Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
(CEO Media Pendidikan Cakrawala NTT)
CAKRAWALANTT.COM - Oktober
ini beda dari sebelumnya. Gebyar sumpah pemuda yang seharusnya semarak entah
kenapa terasa dingin (hambar). Jangan tanyakan penyebabnya karena itu bakal
menjadi pertanyaan retoris yang tidak butuh jawaban. Ada perubahan iklim yang
sungguh terasa di ini Oktober. Aroma perubahan iklim itu berada dalam satu
suasana dengan suhu politik yang kian memanas. Merasakan aroma (suhu) itu
adalah kita saat ini. Hidup ini adalah cara kita berpikir. Bukankah kebahagiaan
itu selalu bermula dari pikiran? Jadi, positif saja. Biarkan energi kebahagiaan
itu mengalir hingga ke hati dan pembulu darah.
Oh ya?
Ada cerita menari dalam ini Oktober. Ada Kurikulum Merdeka Belajar yang bikin
penasaran. Para guru dan peserta didik diberi banyak ruang untuk mendesain
pembelajaran asal tetap berada dalam bingkai profil pancasila. Para Kepala
Sekolah (termasuk kepala dinas) diberi kesempatan untuk mengidentifikasi
persoalan pendidikan. Persoalan yang ada kemudian direfleksikan secara mendalam
hingga akhirnya mendapat butir-butir pikiran dan langkah strategis sebagai
solusi pembenahan. Dengan demikian, langkah-langkah
strategis tersebut sungguh menjawabi persoalan nyata yang terjadi di sekolah.
Nah,
untuk membantu sekolah dalam proses mengidentifikasi, merefleksi dan
membenahi (meningkatkan mutu) sekolah,
pemerintah telah menampilkan platform yang menyediakan data laporan hasil
evaluasi sistem pendidikan sebagai penyempurnaan rapor mutu yang sudah ada
sebelumnya. Namanya, “Rapor Pendidikan”. Platform ini digunakan sebagai acuan
untuk mengidentifikasi, merefleksi, dan membenahi kualitas pendidikan Indonesia
secara menyeluruh, dengan sistem yang terintegrasi. Selain itu, Rapor
Pendidikan dapat dijadikan sebagai referensi utama dasar analisis, perencanaan,
dan tindak lanjut peningkatan kualitas pendidikan.
Rapor
pendidikan ini akhirnya menjadi satu-satunya platform untuk melihat hasil
Asesmen Nasional, sumber data yang objektif dan handal dimana laporan disajikan
secara otomatis dan terintegrasi, instrumen pengukuran untuk evaluasi sistem
pendidikan secara keseluruhan baik untuk evaluasi internal maupun eksternal,
alat ukur yang berorientasi pada mutu dan pemerataan hasil belajar (output),
platform penyajian data yang terpusat, sehingga satuan pendidikan tidak perlu
menggunakan beragam aplikasi sehingga dapat meringankan beban administrasi.
Pertanyaan
lanjut yang bikin geli adalah bagaimanakah hasil rapor pendidikan kita
khususnya di ini NTT. Apakah baik-baik saja? Oktober ini kembali membawa kabar
kalau hasil rapor pendidikan itu tidak menjadi penentu apakah seorang siswa
tahan kelas atau gagal Ujian Akhir Sekolah (UAS). Fakta berbicara bahwa di beberapa
tahun terakhir semuanya “wajib” naik kelas dan lulus UAS. Kebijakan ini
ternyata berkhasiat melemahkan daya juang dan menguburkan sekian banyak
“ambisi” untuk berkompetisi dan hasil akhirnya bisa dilihat. Semuanya saling
melepaskan tanggungjawab. Semisal orangtua murid (masyarakat) dan pemerintah
menyerahkan seluruh persoalan pendidikan ke pihak sekolah.
