Oleh : Robby A. Ndun
CAKRAWALANTT.COM - Tokoh pejuang karismatik ini berasal
dari suku Helong. Suku
Helong menyebutnya “Aka Kudang Neno
Laiskodat” atau kesehariannya disebut “Koen Laiskodat”. Orang Belanda
menyapanya dengan “Kudang” atau
“Kuda” serupa dengan bentuk kakinya yang kuat dan kokoh seperti kaki kuda,
serta kekuatannya
sama seperti kekuatan seekor kuda. Ia
mempunyai kekuatan fisik yang kuat sehingga disegani dan dihormati oleh
masyarakat Helong.
Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat
Helong, “Aka” adalah seorang Pemuka
Adat dan Meo (Panglima Perang) yang memiliki tanah yang luas
atau Tuan Tanah (Dale Lama Tua).
Dalam sistem adat Helong, Kudang
diberikan tugas mulia, yakni sebagai pengawas tanah suku dan juga memiliki
kewenangan untuk membagi-bagikan tanah suku kepada masyarakat yang belum
mempunyai tanah garapan dan tempat tinggal.
Pembagian tanah kepada masyarakat dengan
syarat harus mengelola dengan baik dan bertanggung jawab kepada Yang Maha Tinggi, sesama
maupun lingkungan hidupnya. Jika tanah yang diberikan tidak dimanfaatkan, maka
diberi teguran keras dan bahkan tanah itu diambil kembali untuk selanjutnya
diberikan kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan.
Masyarakat Helong dan sekitarnya
memandang bahwa tanah adalah milik Raja. Hasil panen setiap tahun harus
diserahkan atau “susut” sebagian
kepada Raja atau Tuan Tanah. Penyerahan hasil panen oleh masyarakat petani
menunjukkan tanda kesetiaan dan rasa hormat berdasarkan hati nurani yang tulus
dan ikhlas kepada Raja atau Tuan Tanah serta dimaksudkan pula sebagai ucapan
syukur kepada Wali Yang Maha Tinggi. Masyarakat petani juga bergotong-royong
menyiapkan kebun raja atau “klap itu”
karena memandang Raja atau Tuan Tanah tidak boleh bekerja dan berdiri di tempat yang panas. Masyarakat petani
menyayangi dan menghormati Tuan Tanah atau Raja dan sebaliknya, Tuan Tanah atau
Raja selalu menyayangi dan melindungi masyarakatnya dari masa ke masa.
Ketenteraman dan kedamaian tersebut pun terusik manakala
kedatangan Bangsa
Portugis dan Belanda ke Kupang, Pulau Timor. Kehadiran mereka mula-mula
disambut dengan baik dan penuh kekeluargaan, bahkan diterima secara adat
menurut tata adat Helong, “basan”.
Melalui basan, maka adanya mata rantai persaudaraan
dan harmonisasi antara masyarakat Helong dan Bangsa Barat yang ditunjukkan dengan rasa
hormat, komunikasi dan dialog yang baik,
serta perilaku adaptif kepada pemimpin lokal.
Namun, sikap mesra Bangsa Barat tidak berlangsung lama. Mereka mempunyai
misi ingin menjajah sehingga lambat laun menjenuhkan dengan melakukan tindakan
sewenang-wenang dan melakukan tipu muslihat. Ulah mereka menimbulkan
penderitaan,
baik secara fisik maupun psikis,
sehingga membebani kehidupan masyarakat yang diigambarkan secara lengkap oleh Jecques Etienne Victor Arago (1790-1855), seorang
penjelajah dan seniman Perancis yang berkunjung ke Kupang tahun 1817.
Dengan melihat penindasan yang sangat
kejam dan tidak manusiawi yang dilakonkan oleh Bangsa Barat, maka muncullah seorang figur pejuang yang hendak
berjuang dan rela berkorban untuk membela masyarakatnya. Sosok pejuang itu
adalah Kudang Laiskodat.
Tokoh pejuang ini mengatakan, “Hidup
akan lebih bermakna apabila menunaikan tugas dan tanggung jawab kepada diri sendiri,
keluarga, masyarakat, negara
maupun kepada Yang Maha Esa”. Tanggung jawab merupakan kodrat nurani manusia dalam
pengabdian dan pengorbanan. Pengabdian
berupa perbuatan dan pikiran baik, kerahkan seluruh kekuatan sebagai wujud
kesetiaan, cinta, sayang, hormat dan tulus ikhlas. Pengorbanan meliputi segala yang
diberikan sebagai tanda bakti.
