(Sebongkah Kisah Literasi Dari Batas Kota Atambua)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil.
(CEO Media Pendidikan Cakrawala NTT)
CAKRAWALANTT.COM - Kami baru selesai bicara. Pukul 04.00
pagi. Begitulah kami kalau berkegiatan bersama. Memilih untuk sekamar agar
memiliki banyak kesempatan untuk berbagi pikiran. Pagi hari di sekitar pukul 04.00 hingga pukul
06.00 pagi adalah kesempatan terbaik untuk kami mengisi waktu membaca, menulis
dan Ngopi (ngobrol pintar). “Oktober itu selalu manis dan teduh”. Begitulah
kami mulai Ngopi. Ada tunas yang bertumbuh ceria karena hujan sudah datang,
bulan yang dikenal umat Kristiani sebagai bulan Rosario dan bulan keluarga, ada
tanggal yang manis di urutan ke-28 untuk dirayakan sebagai harinya para pemuda
bersumpah untuk tetap bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu.
Oktober itu membawa cerita dan nuansa rasa yang khas.
Benar. Oktober itu selalu manis dan
teduh. Kami selalu mau menjadi saksi setia untuk Oktober yang teduh dan manis
itu. Asyiknya, ada seorang Bunda yang ingin ada dan dipuji keluhuran hatinya di
ini bulan. Seorang Ibu yang tahu dan paling mengerti detak jantung
anak-anaknya. Seorang Perempuan yang pasrah pada kehendak Tuhan tetapi enggan
untuk menyerah diri pada dosa. Sapaan doa “Salam Maria” didengungkan perlahan
bersama lilin kecil yang beredar selama lima puluh kali kala mengenang ragam peristiwa
kehidupan.
Lilin kecil itu terus bersinar untuk
mencahayai relung hati dan menerangi akal budi. Seperti Cakrawala, lilin itu
tak mau bergeming dan enggan menyerah hingga berakhir pasrah pada kehendak
Ilahi. Terjadilah padaku menurut perkataamu dan atau bukan kehendakku yang
terjadi tetapi kehendak-Mu. Kita manusia memang seharusnya merencanakan banyak
hal dan biarlah Tuhan yang menentukan.
Kawanku menyajikan sepotong cerita yang
didapatnya kemarin pagi. Tentang seorang anak Tuhan bernama Nurul. Dilahirkan
dari keluarga muslim yang taat dan dengan
penuh ceria-bahagia menimba ilmu di taman SMP Hati Tersuci Maria. Sebuah
sekolah Katolik di batas kota Atambua. Si Nurul kecil itu pasti tidak banyak
mengenal sosok Bunda Maria pelindung sekolah ini. Tetapi jika kemudian ia betah
dan sangat ceria dan bahagia di taman ini maka kisah ini menjadi cerita
kehidupan yang mampu menembus tetapi tidak melukai. Oktober ini akhirnya bukan
hanya manis dan teduh tetapi juga menggetarkan. Sepotong kisah ini menjadikan
pagi ini menjadi utuh dan sempurna. Di batas kota ini kisah kami adalah kita yang ingin tahu
manis, teduh dan bagaimana menikmati
Oktober yang menggetarkan.
***
Kabar tentang keinginan Sr. Elga Lucia
Rafu, SSpS.,S.Pd., Kepala Sekolah SMP Katolik HTM Halilulik sudah disampaikan
sebelumnya. Pernah dijadwalkan sebuah tanggal tampan di awal Oktober tetapi
keburu direbut beberapa kegiatan yang sifatnya mendesak maka kami bergeser ke
sini. Ke tanggal 24 hingga 26 Oktober. Waktu yang selalu asyik jika mau
mengabadikan diri dalam satu cara. “Pak Gusty, rapor pendidikan untuk sekolah
kami, sepertinya bikin hati resah. Ada literasi dan numerasi yang berada di
bawah kompetensi minimum. Kami mau Cakrawala hadir dan “menerangi” hati dan
pikiran para guru dan anak-anak kami. Ajak mereka untuk bersama lalui jalan
sunyi literasi itu” ujar Suster Elga tenang.
Tiba-tiba saya teringat akan situasi
dehidrasi di ini NTT. Banyak guru yang enggan mendaftar dan kalaupun ada yang
mendaftar banyak yang tidak submit
dan tidak lolos Calon Guru Penggerak (CGP).