Berbicara
tentang upaya untuk meningkatkan mutu adalah tugasnya para kepala sekolah dan
guru. Sementara itu para kepala sekolah kadang-kadang “bermetamorfosis” dari
manager sekolah menjadi Pimpinan Proyek (pimpro) sekolah. Ia (Kepala Sekolah)
sibuk membuat proposal pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB), mengawasi proyek dan
berjuang menjalin hubungan baik dengan kepala dinas dan para Aparat Penegak
Hukum (APH).
Oktober
memang selalu begitu. Kadang manis dan teduh tetapi ada saatnya bikin geli.
Lalu bagaimana efek lanjut dari kondisi ini? Rapor Pendidikan kita di ini NTT
khususnya di bagian literasi dan numerasi berwarna kuning menuju merah karena
berada di bawah kompetensi minimum. Artinya kita belum selesai di persoalan
baca, tulis dan hitung. Dengan demikian, jangan dulu berbicara jenis literasi
lainnya kalau literasi dasar saja belum selesai.
Masih
tidak percaya? Fakta berbicara. Masih banyak anak SMP bahkan adanya yang sudah
duduk di bangku SMA/SMK belum lancar membaca. Apalagi yang berada dibangku SD.
Sudah kelas enam, masih belum bisa mengenal huruf. Banyak guru yang enggan
mendaftar dan atau tidak lolos seleksi guru penggerak karena kesulitan menulis
esay ilmiah, banyaknya jasa pembuat skripsi dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
untuk kenaikan pangkat bagi guru serta beragam persoalan lainnya.
Sementara
itu, masyarakat (para wakilnya) menyerahkan seluruh masa depan dan
kesejahteraan anak (generasi bangsa) kepada pemerintah. Semisal desakan untuk
menambah kuota PNS, P3K dan sebagainya semakin kencang ketimbang mendukung dan
menyiapkan anak-anaknya (generasi muda) untuk bisa mandiri dan mampu membaca
peluang kerja. Asyiknya, pemerintah merespon tuntutan itu dengan meningkatkan
pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, bendungan dan sebagainya dan
seakan “mengabaikan” pembangunan infrastruktur berpikir (peningkatan SDM).
Sekolah “dimerdekakan” tanpa menyiapkan karakter belajar siswa dan metode mengajar
dari guru. Dalam konteks ini kurikulum merdeka bisa dimengerti kurikulum
merdeka dari proses belajar, santai-santai dan tidak peduli. Di ini NTT
misalnya, pemerintah seakan lebih cenderung berbicara menanam jagung di
lingkungan sekolah ketimbang upaya menanamkan kebiasaan membaca dan ketrampilan
menulis.
Sebagai
salah satu pejalan sunyi literasi, di Oktober ini saya tidak hanya ikut
bersama hujan menumbuhkan benih pikiran
kritis tetapi juga “galau”. Ada rapor pendidikan “buram” dan seharusnya kita resah. Bukan sebaliknya. Warna rapor
pendidikan kuning menuju merah seharusnya segera dicarikan jalan keluarnya.
Bagaimana mungkin kita memaksa si pemuda itu bersumpah dan bangga dengan tanah
air, bangsa dan bahasanya kalau ia sendiri tidak dimerdekakan dari kondisi
dehidrasi literasi dan numerasi. Atau mungkin kita melihat fakta dan data ini
biasa-biasa saja. Buat apa repot-repot berusaha kalau pada akhirnya dinilai
sama. Semuanya naik kelas dan lulus UAS.
Lalu
untuk para pemangku kepentingan, sampai kapan kita bekerja di bawah
bayang-bayang ketakutan. Takut salah mengambil langkah (kebijakan), takut
menjadi ATM berjalan para APH, takut dinilai gagal dan jabatan dicopot dan sebagainya. Akh, hidup dalam ketakutan
memang paling tidak enak. Hal-hal baru yang seharusnya dilihat sebagai peluang
besar untuk maju dan bertumbuh malah dilihat sebagai ancaman. Sudahlah. Lakukan
yang standar saja. Prinsipnya kita tidak menyalahgunakan anggaran. Bahwa
kemudian banyak anggaran tidak terserap, itu hal lain. Asal tidak berhubungan
dengan APH. Begitukah?
