun berbicara singkat dan terkesan sangat
sederhana (remeh-temeh). “Jangan lupa membawakan ballpoint,” katanya dingin.
Kami terdiam
sebelum semuanya tersenyum bangga. Benar. Kita harus membawakan ballpoint.
Benda yang perlu dan substantif di perjalanan ini. Di ini abad, menulis
tentunya tidak harus dengan selalu mengandaikan adanya pena. Ada handphone dan atau laptop yang bisa
digunakan untuk menulis. Namun, pesan penting yang mau disampaikan adalah bagaimana
mungkin kami (kita) mau dan mampu melakukan perjalanan ber-literasi serta mengkampanyekan
pentingnya menulis kalau kami (kita) sendiri tidak menulis? Di banyak kanal maya,
tidak sedikit orang berteriak dalam kesan memaksa “ayo menulis” sementara ia
sendiri tidak biasa menulis.
Perhatikan status facebook-nya. Menyebutkan diri sebagai “penggerak literasi” tetapi dinding
mayanya terlihat norak, alay-alay,
dan mungkin membingungkan. Jika kemudian kita meyakini literasi adalah jembatan
antara narasi dan aksi (teori dan praktik), maka jangan pernah lupa membawakan
ballpoint. Ingat, ballpoint itu harus terang dalam posisi tinta yang encer. Itu
penting.
Waktunya telah
tiba. Semuanya telah dipersiapkan dengan matang. Kami menuju wilayah paling barat
daratan Sumba. Bondo Kodi, namanya. Kami (Tim Cakrawala NTT) datang membawa
kabar kalau Indonesia sedang baik-baik saja. Pemerintah telah ikut peduli dalam
banyak terobosan pembangunan, baik di bidang pendidikan, ekonomi dan
sebagainya. Namun, ada satu hal yang mungkin perlu diperjuangkan bersama, yakni
soal bagaimana menyatukan pikiran, tenaga, dan komitmen bersama untuk mengakarkan
budaya literasi khususnya kegemaran membaca dan keterampilan menulis, baik di kalangan
peserta didik, para guru dan masyarakat umum lainnya.
Ini pekerjaan besar
ketika semua lembaga bergerak pada rujukan (rambu-rambu) tupoksi dan
nomenklatur. Padahal, nafas gerakan literasi adalah sinergisitas dan
kolaborasi. Cakrawala NTT justru hadir di titik ini. Membangun sebuah ikhtiar
bersama bahwa kebaikan banyak orang (bonnum
commune) khususnya mempersiapkan masa depan bangsa yang cerdas, terampil,
berkarakter, dan berwawasan luas adalah tupoksi dan nomenklatur itu.
SMAN 1 Kodi dan
Cakrawala NTT akhirnya beriktiar sama. Menggelar kegiatan workshop penulisan best practice untuk para guru di ini
lembaga pendidikan. Para guru di setiap langkahnya harus selalu “membawa
ballpoint” dan menulis. Atau dengan kata lain, membaca dan menulis adalah
bagian dari cara para guru bernafas. Membayangkan seorang guru di ini abad 21
dan belum (tidak) memiliki keterampilan menulis adalah sinyal kemunduran
peradaban bangsa. Guru adalah sosok yang layak dan pantas untuk digugu dan
ditiru. Kata-kata yang disampaikan bakal menguap dan hilang, tetapi menulis
adalah bagian dari cara mengekalkan kefanaan. Menulis di ini abad adalah cara
kita berada dan cara kita berbicara.