Nilai Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang berada di bawah rata-rata,
banyaknya guru yang memakai Joki untuk penulisan PTK kenaikan pangkat, ada
sekian banyak jasa pembuat skripsi, masih banyak anak yang sulit membaca
padahal sudah berseragam putih-biru dan aneka bentuk contoh situasi dehidrasi
di NTT.
Wajah pendidikan di ini tanah sudah
luka, bernanah dan bopeng. Di Oktober ini, seharusnya bukan hanya tanam jagung
tetapi juga tanamkan ilmu khususnya di literasi dasar, finansial, kewargaan,
dan digital. NTT ini harus ditanam banyak anakan kegiatan produktif agar
karakter anak bangsa terbentuk, matang
dan sedap untuk dilihat.
Si Nurul kecil itu duduk bersama Maria,
sahabat baiknya. Seperti yang lainnya mereka menatap dalam aneka rasa yang
tidak biasa di atas hatinya yang polos dan tulus. Menunggu arahan dan dinamika
yang kami ciptakan. Di belakang sana, para guru duduk manis-berwibawa dan
“merelakan” anak-anak mereka ditempa, diarahkan di tiga hari yang ranum ini.
Materi “Katarsis Literasi” dimulai. Membiarkan mereka menulis apa yang dilihat,
dirasakan dan dipikirkan. Tulis saja dan mari kita rayakan bersama. Materi
katarsis literasi sekaligus dijadikan bagian dari pre-test.
Akh… apa yang terjadi. Imajinasi mereka
terbentuk begitu saja dan mengembara menemus lorong waktu. Ada cita-cita besar
menumpuk di hati kecilnya untuk menjadi bintang. Bermimpi adalah mesin
pendorong yang menembus segala keterbatasan dan kemalasan. Saat diminta
menuliskan sepotong surat untuk orangtua, semuanya meneteskan air mata rindu,
penyesalan dan harapan. Air mata itu jatuh di atas keras putih, tepat di ujung
pena yang diwarnai dalam aneka kisah hidup, mimpi yang utuh untuk
diperjuangkan, ketulusan untuk mencintai dan harapan untuk berbagi serta
menjadi berkat bagi yang lain. Air mata generasi emas itu jatuh di taman ini.
Di Hati Tersuci Maria.
Kawanku, mengembangkan sepotong cerita
itu dan membaginya secara merata. Sebagai pendamping kelas siswa, ia banyak
bercerita tentang senyuman seorang Nurul, Maria, Marten, Iwan dan keenam puluh
lainnya. Ragam materi diberi seperti jurnalistik dasar, literasi digital,
tulisan kreatif, puisi, pentigraf dan sebagainya. Dinamaika pun diciptakan
dalam lagu, video, intrumen dan ice
breaking.
Sementara itu, saya banyak menghabiskan
detik dan menit bersama para guru. Merasakan langsung detak jantung keresahan
dan harapan mereka. Sudah 64 tahun sekolah ini berdiri maka tidak heran jika
ada yang sudah mengabdi tuntas hingga siap memasuki masa purnabakti. Guru
senior dan junior ada di ruangan yang sama. Asyik begitu. Seperti kita sedang
berada di rumah. Ada yang hadir seperti oma, opa, ayah, ibu, kakak dan adik.
Cerita kami pun mengalir begitu saja
seperti sahabat yang lama tak berjumpa. Para guru memang dihadirkan Tuhan untuk
selalu resah, peduli dan peka terhadap proses tumbuh-kembang anak-anaknya.
Sesekali mereka bangga karena dari tempat ini telah “tercetak” orang-orang
hebat di bidangnya. Tetapi sesekali mereka menunduk saat berkisah tentang ada
beberapa anak yang karakternya lain dari yang lain, sulit baca, senang
berkelahi dan tidak punya kemauan dan kemampuan untuk berkembang. Aneka metode
dan stategi mendidik dan mengajar telah dibuat. Apakah itu sudah cukup?
Hemat saya, merdeka belajar itu seharusnya
dimulai dari merdeka berpikir. Ketika pikiran itu “dimerdekakan” dalam satu
cara maka sebenanya kemerdekaaan belajar itu pasti tercipta. Pikiran adalah
mesin penggerak atas ragam kreatifitas dan inovasi. Seorang yang pikirannya
luas, terbuka dan memiliki ketajaman untuk memilah dan menilai bakal hadir
memberikan lentera untuk yang lain. Para guru adalah dia yang harus dan layak
untuk digugu dan ditiru. Karena itu para guru harus “dimerdekakan” khususnya
dalam hal kemampuan literasi dasar (baca-tulis).