Ini
fakta dan data. Rapor pendidikan kita khususnya dibagian literasi dan numerasi
berwarna kuning menuju merah. Berada dibawah kompetensi minimum. Mari kita
identifikasi penyebabnya. Pertama, Merdeka belajar itu selalu mengadaikan
merdeka berpikir. bebaskan diri dari pikiran bahwa merdeka belajar itu adalah
merdeka dari tuntutan dan tanggungjawab membangun pendidikan. Mendidik pikiran
dengan banyak membaca adalah jalan menuju kemerdekaan berpikir dan belajar.
Membaca tanda-tanda zaman dan peluang kerja selalu bermula dari ketekunan
membaca buku. Oleh karena itu, mari kita gencarkan kembali gerakan sejuta buku
untuk NTT semisal dengan mewajibkan peserta didik menyumbangkan buku ke sekolah
dan ikut membeli dan membaca buku karya anak-anak NTT.
Kedua,
bebaskan para kepala sekolah dari tuntunan kerja yang berada di luar kapasitas
dan kemampuannya. Pembangunan fisik sekolah diberikan kepada pihak ketiga yang
profesional di bidangnya. Para kepala sekolah didorong untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Bukan menghabiskan waktu untuk sekadar menghitung banyaknya besi,
semen dan batako.
Ketiga,
mari mengejar ketertinggalan NTT dengan cara yang rasional dan profesional.
Mendorong terbentuknya sekolah vokasi dengan mengoptimalkan kemampuan sekolah
berwirausaha seperti menanam jagung demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) itu baik. Tetapi jauh lebih baik adalah membangun kualitas pikiran warga
sekolah. NTT ini sangat potensial dari segia Sumber daya Alam (SDA), budaya dan
pariwisatanya. Kita sudah seharusnya bergerak di literasi finansial, digital
dan sebagainya.
Keempat,
libatkan para mitra pembangunan dalam hal mendongkrak mutu kompetensi di bidang
numerasi dan literasi. Jangan berpikir, bekerja dan lelah sendiri. Bukakan
gerbang dinas dan sekolah untuk membangun kerja kolaboratif dengan pihak lain
yang professional dan kompeten di bidangnya. Jangan selalu merasa hebat
sendiri. Waktunya berubah dan keluar dari zona nyaman dengan membangun kerja
sama dan sama-sama bekerja.
Di ini
Oktober, angin dan hujan hadir bersama dan menggenangi hati (pikiran). Ada rasa
dimana kita berada dibanyak pilihan. Ragu dan bingung mengambil keputusan. Ada
beberapa pertimbangan yang menggerogoti hati dan mengacaukan pikiran kritis.
Mungkin saatnya kita belajar dari angin dan hujan itu. Tetap rasional dan
profesional. Hidup ini bukan sekadar ada tetapi buatlah semuanya menjadi
berarti. NTT itu adalah “rahim” yang terkadang buat kita nyaman sampai lupa
untuk “terlahir” kembali dan merasakan dinamika kehidupan.
Mohammad
Hatta berujar, “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta tetapi
Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa”. Saatnya kita bergerak,
mengidentifikasi persoalan pendidikan kita di ini NTT. Jangan ragu untuk mengambil waktu berefleksi
sedalam mungkin dan segeralah mengambil keputusan-keputusan yang cerdas untuk
NTT bangkit di bidang pendidikan. Tidak boleh lagi seperti Oktober yang hanya
mengumpulkan awal dan menaburkan hujan. Belajarlah nanti pada November yang
berani bersemi dan menghasilkan ragam inovasi dan kreatifitas.
Salam
Cakrawala, Salam Literasi.
(red)
1 Comments
merdeka belajar menghasilkan penjajahan bernalar
ReplyDelete