Dasar filosofi hidup tersebut terpatri dalam benak tokoh karismatik, Kudang Laiskodat. Sang pejuang terpanggil dengan niat yang luhur untuk membangkitkan orang Helong dari keterpurukan karena kerja paksa (rodi), penerapan pajak yang tinggi, dominasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam (tanah masyarakat dan raja diambil dan dikuasai seacara paksa), ketertinggalan, kemiskinan, dan kebodohan, gerak-gerik rakyat dipersempit, serta maraknya perlakuan diskriminatif oleh kaum kolonial Belanda. Prinsip luhurnya adalah membebaskan orang Helong dari belenggu dan perbudakan penjajahan. Berbagai taktik dan strategi perjuangannya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita guna menyejahterakan masyarakatnya.
Ada sikap pro dan kontra. Namun, semangat kegigihannya yang militan,
berjiwa heroik dan berwawasan luas yang akhirnya berhasil menggelorakan
semangat juang dalam menumpas penjajahan. Pekikan
semangat dalam bahasa Helong, “Deken
baen bel blai muti deken”
yang berarti
lebih baik memberikan sesuatu kepada suku bangsa sendiri, daripada memberikan
sesuatu kepada orang asing. Banyak pengikut dan simpatisan yang berpartisipasi untuk mendukung dan mengikuti jejak
langkah perjuangannya sehingga membuat kaum kolonial Belanda terancam.
Tokoh karismatik Kudang Laiskodat
melakukan pemberontakan dengan berteriak-teriak sepanjang jalan sambil mengutuk perilaku kompeni Belanda yang
hanya menyengsarakan rakyat pribumi. Ia
mengecam keras para mandor pribumi sebagai pegawai kompeni Belanda yang turut
menarik keuntungan dan ikut menyusahkan rakyat. Beliau terus berjuang dengan
membangun aliansi-aliansi dengan saudaranya dengan berlandaskan pada adagium
kuno leluhurnya “Sawu
mau, Belu mau, Tie mau”.
Ungkapan tersebut bertujuan untuk membangkitkan
kembali tali persaudaraan antara orang Timor, orang Sabu, orang Rote, dan orang Semau. Buktinya, mereka semua
terlibat dalam menyumbangkan tenaganya melalui para meo dalam menghadapi kekuatan dan
kekuasaan kompeni Belanda di Kupang. Namun, seiring dengan berjalannya waktu,
Belanda melakukan strategi politik divide
et impera atau memecah belah untuk menjaga
pertahanan dan keamanan benteng,
sehingga ditempatkanlah orang Timor, Sabu, Rote, dan orang
Solor bila terjadi konflik dan perang dengan kaum colonial. Orang pribumi pun akan berkonflik dengan sesama sendiri
di sekitar benteng.
Perjuangan Kudang Laiskodat bersama para
meo yang tidak terbendung membuat Belanda berupaya untuk menangkap
dan mengasingkannya ke Batavia. Berbagai strategi dan taktik licik Belanda
akhirnya mampu membuat Kudang
ditangkap bersama para meo saat melakukan upacara adat di tepi pantai
utara Pulau Semau dekat Pelabuhan. Setelah selesai melakukan upacara adat, Kudang
dan pengikutnya digiring masuk ke dalam
kapal Belanda menuju Batavia pada tanggal 12 November 1689. Kudang bersama 23
orang pengikutnya atau meo pun
tidak kunjung melewati wilayah perairan Pulau Semau, Pulau kera, dan Pulau
Timor.
Peristiwa pelayaran tersebut berlangsung selama 6 bulan, tetapi belum berhasil keluar dari wilayah
perairan tersebut. Akhirnya, kapal Belanda kandas di depan tanjung Toda, di
pantai Bun Namo atau pantai Bun pada bulan April 1690. Di tanjung Toda inilah tokoh karismatik
Kudang Laiskodat menyampaikan kepada kapten
kapal agar menurunkan mereka di pantai Bun guna melanjutkan pelayarannya. Jika tidak, kapal tetap karam. Kapten kapal pun menuruti perkataan Kudang dan akhirnya
kapal itu dapat menarik salah
satu jangkar
nya, sedangkan
jangkar yang lain tidak bisa terangkat sehingga harus dipotong. Jangkar kapal
yang tertinggal tersebut saat ini disimpan sebagai bukti sejarah di Museum
Provinsi NTT.