Para guru harus mengakui kekuatan dan
keindahan kata. Guru pembaca selalu melahirkan anak berwawasan luas. Maka
logika pikiran dalam tulisan itu harus diketahui. Menulis itu adalah cara kita
berada dan cara kita berbicara. Semakin tajam dan bernas tulisan seseorang maka
sebenarnya pada saat yang sama ia sedang memamerkan ketajaman pikirannya.
Pikiran yang tajam dan bernas bakal membentuk pola hidup dan tingkah laku yang
seimbang (bervariasi).
Terjadilah demikian. Para guru diminta
menulis kembali apa yang telah dilakukannya bertahun-tahun. Menulis kembali
persoalan dan aneka terobosan kreatif yang telah dialami dan dibuatnya. Jika
kemudian ditemukan anak yang tidak menyukai belajar matematika, kreativitas dan
metode mengajar diciptakan agar mereka melihat guru, matematika dan jam
pelajaran matematika itu menyenangkan dan bukan sebaliknya. Di umur mereka yang
masih hijau dan polos harus dibuat gembira dan bahagia. Nutrisi otak dan
hatinya diasupi dengan ragam informasi yang mencerdaskan sekaligus membebaskan.
Jangan siksa anak dalam satu metode mengajar yang monoton dan tidak bersahabat.
Bukankah pendidikan itu selalu
membebaskan. Lihatlah anak-anak itu. Meneteskan air mata haru, bangga dan
meletakan harapannya di kaki Sang Bunda. Para guru tidak boleh melukai hati
Bunda Tersuci itu dengan metode atau pola pendekatan yang tidak membebaskan
bagi peserta didik.
Cakrawala berjuang hadir mencahayai yang
telah ada dan membebaskan para guru dari belenggu kondisi a-literasi (bisa baca
tetapi tidak biasa membaca dan menulis). Bangga kami (saya) satu. Para guru mau
dibimbing dan memiliki kesediaan untuk dituntun kembali. Para pembawa lentera
masa depan bangsa ini mau berhenti sejenak dan mengisi kembali lenteranya
dengan minyak beraroma literasi. Mereka (para guru) sudah menulis sampai
bernafas dengan kata-kata yang hidup dan memberi inspirasi.
Sekali lagi, saya (kami) adalah saksi
atas semua perubahan besar ini. Para guru akhirnya mulai mengerti dan trampil
menyusun pikiran dalam tulisannya. Logika dan isi tulisannya terlihat jelas dan
di detik itu mereka sebenarnya dibebaskan dari satu kalimat yang selalu muncul
“kami kehabisan kata-kata”.
***
Kami tahu, Oktober segera berlalu dan
November akan tiba. Aroma natal bakal mulai terasa. Sebuah cerita tua tentang
kelahiran (kehadiran) bakal dinarasi dalam banyak bentuk. Mungkinkah para guru
yang bernaung di dalam Hati Tersuci Maria ini telah dan akan “dilahirkan”
kembali? Hanya Oktober yang manis dan teduh itu akan menjawab. Di perbatas kota
ini, adakah kata yang paling abadi selain kata bertemu dan berpisah? Adakah
suara yang paling menggetarkan selain ucapan selamat datang dan selamat jalan?
Di ini taman, serpihan cahaya Cakrawala itu kami tinggalkan. Membiarkan hujan
itu membasahinya dan bertumbuh dalam aneka rasa bangga, haru dan menghidupkan.
Kawanku tertidur dalam sadar. Mengigau
dalam sunyi tentang Oktober yang manis dan teduh. Tentang Bunda yang selalu
hadir menenteng lentera untuk menerangi lubuk hati dan pikiran. Tentang kami
yang ingin setia di jalan ini. Jalan sunyi literasi di NTT. Jika November itu
tiba, ketahuilah ada jejak yang sudah kami tinggalkan di perbatasan kota ini.
Jika semesta mengizinkan, kami kembali membawa diri dan bersama bercahaya di
sini. Di hati Bunda yang masih setia menjaga api dan tungku agar tak ada lagi
kata kami dan kamu tetapi bakal menjadi kita yang ingin setia menerobos jalan
sunyi literasi di NTT. Untuk kamu semua para penggembara yang pernah
meninggalkan jejak di taman ini, ada sebongkah salam hangat dari ini batas
kota. Ada jejakmu di sini dan memanggil untuk kamu pulang dan menimba inspirasi
dari api dan tungku yang selalu dijaga hingga keabadian.
Salam Cakrawala, Salam Literasi
0 Comments