Kepala SMAN 1 Kodi,
Ahmad Abubakar, S.Pd.,M.Pd., mengarisbawahi satu hal bahwa pengembangan
kompetensi guru adalah prioritas utamanya saat ini. Para guru diharapkan berani
keluar dari zona nyamannya dan membuka diri untuk meningkatkan kapasitas
dirinya dalam hal ketrampilan menulis karya ilmiah. “Terkadang kita sudah merasa betah dipanggil Pak
atau Ibu Guru dan enggan untuk belajar lagi. Semisal, kebanyakan menilai
menulis itu hal yang ‘remeh temeh’ saja. Semisal datang ke sekolah tidak
membawa ballpoint, toh ada handphone
atau laptop. Padahal, seorang penulis pemula harus mulai coret-coret di kertas
baru dialihkan ke laptop. Sederhana tetapi sangat berpengaruh. Manfaatkan
kesempatan ini. Gali sekian banyak hal dari para narasumber dan mulailah
menulis,” tegas Ahmad.
Hal yang sama disampaikan oleh Samuel Kalli, S.Pd., selaku Korwas SMA/SMK Kabupaten
Sumba Barat Daya. “Saya mewakili Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT
menyampaikan apresiasi atas terobosan kreatif dalam bentuk workshop penulisan best practice ini. Ada sekian banyak
SMA/SMK di Kabupaten ini tetapi belum semuanya menyadari pentinganya kegiatan
literasi di sekolahnya semisal dalam bentuk workshop penulisan karya ilmiah.
Banyak guru kandas naik pangkat hanya karena kesulitan menulis dan atau tidak
lulus guru penggerak karena kesulitan menulis esay ilmiah. Para guru diharapkan
dapat mengunakan kesempatan ini dengan baik”, ujar Samuel.
Untuk kedua kalinya, kami (Tim
Cakrawala NTT) hadir di ini lembaga pendidikan. Para guru masih memiliki
semangat dan antusias yang sama. Ada senyuman ketulusan yang membalut aneka
rasa. Lelah dan resah mereka adalah bagian dari maksud kehadiran kami agar
tuntas terbayar. Lelah itu harus dibeli dengan cara yang lebih rasional dan profesional.
Ada banyak hal baik dalam bentuk metode mengajar yang mereka telah taburkan di
pikiran dan hati para peserta didiknya. Semuanya bakal hilang dan tercecer jika
tidak dituangkan dalam satu jenis tulisan untuk dikenang, di-share, dan akhirnya terbayar dalam satu
bentuk.
Puji Tuhan, itulah yang terjadi.
Setelah mendapatkan materi dalam waktu yang dipersingkat, mereka (para guru)
mulai diarahkan untuk mulai menulis. Menelusuri kembali aneka strategi jitu
semisal dalam satu metode mengajar saat bergumul mengatasi persoalan
pembelajaran yang pernah dialami. Akhirnya, judul dan latar belakang tulisan langsung
dihasilkan. Aneka pendekatan dibuat untuk menuju tahapan selanjutnya. Banggaku
satu, para
guru mau dibimbing dan memiliki kemauan (kemampuan) untuk keluar dari zona
nyaman dengan memulai hal-hal baru.
Kami tahu, minimal dari ekspresi
wajah dan bahasa tubuh yang terlihat, ada beberapa guru yang terkesan “tidak
merindukan” kehadiran kami. Enggan mulai menulis dan sesekali melawak hanya
memberi kabar kalau dia (mereka) masih ada. Di keesokan harinya, mereka membawa alasan
kalau ada urusan di rumah (kampung) yang menyita banyak kosentrasi semisal
nenek sakit dan sebagainya. Membayangkannya
saja membuat kami “letih” dan terkadang
bertanya dalam hati, “Sebenarnya yang mendapatkan manfaat dari kegiatan
workshop ini sebenarnya kami dari Cakrawala NTT atau para guru?.”
Syukurlah, awasan dari kawan itu
terngiang kembali. “Jangan lupa membawakan ballpoint”. Jika para guru kehabisan
tinta ballpoint, minimal kamu (kami) masih punya persediaan lebih untuk dibagi.
Benar! Para guru tidak hanya
butuh pendampingan menulis,
tetapi juga kehadiran kami untuk memberi semangat dan motivasi. Para guru NTT
itu memiliki dedikasi yang besar dalam tugas dan pengabdiannya. Mereka (para)
hanya perlu dibantu untuk meningkatkan kompetensinya.