Kudang Laiskodat bersama 23 meo
bermukim di sekitar pantai Bun Namo yang pada waktu itu sunyi dengan bentangan
padang belantara yang luas dan tak berpenghuni. Namun, di padang itu, ditemukan
sumber mata air yang diberi nama oleh Kudang Laiskodat sebagai “Uihelo”
yang berarti air Helong dan mata airnya masih ada hingga saat ini.
Dalam keseharian,
mereka memenuhi kebutuhan hidup dengan
mengandalkan ketersediaan alam dan adanya mata air yang tidak kering sekalipun
pada musim panas.
Namun demikian, eksistensi mereka
kembali diusik oleh kedatangan serdadu Belanda yang membujuk mereka untuk loyal
kepada Belanda, tetapi
tidak
digubris oleh Kudang Laiskodat dan para meo-nya.
Serdadu Belanda mengumpulkan, memborgol kaki dan tangan, serta membantai mereka
secara kejam dan sadis di tepi pantai Bun Namo-Sulamu. Kuburan Kudang Laiskodat
bersama para meo saat ini dipugar
untuk dijadikan situs sejarah.
Mata air yang ditemukan oleh Kudang Laiskodat tidak pernah kering walaupun di musim kemarau. Mata air tersebut berada dekat di pinggir pantai tetapi tidak pernah asin. Ada gua yang luasnya ratusan meter persegi yang menjadi tempat persembunyian atau tempat tinggal Kudang Laiskodat dan para pengikutnya. Lahan kurang lebih 3 Km tersebut membentang dari Timur ke Barat sepanjang pantai dan di sekitarnya sejak turun-temurun diakui sebagai milik Kudang Laiskodat atau Keluarga Laiskodat dan atau milik Orang Helong yang tidak boleh diganggu maupun diambil alih dan dibiarkan kosong hingga saat ini. Kawasan pantai itu sangat cocok dan memiliki potensi untuk pengembangan obyek wisata pantai yang sangat fantastik dan eksotik serta bernilai sejarah tinggi.
Penulis berharap agar program kolaborasi
Pemerintah Provinsi NTT
yang menjadikan sektor pariwisata sebagai prime
mover melalui Dinas Pekerjaan Umum membuka akses jalan
secara permanen untuk menunjang kawasan wisata pantai, serta PLN dalam membangun jaringan listrik agar
menjadikannya sebagai
kawasan wisata yang terang benderang.
Sedangkan, Dinas Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif perlu melakukan penataan pantai Bun Namo- Sulamu sebagai destinasi
wisata unggulan baru di Kabupaten Kupang, Provinsi NTT dan membina kelompok
Sadar Wisata. Selain itu, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan
(Perindag) harus dapat melatih dan menumbuhkan usaha masyarakat, khususnya di sektor rumput laut di kawasan
itu.
Saat ini juga, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi NTT menjadikan kawasan itu sebagai wisata budaya dengan menempatkan
salah seorang Juru Pelihara untuk menjaga dan memelihara situs tersebut sebagai
upaya pemeliharaan dan pelestarian kekayaan budaya dan sejarah lokal daerah
guna menunjang promosi pariwisata NTT.
Akhirnya, tulisan ini dibuat dalam
rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2022 dengan tema “Pimpin
Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar” yang selaras dengan episode ke-18
tentang Merdeka Berbudaya serta untuk mewujudkan NTT bangkit dan sejahtera
melalui penguatan literasi, promosi
wisata,
kekayaan
budaya,
alam, serta nilai-nilai sejarah di dalamnya.
Penulis
tertarik untuk menguraikan
tentang sejarah perjuangan seorang tokoh karismatik Kudang Laiskodat. Tokoh
lokal ini menggugah kita sebagai
generasi
masa kini untuk mengenang semangat juangnya yang rela
berkorban dan tidak mengenal pamrih untuk membela kebenaran dan keadilan, cinta
budaya leluhur dan masyarakatnya, cinta tanah air dan bangsanya, serta terus memperjuangkan kemerdekaan
kaumnya.
Semangat perjuangannya sejalan dengan
profil pelajar Pancasila
karena memuat nilai-nilai hidup, seperti
menjadi suri tauladan bagi generasi muda, berjuang bukan untuk memperoleh
imbalan dan jabatan, pantang menyerah dan tidak putus asa, selalu mempertahankan persatuan dan
kesatuan. Demikian tulisan
ini dibuat.
Semoga
bermanfaat bagi pembaca. Tuhan
Yesus berkati. (red)
0 Comments