Ilustrasi. |
Jakarta, CAKRAWALANTT.COM - Ketua Umum
Yayasan Indonesian Conference on Religion
and Peace (ICRP), Prof. Siti Musdah Mulia, menyayangkan terjadinya kasus
pemaksaan penggunaan jilbab terhadap siswa SMA di Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), beberapa waktu lalu. Menurutnya, persoalan ini akan terus
berulang jika semua pihak tidak tegas dalam mencegah dan menangani persoalan
intoleransi di masyarakat.
“Karena ini
persoalan agama, persoalan budaya, sehingga tidak bisa cepat kita mengatasi
ini. Terlebih jilbab ini adalah soal keyakinan jadi kita tidak bisa melarang,”
kata Prof. Siti Musdah Mulia, Selasa (8/8/2022). Yang harus ditekankan dalam
hal ini, kata Siti Musdah Mulia, adalah bagaimana pemerintah dengan segala
sumber dayanya mampu menangani persoalan ini dengan serius, sistematis, dan
holistik. Caranya dengan menanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika serta memberi
pengertian bahwa tidak ada benturan antara agama dan Pancasila sebagai hasil
pemikiran para founding fathers
bangsa.
Tidak hanya
pemerintah, Musdah juga menilai upaya pencegahan intoleransi di dunia
pendidikan harus menjadi tanggung jawab semua pihak untuk memastikan bahwa
agama di masyarakat merupakan agama yang inklusif, toleran, dan sesuai dengan
Pancasila.
“Jadi kalau
mengaku sebagai orang yang beragama, maka kita harus toleran. Toleran itu nggak
mesti meyakini dan setuju keimanan agama lain, tetapi dengan legowo menerima
bahwa beragama adalah hak mereka atau hak orang lain,” kata wanita pertama yang
dikukuhkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Profesor Riset
bidang Lektur Keagamaan ini.
Prof. Siti Musdah Mulia |
Menurutnya,
insiden jilbab di salah satu SMA Negeri itu sebagai sebuah praktik intoleransi
yang cukup kontradiktif dengan visi misi dan jargon Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mengusung Merdeka Belajar. Sebab,
sudah seharusnya sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk
mengembangkan diri dan memahami nilai-nilai kewarganegaraan yang sesuai dengan
semangat Pancasila.
“Katanya
Merdeka Belajar, tapi siswa tidak boleh punya pilihan. Sekolah harusnya
mengajarkan saling menghargai, ajari sikap dan karakter sebagai murid itu apa,
tugas, dan kewajiban murid, itu yang seharusnya dijelaskan oleh sekolah. Mau
pakai jilbab itu baik, tidak pakai juga tidak apa-apa, tidak boleh menghakimi
mereka yang berbeda,” kata aktivis yang sangat kritis dalam isu HAM, agama, dan
perempuan ini.
Wanita
kelahiran Bone, 3 Maret 1958, ini, mengatakan dalam praktiknya masih sering
ditemukan oknum yang justru secara tidak sadar menghancurkan nilai toleransi
berkedok himbauan. Menurut Musdah, hal ini menjadi sesuatu yang mengerikan
karena terjadi praktik pelabelan dan penilaian buruk terhadap seseorang yang
berbeda, bahkan sudah diajarkan sejak dini.
“Kadang
oknum menjustifikasi bahwa berjilbab adalah imbauan, tapi di lapangan dalam
praktiknya ada sikap tidak menyenangkan, memberi penilaian jelek pada seseorang
yang tidak berjilbab, serta pelabelan lain. Itu kan pandangan yang salah dan
berbahaya. Karena dalam beragama tujuannya adalah tentang keluhuran budi,” kata
mantan Wakil Sekjen PP Muslimat NU ini.
Dirinya
juga menilai, pentingnya peran dan kompetensi guru, untuk lebih didorong
terkait kompetensi keberagamaannya. Serta bagaimana pemerintah maupun dinas
Pendidikan mampu Menyusun indikator keberhasilan Pendidikan yang menekankan
pada karakter luhur dan budi pekerti siswa baik dalam hal agama maupun
bernegara.
“Jadi dalam
pendidikan agama tertulis guru guru agama itu harus membangun kesuksesan keberagamaan,
dan salah satu indikator keberhasilannya itu pakai jilbab, ini harus direvisi
dan clear. Jadi karakter
keberagamaaannya yang harusnya didorong,” kata mantan Staf Ahli Menteri Negara
Urusan Hak Asasi Manusia Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan
Minoritas ini.
Sayangnya,
yang menakutkan adalah di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) justru sudah
mengajarkan segregasi, permusuhan, kebencian terhadap yang berbeda. Parahnya
hal itu tumbuh di lingkungan keluarganya yang sayangnya tidak mengerti agama.
Oleh karenanya Musdah mewanti-wanti agar semua pihak tidak salah arah.
“Masalah
ini tidak bisa kita lepaskan begitu saja sebagai tanggung jawab negara.
Masyarakat sipil harus diperkuat literasinya, sehingga terdorong pula tanggung
jawabnya,” kata peraih gelar Doktoral bidang Pemikiran Politik Islam dari UIN
Syarif Hidayatullah ini.
Perempuan
dengan karya-karyanya yang dikenal sangat vokal menyuarakan nilai-nilai
kemanusiaan, prinsip keagamaan yang moderat dan cinta perdamaian ini, juga
turut mengapresiasi Kemendikbudristek yang sudah sedemikian rupa menyadari
pentingnya persoalan Intoleransi yang masuk kedalam 3 Dosa Lembaga Pendidikan,
yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.
“Sebelum
ada 3 dosa besar itu kondisnya sangat mengenaskan, dan baru sekarang kita sadar
serta punya keberanian memberantas kasus intoleransi di dunia Pendidikan. Saya
bersyukur bahwa ini sudah menjadi wacana publik,” kata peraih Yap Thiam Hiem Human Rights Award (2008)
dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia ini. (sindonews.com/MDj/red)
0 Comments