Kak Aimin, driver yang setia menjemput dan membawa kami ke beberapa spot wisata, seperti Ratenggaro dan
Wekuri, mengeluh banyak, mulai
dari infrastruktur jalan yang rusak, gaya berkendaraan masyarakat yang tidak
peduli keselamatan diri dan orang lain, soal budaya yang memaksa keadaan dan
terkesan boros,
sampai pada kasus pencurian dan pemalakan yang kerap terjadi.
“Kami di sini susah untuk maju. Jalan
sudah rusak begini, pemerintah seakan menutup mata. Belum lagi orang-orang di
sini, sembarang saja kalau bawa kendaraan. Kita yang harus mengalah. Soalnya mereka
‘nekat’ dan tidak peduli
dengan keselamatan orang. Di sini kita harus selalu hati-hati, karena pencuri
tidak sedikit. Macam sudah jadi kebiasaan begitu. Adoh, kalau saat acara adat
potong hewan banyak. Boros sekali. Begitu sudah kita di sini”, ujar Aimin
spontan.
Saya (kami) setia mendengar.
Terkadang ada beberapa hal yang saya ragu semisal soal ketertiban berkendaraan.
Namun, selang beberapa saat
sebuah kendaraan bermotor menyalib dari arah kiri dan hampir tertambrak. Ia
berhenti dan menatap marah. Aimin harus menurun kaca dan menyampaikan permohonan
maaf dalam bahasa daerah padahal jelas terlihat kalau dia yang salah. Saya
bertanya banyak hal dalam hati dan berjuang menemukan jawabanya. Dari segi
anggaran, NTT memang selalu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan primer
masyarakat seperti infrastruktur jalan, air dan listrik.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi NTT sangatlah
kecil. Gubernur Viktor Bungtilu Lasikodat harus melakukan terobosan “gila”
dengan memijam uang di Bank NTT satu triliun lebih untuk dipakai membangun infrastrutur
jalan. Di ini titik, yakinlah saya bahwa tidak ada cara lain untuk merubah
wajah NTT yang “garang” selain membangun infrastruktur berpikir masyarakatnya.
Literasi adalah jalannya. Generasi muda NTT harus berani berpikir sendiri
sehingga mampu membangunkan aneka potensi dan memanfaatkan telenta dalam
dirinya untuk berkarya.
Di ini tanah, kita semua adalah
pelaku sekaligus korban dari aneka bentuk keterbelakangan. Tahu kenapa itu
terjadi? Pikiran sebagai motor penggeraknya belum berjalan maksimal dan atau
ditunggangi banyak kepentingan sesaat. Saatnya kita harus mampu mandiri dalam
berpikir. Sosok pembentuk pikiran generasi itu adalah para guru. Mereka (guru) adalah
pembawa obor atau mercusuar peradaban. Tinta ballpoint para guru harus selalu
penuh agar bisa dibagi ke peserta didik. Seorang guru yang memiliki kegemaran
membaca dan keterampilan
menulis bakal diguru dan ditiru peserta didiknya.
Itulah mimpi kami (kita). Masih
utuh dan tunggal. Menyambut generasi emas
NTT 2050 dengan membangun budaya literasi. Salam hangat dari ini tanah. Ada
namamu disebut. Memanggilmu kembali untuk peduli. Hanya dalam sikap saling
peduli, kita bisa keluar dari ragam
kenyataan pahit ini. Tidak boleh ada lagi Aimin lain yang selalu menghabiskan
banyak waktu untuk mengeluh. Kita adalah pejalan kaki di tanah ini. Kita tahu
jalan tuju dan jalan pulang untuk NTT bisa bangkit dan sejahtera. Literasi
adalah jalannya. Ingat, ballpointmu harus tetap terang karena sesungguhnya
menulis adalah cara kamu berada dan cara kamu berbicara (bernarasi). Sesungguhnya,
hidup hanyalah sebatas cerita.
Salam Cakrawala, Salam Literasi!
(MDj/red)
1 Comments
good
ReplyDelete