Oleh : Apolinarius Dari Saka,
S.Pd.
(Guru Bimbingan dan Konseling di SMA Negeri Kangae)
CAKRAWALANTT.COM - Berbicara
adalah hal yang lumrah dilakukan oleh setiap manusia di seluruh penjuru dunia
sebagai alat komunikasi. Proses komunikasi yang terjadi di sekolah sering
dilakukan hanya secara satu arah dan berpusat pada guru (teacher centered). Proses komunikasi satu arah tersebut terjadi
secara berulang di sekolah-sekolah yang belum meng-update sistem pendidikan yang terbarukan. Akibatnya, peserta didik
kerap mengalami kesulitan atau tidak berani untuk berbicara di depan publik. Hal
itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tekanan audiens, tidak percaya
diri, malu, gugup dan tentu saja materi yang dirasa berat untuk
dipresentasikan.
Tekanan
dalam lingkungan sekitar menjadi salah satu faktor yang menghambat proses
komunikasi antar pribadi yang baik dari peserta didik. William Schuts (1958)
menyatakan bahwa peserta didik memiliki beberapa kebutuhan antar pribadi, yakni
inklusif, kontrol, dan afeksi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat diterjemahkan
secara sederhana sebagai pijakan untuk membuat suatu komunikasi yang
menyenangkan serta memenuhi kebutuhan penguasaan dan pemuasan emosi dalam komunikasi.
Dalam rutinitas
keseharian, peserta didik di SMA Negeri Kangae mengalami berbagai macam kendala
dalam berkomunikasi ketika dihadapkan pada tugas-tugas presentasi ataupun
pidato di depan kelas. Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan mendasar
terkait faktor penyebab kendala pada peserta didik tersebut. Setelah
ditelusuri, penulis menemukan bahwa peserta didik sering mengalami kesulitan
berbicara di depan publik karena rendahnya kepercayaan diri, kesulitan dalam
memahami materi, ketidakmampuan dalam menghadapi tekanan audiens, hingga
lingkungan dan fasilitas yang kurang mendukung.
Berangkat dari
kenyataan tersebut, maka wadah Bimbingan dan Konseling (BK) di lingkungan
sekolah memiliki peran penting dalam menunjang proses dan pola komunikasi
peserta didik, terutama terkait upaya peningkatan keterampilan berbicara dan
pengaturan emosi di depan publik. Meskipun eksistensi BK pada umumnya sering
dipandang sebagai “Polisi Sekolah” dan dikorelasikan dengan hukuman atau aturan, penulis tetap mencoba untuk mengubah pandangan tersebut menjadi lebih positif, yakni sebagai wadah
peningkatan karakter dan kepribadian peserta didik. BK harus mampu meningkatkan
intensitas komunikasi antar pribadi peserta didik, terkhususnya pada aspek
kepercayaan diri dan kemampuan bersosialisasi.
Peranan guru
BK tentunya menjadi penting dalam konteks ini. Berbagai upaya yang dikerahkan
untuk menunjang tujuan di atas harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Setiap
generasi dalam pendidikan perlu meregenerasi ilmu agar bisa menyelesaikan
setiap persoalan pendidikan dengan menggunakan metode yang tepat, terutama
dalam proses pembelajaran. Tidak jarang, kesulitan peserta didik dalam
mengembangkan potensi diri bisa (juga) disebabkan oleh metode mengajar guru
selaku tenaga pendidik yang konvensional, kaku, dan terkesan monoton. Akibatnya,
peserta didik cenderung bosan dan malas di setiap Kegiatan Belajar dan Mengajar
(KBM) atau aktivitas pendidikan lainnya.
Di SMA Negeri Kangae, penulis melihat bahwa
para peserta didik memiliki tipikal yang aktif di setiap kegiatan
ekstrakurikuler. Namun, di sisi lain, maraknya penggunaan gadget di kalangan
peserta didik juga sering menghambat perkembangan potensi diri akibat tingginya
penggunaan media sosial dan fitur-fitur android lainnya. Hal itu menjadi dampak
langsung dari perkembangan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 yang mengutamakan peran teknologi di setiap lini
kehidupan. Untuk itu, penulis berusaha mengembangkan inovasi yang mampu
mengolaborasikan keaktifan peserta didik dan penggunaan gadget untuk
mengembangkan potensi diri, terutama teknik komunikasi di depan publik.
