(Ber-literasi A’la Penghuni Bukit Sandar Matahari Ledalero)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
(Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT)
Prolog
Pagi yang sunyi. Damai dan abadi. Lonceng gereja itu
“meraung” bersahutan. Ada nama, kenangan dan mimpi setengah sadar yang pernah
terpahat. Ledalero, bukit sandar matahari. Di sini dan di tempat ini, saya pernah
ada. Mengecap sebagian besar rahasia Ilahi dalam nama yang juga tidak biasa.
Biarawan misionaris Serikat Sabda Allah. Benar, kami
disebut sebagai calon imam misionaris SVD. Dari ratusan yang ada, saya adalah
salah satunya. Suka dan duka dijalankan begitu saja. Ada di satu puncak, saya
merasa berada hampir dekat dengan tangga terakhir Surga abadi tetapi akan tiba
saatnya saya tertunduk hingga merasa berada di tangga pertama menuju neraka.
Yah, merasa sangat tidak berdaya dan rapuh di
hadapan cahaya matahari. Begitulah seterusnya hingga keajaiban itu terjadi.
Tuhan menuntunku kembali pada tempat dan situasi berbeda. Anggota serikat awam
SVD. Walau demikian, saya masih seperti dulu. Merindu untuk selalu mengecap
rahasia Ilahi dalam keadaan tidak berjubah. Saya ingin tetap berada sebagai
bagian dari tim misionaris SVD. Hingga keajaiban itu terjadi. Di saat ini, saya
dan sebagian sahabat lainnya lainnya disebut (disapa) sebagai misionaris awam
SVD.
Saya seorang
SVD? Benar. Saya seorang misionaris yang terus mengembara. Bukit sandar
matahari ini adalah saksi bisu yang bakal menegaskan itu. Di awal bulan kedua
tahun 2020 ini, saya kembali hadir. Mereguk suasana yang pernah ada. Sunyi,
damai dan abadi. Ada lonceng geraja yang “meraung” gembira, menyambutku sebagai
saudara dalam senyum. Ada sapaan manja dan tawa ria sama saudaraku.
Mereka masih setia di meja makan dan kapela yang
sama. Beraktifitas dengan rutinitas yang sama. Membaca, berdoa dan menulis.
Nyawa dari seluruh gerakan literasiku saat ini sebenarnya ada di sini. Tidak percaya,
perhatikan saja. Ada ratusan bahkan ribuan judul buku yang dimiliki para
misionaris ini di kamarnya. Mengagumkan.
Kamar mereka dipeduhi buku. Bukan baju atau sepatu
dalam segala merek. Bukan pula disesaki oleh barang mewah seperti televise,
kulkas atau AC. Mereka tetap seperti itu. Sederhana, rendah hati dan bertekun
dalam doa. Tetap setiap membaca, membaca dan menulis.
Hari hampir malam. Kami diundang datang dan
menikmati makan malam sebagai bagian dari ritus kehidupan di bukit ini. Bagi
mereka (kami), makan bersama adalah cara untuk merayakan kehidupan, persaudaran
dan juga bagian dari doa. Di meja makan yang sama, tidak ada dikotomi atau
semacam sebuatan senior-junior. Tidak ada. Silahkan mengambil makanan yang ada
tanpa merasa mendahui atau di-kemudian-kan.
Meja makan adalah bagian dari altar kehidupan yang
mendapat bagian yang sama. Baru hadir kembali di sini, banyak pastor senior
mengira bila saya adalah bagian dari para imam misonaris luar negeri yang
datang berlibur. Saya tersenyum dan mengangguk setuju tanpa harus membantah
bila ada yang “memaksa” demikian. Toh, saya memang seorang misonaris.
He….e…..e…. Kami terkekeh bersama setelah beberapa yang lain memperkenalkanku.
Mantan frater dan mahasiswa yang sudah memilih dan berada di jalan lain menuju
Roma.
Mutiara Literasi
dari Ledalero
Mari kita melangkah lebih jauh, bagaimana cara
mereka (kami) ada dan menikmati hidup di puncak bukit sandar matahari ini. Jika
tidak biasa, maka dugaan awal bakal muncul. Ada segerombol orang yang sudah
berpikir gila walau tetap konsisten bertindak waras. Sejumlah lelaki perkasa
yang datang dari berbagai belahan wilayah dan bersepakat (bersumpah) untuk
hidup bersama sebagai sebuah komunitas persaudaraan.
