Oleh : Wilibaldus
Sae Delu
(Jurnalis
Media Pendidikan Cakrawala NTT)
Pengantar
Suatu ketika saya diboncengi teman
mengelilingi kota Ende pada hari minggu sore. Tanpa perlengkapan berkendara
yang memadai, kami berjalan keliling kota Ende. Sepanjang perjalanan, saya
mengamati situasi di jalanan. Tidak sedikit pengendara yang tidak menggunakan
helm dan kebut-kebutan. Beberapa bahkan membonceng tiga orang dan melintas
tanpa beban.
Di salah satu jalan protokol,
seorang pendendara terlihat ngebut-ngebutan, sedang helmnya disimpan di gantungan
motornya. Spontan saya bertanya pada teman yang memboncengku “aman ko, eja?”.
“Tenang saja, tidak ada tilang hari minggu. Polisi juga butuh libur. Di sini
kalau hari Minggu, jalan bebas. Tidak ada tilang-tilang”, timpalnya.
Cerita singkat di atas, setidaknya
menggambarkan realitas berkendara masyarakat di Ende khususnya dan NTT pada
umumnya. Helm digunakan saat ada razia polisi di jalanan. Kelengkapan kendaraan
baru akan diperhatikan bila ada informasi razia oleh pihak kepolisian.
Jalur-jalur tikus di kota akan menjadi pilihan prioritas untuk mengelabui
jebakan polisi lalu lintas.
Fenomena ini berbanding lurus
dengan tingkat kecelakaan yang terjadi. Kecelakaan lalu lintas adalah cerita
pilu yang terjadi hampir tiap hari. Seringkali kita menjumpai dan bahkan
mungkin mengalaminya di jalanan. Berita dan video kecelakaan terkadang nongol
jua di ponsel dan sosmed kita.
Data Direktorat Lalu Lintas
Kepolisian Daerah NTT menunjukkan, kasus kecelakaan lalu lintas di wilayah NTT
pada tahun 2021 sebanyak 1.191 kasus. Dari total kasus ini, 375 orang dilaporkan
meninggal dunia, 429 orang mengalami luka berat, dan 1.408 orang mengalami luka
ringan. Sementara jumlah pelanggaran lalu lintas mencapai angka 16.711 kasus (www.kupang.antaranews.com)
Kita patut bertanya, ada apa dengan
pengendara di wilayah ini? Bukankah keselamatan di jalan adalah hal yang harus
diprioritaskan? Sejauh mana kesadaran pengendara dalam mewujudkan tertib
berlalu lintas selama berkendara? Sederet pertanyaan ini menggugah kita untuk
melihat lebih jauh realitas kesadaran berkendara di masyarakat.
Membongkar
Kedok Kecelakaan
Setiap pengendara tentu tidak
menginginkan terjadinya kecelakaan. Melintasi jalan dengan aman, berangkat dan
tiba di tempat tujuan dengan selamat merupakan impian setiap pengendara. Namun
demikian, kecelakaan lalu lintas masih menjadi cerita pilu di jalanan.
Persoalannya sederhana, tertib berlalu lintas masih sebatas jargon. Tidak cukup
kuat mengakar dalam kesadaran masyarakat pengendara.
Hasil Investigasi Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebutkan sekitar 80 persen faktor penyebab
kecelakaan dipicu oleh kelelahan pengendara. Ketidakmampuan pengendara dalam
memahami gerakan pengguna jalan lain akibat salah persepsi, kecerobohan dan
tidak memahami kondisi jalan dan lingkungan juga menjadi faktor penyebab
kecelakaan lalu lintas (www.kompas.com).
Selain faktor tersebut di atas,
menurut hemat saya, tingginya angka kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas
disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas. Sekedar contoh,
helm digunakan bukan untuk kepentingan keselamatan saat berkendara tetapi agar
lolos dari razia Polisi. Berhasil lolos dari kejaran Polisi Lalu Lintas adalah
sebuah kebanggaan. Menenggak miras saat berkendara dinilai membantu menerangkan
mata. Akan terlihat lebih keren bila bermain HP saat berkendara.
Kesadaran palsu inilah musabab
kecelakaan. Ada banyak contoh kasus kecelakaan yang disebabkan pengendara yang
mabuk miras. Terbaginya konsentrasi saat berkendara sambil bermain HP juga
turut menyumbang kecelakaan. Beberapa pengendara yang tidak menggunakan helm,
harus menemui ajalnya saat terjadi kecelakaan di jalan.
Fenomena kesadaran palsu ini
diperparah dengan banyaknya kendaraan “telanjang”. Baik itu yang tidak memiliki
surat-surat maupun kelengkapan fisik kendaraan. Merujuk pada Undang-undang No.
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap kendaraan bermotor
yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan kendaraan
bermotor (pasal 57).
