Oleh : Karolus Nisa, S.Pd.
(Guru SMK Negeri 1 Labuan Bajo)
CAKRAWALANTT.COM - Hasil belajar yang berkulitas adalah
hasil belajar yang diperoleh melalui proses yang baik dan benar yang
memungkinkan terjadinya perubahan sikap, pengetehaun, dan keterampilan dalam diri siswa secara utuh. Banyak pendapat yang
mengatakan bahwa hanya dengan menghafal rumus saja tanpa memahami konsep terbentuknya rumus, aturan, pola
dalam matematika, seseorang dapat dikatakan sebagai orang yang pintar dalam bidang matematika. Akibatnya, sekelompok orang memanfaatkannya
untuk meraup keuntungan.
Saat ini, banyak bermunculan penyedia jasa
bantuan bimbingan belajar tentang cara menyelesaikan soal matematika dengan sangat cepat dan
pendek. Siswa pun dihadapkan pada sesuatu yang bersifat instan, sehingga tujuan yang ingin dicapai pun terkesan instan. Untuk itu, perlu diperhatikan kembali bahwa
hasil yang baik melalui
proses yang baik akan menghadirkan kualitas yang baik pula.
Menggunakan metode hitungan rumus
cepat lebih menitikberatkan pola menghafal daripada pemahaman. Rumus cepat tersebut
sebenarnya diperoleh dari rumus formal yang dimodifikasi menjadi bentuk
akhirnya saja. Orang yang sudah paham betul bagaimana menyelesaikan soal secara
sistematis mungkin saja mempunyai rumus tersendiri. Soal yang bisa diselesaikan
dengan rumus cepat pun mempunyai kriterianya tersendiri.
Misalnya, pembagian bersusun bilangan 246736/5 kalau mengikuti langkah-langkah pembagian bilangan bersusun dalam prosesnya, akan memerlukan waktu yang cukup untuk menemukan hasilnya. Namun, dengan metode rumus cepat, hanya mengalikan pembilangnya dengan 2 lalu hasilnya ditulis satu angka desimal (246736 x 2 = 49347,2). Metode ini hanya berlaku untuk bilangan dengan pembagi 5. Kadang, tidak semua soal bisa diselesaikan dengan satu rumus cepat. Hal ini bisa kecolongan dalam menyelesaikan soal ketika dihadapkan pada soal yang berbeda, sebab akan sangat membingungkan dalam memilih rumus cepat mana yang digunakan.
Hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada proses
belajar siswa. Ketika
siswa mengerjakan soal matematika yang berbeda (sedikit) bentuknya, maka pada akhirnya, prestasi belajarnya pun menurun.
Memang rumus cepat itu mempunyai keuntungan, yaitu bisa membantu menyelesaikan
soal secara cepat,
tetapi alangkah baiknya, sebelum
memakai rumus cepat, terlebih dahulu dipahami secara baik
semua konsepnya.
Gambaran permasalahan di atas menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika perlu diperbaiki guna meningkatkan pemahaman konsep siswa. Untuk itu, diperlukan
solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut sehingga diharapkan dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika. Salah satu solusinya adalah menerapkan pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme, yaitu model pembelajaran yang mengatakan bahwa belajar
adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari
lapangan. Artinya, siswa akan cepat memiliki pengetahuan bila pengetahuan itu dibangun atas dasar
kontekstual atau realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Syaiful Sagala (2006 : 71), konsep
merupakan buah pemikiran seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan dalam
definisi, sehingga melahirkan produk pengetahuan yang meliputi
prinsip, hukum, dan teori. Konsep merupakan bagian dasar untuk membangun
pengetahuan yang mantap karena konsep adalah bagian dasar dari ilmu
pengetahuan.
Konstruktivisme, seperti dikatakan oleh Von Glasefeld
(dalam Paul S: 1996), adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri.
Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah ada di sana dan tinggal mengambilnya saja, tetapi
merupakan sesuatu yang dibentuk secara terus menerus dari orang yang belajar
dan selalu mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru
(Fosnot, ed.1996:14).
Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif
melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan
sekema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Konstruktivisme
mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengonstruksi pengetahuan
dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk
menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Secara umum, langkah-langkah model pembelajaran
konstruktivisme adalah sebagai berikut.