Dewasa ini,
kaum milenial, termasuk para peserta didik lebih menyukai tren aplikasi media
sosial yang sedang berkembang, seperti Youtube,
Tik-Tok, Instagram, dan Spotify. Melalui
aplikasi media sosial tersebut, peserta didik bisa mengekspresikan dirinya,
baik dalam hal bakat, minat, atau sekadar hiburan semata. Salah satu media
konten hiburan yang juga sering digunakan dalam aplikasi media sosial tersebut
adalah Podcast. Podcast merupakan salah satu bentuk komunikasi yang kerap
mengangkat topik pembicaraan yang menarik antara dua individu atau lebih dan
kemudian direkam dalam bentuk audio maupun audio-visual melalui media internet.
Proses pembuatan
podcast yang menarik tentunya
membutuhkan berbagai persiapan, seperti ketersediaan kamera, microphone, jaringan internet,
narasumber dan pewawancara, editor, ruangan yang memadai, hingga topik atau
bahan pembicaraan yang menarik pula. Namun, bila dikaitkan dengan kondisi SMA
Negeri Kangae, semua persiapan tersebut tentunya masih jauh dari kata sempurna,
terutama fasilitas ruangan yang belum memadai. Maka dari itu, penulis berusaha
merancang podcast yang mampu mengasah
kreativitas dan inovasi, seperti memanfaatkan alam sebagai latar tempat, menggunakan
kamera dan audio Smartphone, serta bekerja
sama dengan para guru dan peserta didik dalam mengedit dan menyusun topik atau naskah
wawancara.
Secara umum,
langkah-langkah dalam melakukan podcast terdiri
atas tiga tahap, yakni tahap persiapan, inti, dan akhir. Pada tahap persiapan,
guru BK akan menyiapkan perangkat untuk podcast
berupa lokasi podcast, yakni di bawah
pohon yang sudah didekorasi secara menarik, 4 perangkat Smartphone dari guru sebagai kamera dan audio, 2 perangkat headset, 1 perangkat laptop, dan bangku. Selanjutnya, disiapkan
tema podcast yang menarik perhatian peserta
didik, yakni “Jatuh cinta” sekaligus pertanyaannya.
Tahap
berikutnya adalah tahapan inti. Pada tahap ini, guru BK berperan sebagai pembawa
acara (host) dan peserta didik
sebagai narasumber. Lalu, beberapa pertanyaan akan mulai didiskusikan, seperti pernakah kamu jatuh cinta? Apa bentuk
perasaan yang timbul? Bagaimana kamu mendefenisikan jatuh cinta? Apakah jatuh
cinta hanya sebatas dengan lawan jenis? Pernahkah kamu jatuh cinta pada ilmu?
Tahap
terakhir adalah tahap penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan di tahap
inti. Pada tahap ini, pembawa acara akan memberikan kesimpulan berupa motivasi
dan harpan-harapan untuk peserta didik melalui tema “Jatuh Cinta”. Guru kemudian
mengevaluasi pembahasan sesuai tema, sehingga peserta didik juga dapat jatuh
cinta pada ilmu.
Dari populasi
16 orang peserta didik kelas XI SMA Negeri Kangae, penulis mengambil sampel
sebanyak 4 orang yang mengalami kesulitan berbicara paling tinggi. Mereka kemudian
diberikan perlakuan sebanyak 8 kali melalui pertemuan-pertemuan podcast dengan tema remaja. Setelah dilaksanakan
program podcast secara rutin, para
peserta didik tersebut mengalami peningkatan kemampuan berbicara.
Untuk itu,
penulis memberikan kesimpulan bahwa podcast
merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kemampuan berbicara peserta
didik. Podcast menjadi metode yang
menarik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Pencapain yang maksimal dapat
berjalan dengan baik ketika semua komponen sekolah mampu untuk saling
mendukung. Semua warga sekolah, mulai dari Kepala sekolah, Guru Mata Pelajaran, Guru BK, dan tentu saja peserta didik harus berupaya mengembangkan diri
secara maksimal dengan saling mendukung agar mampu memajukan sekolah. Pokok
utama dari semua ini hanyalah niat dan aksi. Adanya kemauan, maka ada jalan
yang mendukung. (red)
0 Comments