Menumbuhkan
Kesadaran Berlalu Lintas
Dewasa ini, kebutuhan akan
kendaraan bermotor adalah hal mutlak.
Kendaraan bermotor dibutuhkan untuk mempersingkat jarak dan memudahkan mobilitas.
Tingginya kebutuhan dan penggunaan kendaraan bermotor ini mestinya dibarengi
dengan kesadaran untuk tertib berlalu lintas guna meminimalisir resiko
kecelakaan. Lantas, bagaimana upaya menumbuhkan kesadaran dimaksud?
Pertama,
memaksimalkan kerja Satuan Polisi Lalu Lintas (Satlantas). Polisi Lalu Lintas bertanggung
jawab dalam urusan pengendalian lalu lintas untuk mencegah dan meniadakan
segala bentuk gangguan serta ancaman agar terjamin keamanan, ketertiban,
keselamatan dan kelancaran lalu lintas
di jalan umum. Efektivitas fungsi ini tidak saja melalui gelaran razia
dan operasi berkala, tetapi juga melalui pendekatan edukatif dan humanis.
Selama ini, cenderung ada jarak
antara polisi dan pengendara. Ketakutan terbesar pengendara bukanlah kecelakaan
tetapi pada polisi yang menggelar operasi. Masyarakat pengendara memosisikan
polisi sebagai hantu lalu lintas yang mesti dihindari. Persepsi miring ini
perlu diluruskan segera. Di satu sisi, polisi harus memosisikan diri sebagai
sahabat masyarakat pengendara yang berani dan setia mengayomi. Aktif memberikan
edukasi berupa sosialisasi dan kampanye kesadaran berkendara baik secara
langsung maupun melalui platform digital.
Kedua,
masyarakat pengendara perlu membekali diri dengan pengetahuan terkait keamanan
berkendara. Mewajibkan diri untuk selalu menggunakan helm saat berkendara,
memastikan kelengkapan fisik kendaraan dan surat-suratnya saat berkendara,
menahan diri untuk tidak menggunakan HP dan tidak mengonsumsi miras saat
berkendara serta mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Sadarilah bahwa keselamatan
di jalan adalah tanggung jawab bersama yang mesti selalu diupayakan.
Hari Minggu, kendati tidak ada
pengamanan dari pihak kepolisian bukanlah jaminan keselamatan di jalan. Sial
datang tidak memberi aba-aba sebelumnya. Jangan patuh karena ada polisi sebab
keselamatan berkendara tidak ditentukan oleh polisi melainkan diri kita
sendiri. Sadar berlalu lintas adalah
kunci keselamatan saat berkendara.
Ketiga,
menjadikan tertib berlalu lintas sebagai budaya. Hal ini berarti bahwa tertib
berlalu lintas dijadikan sebagai bagian dari sikap dan pola perilaku serta
pengetahuan yang merupakan suatu kebiasaan dan diwariskan. Proses pembiasaan
dan pewarisan inilah yang memungkinkannya menjadi bagian dari budaya.
Kita semua tentu tidak menginginkan
terjadinya kecelakaan saat berkendara. Namun siapa sangka, soal sial tidak ada
yang bisa menebak datangnya. Secara tertentu, kendati waspada dan paham aturan
berkendara, kita tetaplah calon korban potensial kecelakaan lalu lintas.
Menyadari hal ini, negara hadir memberikan perlindungan.
Guna meringankan beban hidup masyarakat
akibat korban kecelakaan penumpang dan korban kecelakaan lalu lintas,
pemerintah telah mendirikan perusahaan asuransi kecelakaan lalu lintas jalan.
Jasa Raharja sebagai bagian dari BUMN adalah representasi kehadiran negara
dalam menyikapi persoalan ini. Undang-undang No. 33 dan 34 Tahun 1964
mengamanatkan perusahaan asuransi ini untuk memberikan santunan kepada
masyarakat yang mengalami kecelakaan lalu lintas.
Kita bersyukur, sejauh ini Jasa
Raharja sangat responsif dalam memberikan santunan kepada korban kecelakaan dan
aktif mengkampanyekan kesadaran berlalu lintas kepada masyarakat. Bersama Jasa
Raharja kita mendorong agar masyarakat sadar akan keselamatan berlalu lintas
dan menjadikan tertib berlalu lintas sebagai budaya.
Upaya menumbuhkan kesadaran berlalu
lintas adalah kerja besar yang membutuhkan keterlibatan semua pihak. Bukan
semata urusan Satuan Polisi Lalu Lintas dan Jasa Raharja sebab keselamatan kita
di jalan tidak bergantung pada dua institusi ini. Kita sendirilah yang
memproteksi diri dan membudayakan kebiasaan tertib berlalu lintas saat
berkendara. Sadar dan tertib berlalu lintas adalah kunci keselamatan kita saat
berkendara. (red)
0 Comments