Pertama, apersepsi.
Pada tahap ini, siswa didorong agar mengemukakan
pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, pendidik memancing dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomena yang sering
ditemukan sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberikan kesempatan untuk mengomunikasikan dan mengilustrasikan pemahamannnya tentang
konsep tersebut.
Kedua, eksplorasi.
Pada tahap ini, siswa diberikan kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpertasian
data dalam suatu kegiatan yang telah di rancang pendidik. Para siswa secara kelompok saling
berdiskusi dengan kelompok
lain. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa ingin tahu siswa tentang
fenomena alam di sekelilingnya.
Ketiga, diskusi dan penjelasan konsep. Pada tahap ini, siswa memberikan penjelasan dan
solusi yang didasarkan pada hasil observasinya dan ditambah dengan penguatan pendidik, sehingga siswa dapat membangun pengetahuan baru tentang
konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepnya.
Keempat, pengembangan dan aplikasi. Pada tahap ini, pendidik berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang
memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui
kegiatan dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu di
lingkungannya maupun isu-isu global kekinian.
Pada
materi persamaan dan fungsi kuadrat, penulis
cenderung menggunakan model pembelajaran konstruktivisme untuk siswa kelas XI Rekayasa
Perangkat Lunak karena Kompetensi
Keahlian Rekayasa Perangkat
Lunak dituntut untuk berpikir
logis mengikuti urutan langkah-langkah atau prosedur yang benar. Berkaitan
dengan materi belajar fungsi kuadrat,
siswa kelas XI Rekayasa
Perangkat Lunak masih mengalami kesulitan untuk
mengaitkan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari
yang berhubungan dengan persamaan dan fungsi kuadrat.
Misalnya, menghitung luas
maksimum dan minimum. Contoh,
Pak Ali memiliki sebidang tanah berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang
(20x+50) meter dan lebar 4x. Luas tanah Pak Ali 4 kali luas tanah Ibu Selvi
yang memiliki sebidang tanah berebentuk persegi dengan ukuran (4x+10) meter.
Pertanyaannya adalah berapakah luas tanah Pak Ali dan Ibu Selvi.
Persoalan seperti pada contoh tersebut dapat
diselesaikan menggunakan persamaan dan fungsi kuadrat asalkan siswa pada langkah pertama
menerjemahkannya ke dalam
model matematika.
Penulis, pada saat mengajar
materi persamaan dan fungsi kuadrat,
menemukan siswa yang
mengalami kesulitan dalam merumuskan masalah kontekstual yang berkaitan dengan
persamaan dan fungsi kuadrat ke dalam
model matematika. Oleh karena itu, untuk
mengatasi kesulitan tersebut,
penulis menggunakan model pembelajaran konstruktivisme.
Dengan
mengikuti langkah-langkah pembelajaran konstruktivisme dalam aktivitas belajar pada
materi persamaan dan fungsi kuadrat, siswa
mengalami perubahan yang signifikan dalam menguasai konsep, sehingga dapat
memecahkan masalah yang berkaitan dengan materi persamaan dan fungsi kuadrat.
Hal ini dapat diukur dari nilai pencapain hasil belajar yang diperoleh lebih baik dari sebelumnya (bisa mencapai
ketuntasan nilai).
Ketepatan
dalam penggunaan model pembelajaran sangat mempengaruhi hasil belajar siswa. Belajar lebih diarahkan pada experimental
learning, yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman
konkrit di lapangan, laboratorium, dan diskusi dengan teman sekelas, yang
kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Poin pentingnya adalah keberhasilan
proses belajar mengajar bagi siswa, khususnya dalam matematika, dapat dilihat dari tingkat
pemahaman dan penguasaan materi.
Dengan
demikian, untuk meningkatkan pemahaman siswa
tentang konsep-konsep pada pelajaran matematika, khususnya materi
persamaan dan fungsi kuadrat,
dapat dilakukan melalui model
pendekatan konstruktivisme. Itu
berarti bahwa untuk meningkatkan kompetensi siswa,
khususnya mata pelajaran matematika dalam memahami konsep teori dan rumus
matematika, guru
dapat menggunakan berbagai model pendekatan yang tepat dalam pembelajaran
sesuai karakteristik masing-masing materi yang akan diajarkan. (MDj/red)
0 Comments