Foto: Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk “Pentingnya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Negara-negara G20” (The Importance of Face-to-Face Learning in G20 Countries), Kamis (7/7/2022). |
Jakarta, CAKRAWALANTT.COM - Hadirnya pandemi Covid-19
telah memperparah krisis pembelajaran yang sebelumnya terjadi kepada anak-anak,
terutama pada kelompok rentan yang menghadapi resiko kehilangan pembelajaran (learning loss) yang lebih besar. Selama
pandemi, hampir seluruh negara di dunia menutup sekolah untuk melindungi warga
sekolah dari pandemi hingga diperkirakan sebanyak 1,6 miliar murid di seluruh
dunia terdampak kebijakan penutupan sekolah.
Direktur Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) selaku Ketua Kelompok Kerja Pendidikan G20
(Chair of the G20 Education Working Group),
Iwan Syahril menuturkan bahwa sejumlah negara di dunia memberlakukan kebijakan
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan kualitas yang bervariasi dari satu negara
ke negara lain. Ia mengatakan pemulihan pendidikan global sangat penting
dibahas untuk meraih tujuan pulih bersama. Apalagi, Indonesia memimpin
Presidensi G20 tahun 2022 dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemendikbudristek) mengemban amanat pemulihan bersama.
“Siswa di seluruh dunia
menghadapi masalah akses mendapatkan pembelajaran dan resiko kehilangan
pembelajaran atau learning loss. Ini yang harus kita sikapi bersama-sama,”
tutur Iwan dalam Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB) bertajuk “Pentingnya
Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Negara-negara G20” (The Importance of Face-to-Face Learning in G20 Countries), pada
Kamis (7/7/2022).
Menurut Iwan, lewat
pembelajaran tatap muka di sekolah, murid-murid mendapatkan lingkungan belajar
yang lebih baik. “Selain itu, berbagai studi menunjukkan bahwa pembelajaran
tatap muka masih merupakan metode paling baik bagi para siswa, baik anak-anak
dan anak-anak muda kita,” ucap Iwan.
Senada dengan itu, Chief of Education, United Nations Children’s Fund (UNICEF), Katheryn Bennett
mengungkapkan bahwa pertemuan tatap muka antara guru dan murid, serta murid
dengan teman-teman sekolahnya, tidak bisa tergantikan di negara manapun.
“Pembelajaran digital
memang telah menolong masyarakat global lebih mudah mengakses pembelajaran.
Tapi, kita tahu bahwa anak-anak belajar paling efektif kalau mereka duduk di
kelas, berinteraksi dengan guru, dan bergaul dengan teman sekelas. PTM tidak
ada gantinya. Ini pentingnya menjaga sekolah tetap buka. Mari kembalikan semua
siswa ke sekolah,” tegas Katheryn.
Katheryn mengapresiasi
upaya Indonesia yang telah memprioritaskan vaksinasi bagi guru dan tenaga
pendidik, sehingga tercipta ruang aman bagi siswa untuk kembali ke sekolah.
“Apalagi, Indonesia akan segera memasuki tahun ajaran baru. Ini pilar penting
untuk mengembalikan siswa ke sekolah,” ucap Katheryn yang mengamati bahwa
kebanyakan negara di masa pandemi memastikan agar setidaknya murid semua
jenjang belajar hal-hal fundamental seperti literasi dan numerasi.
Katheryn menilai, dampak
buruk pandemi tidak hanya pada pembelajaran, tapi juga kualitas hidup anak,
terutama karena isolasi dan pembatasan sosial. “Kita harus paham bahwa sekolah
bukan hanya tempat belajar, tapi tempat anak bersosialisasi dan mengembangkan
kedewasaan emosional anak. Kita tidak bisa mengabaikan itu. Dampak learning loss sangat besar, tapi dampak
psikososial juga sangat tinggi. Maka itu kita harus berusaha mendukung
anak-anak kembali ke sekolah,” tegas Katheryn.
Penelitian menunjukkan,
lanjut Katheryn, semakin lama anak-anak berada di luar sekolah, semakin kecil
juga kemungkinan mereka kembali ke sekolah. “Kita memang belum keluar dari
pandemi, tapi kita sudah punya tindakan-tindakan pengamanan (safeguards), pemahaman yang lebih baik
tentang virusnya, vaksin, dan lain sebagainya,” urainya.
Sementara itu, Counsellor of Education and Research,
Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Han Xiao Zhang, yang juga menjadi
narasumber pada SMB ini, menguraikan komitmen Pemerintah Australia memulihkan
pembelajaran yang sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia. “Kami sadar
pentingnya PTM. Pemerintah pusat dan negara bagian sudah sepakat bahwa sekolah
adalah yang pertama buka dan terakhir tutup, dari semua lembaga, ketika terkait
pembatasan karena Covid-19. Ini komitmen kami memastikan sekolah adalah hal
pertama yang kami prioritaskan,” ucap Han.
Han mengakui Pemerintah
Australia melihat banyak efek negatif bagi siswa dan guru saat pandemi,
terutama soal memburuknya kesehatan mental dan turunnya kualitas hidup guru dan
murid. “Maka itu pemerintah pusat membuat banyak kebijakan kesehatan untuk
meningkatkan dukungan pada kesehatan mental guru dan siswa, dan juga
menyediakan program tutor bagi siswa yang ketinggalan,” ucap Han.
“Kami fokus pada
bagaimana agar guru dapat mendukung siswa kembali ke PTM. Banyak siswa
menderita karena ada perasaan ketidakpastian dan putus asa. Kami mendorong para
guru mengembalikan struktur dan rutinitas lingkungan pembelajaran bagi siswa,”
terang Han.
Sama halnya dengan
Indonesia yang merelaksasi pemanfaatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
untuk berbagai kebutuhan di masa pandemi, Han juga menceritakan pemerintah
federal menyediakan dana tambahan untuk mengimplementasikan protokol kebersihan
dan kesehatan. Selain itu, ia juga menjelaskan “Australia juga melakukan
relaksasi beberapa larangan Covid-19 tentang pergerakan. Misalnya, Anda guru
atau murid, lalu mengalami kontak erat. Anda tetap dibolehkan kembali ke
sekolah kalau tidak bergejala dan hasil tesnya negatif,” tutup Han. (Kemendikbudristek/MDj/2022)
0 Comments