Mereka meninggalkan sekian banyak warisan kekayaan
keluarga dan hasrat untuk menikahi seorang perempuan untuk membangun kehidupan
berkeluarga. Mereka sedang merayakan “kegilaan” akut yang bakal tidak bisa
dimaafkan oleh cara berpikir masyarakat awam. Memberi diri secara total hingga
tuntas pada Dia yang disebutnya Sahabat, Guru dan Tuhan. Tiga kaul dihidupi
hingga hembusan nafas terakhir.
Kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan pada kaki
Tuhan yang mengorbankan dirinya di kayu salib. Yesus Kristus, namanya. Anak
tukang kayu yang pernah ada dan hidup di Nasaret, sebuah desa kecil di wilayah
Timur Tengah. Mereka mengangumi kehidupan Yesus dan merasa bagian dari jalan
atau visi hidupnya. Allah Tritunggal yang diimaninya datang dan memanggilnya
secara ajaib. “Ketahuilah, barangsiapa yang mau mengikuti Aku, ia harus
menyangkal dirinya, memanggul salib dan mengikuti aku”. Begitulah cara mereka
mengimani dan merayakan “ke-gila-an”.
Mereka sudah “gila” kawan. Sudah begitu, mereka
merayakannya lagi. Bagi mereka (kami), merayakan “ke-gila-an” adalah jalan
menuju kekudusaan. Sang pendiri SVD, St. Arnoldus Jansen juga pernah dituduh
oleh para sahabat dan orang dekatnya sebagai orang gila. “Dia ini orang gila
atau orang kudus”. Benar, mereka gila dalam hal berpikir tetapi tetap konsisten
untuk bertindak waras bahkan melampaui definisi kewarasan itu sendiri.
Mereka bekerja dan berdoa untuk kemuliaan Tuhan dan
kebahagiaan sesama. Kini, “ke-gila-an” mereka bagai virus corona yang mampu
menyerang siapa saja. Saya adalah salah satu korbannya. Walau tidak berjubah
dan berbaju awam, kegilaan itu tetap ada dan membekas hingga raga ini tak bernyawa.
Ledalero itu adalah tentang berpikir. Begitulah
filsafat itu. Bepikir tentang bagaimana seharusnya berpikir. Kita tiba di titik
itu. Ada yang salah dalam cara kita berpikir, bila menyamakan filsafat itu
dengan berbagai bidang ilmu lain yang sifatnya lebih spesifik. Benar bahwa
filsafat itu adalah ibu segala ilmu. Membahas tentang politik, sosiologi,
budaya dan sebagainya bermula (berdasar) pada ilmu filsafat manusia.
Atau dengan kata lain, filsafat memampukan kita
mengetahui banyak hal tentang mamnusia dengan seluruh dinamika dan kemampuannya
berpikir. Bukit sandar matahari telah menghadirkan sekian banyak pemikir yang
berpikir tentang bagaimana seharusnya berpikir. Ada semacam telaga ilmu yang
bakal ditimba saat kita memberi diri dan mencintai kebenaran apa adanya.
Pernahkah kita mengerti tentang seorang Pilatus yang
bertanya, apa itu kebenaraan? Mengapa ia bertanya demikian? Jawabannya
sederhana, karena Pilatus belum mampu berpikir malampui dirinya sendiri.
Kebenaran itu adalah tentang bagaimana kita mencintai kebijaksaan yang
diperoleh dari narasi yang dihidupkan dalam aksi. Narasi itu adalah kata. Kata
(sabda) yang bakal mendaging bila diimplementasikan dalam satu bentuk.
Rasul Paulus berujar, iman tanpa perbuatan adalah
mati. Demikian teks (kata) yang tidak mampu diimplementasikan dalam konteks
hidup harian bakal mati. Artinya, kata (narasi) harus berbentuk dalam satu aksi
yang jelas dan terarah pada kebahagiaan sesama dan kemuliaan Allah. Pilatus
tidak mengerti tentang kebenaran karena narasi yang dibicarakannya tentang
keadilan tidak diwujudkan. Ia akhirnya mencuci tangan dan membiarkan Yesus
disalibkan karena ketidakmampuan mengkonkritkan kata (narasi) keadilan itu
sendiri.
Penghuni Ledalero diarahkan, dididik, ditempa bahkan
dibakar bagai logam untuk dimurnikan. Hal pertama yang harus dimurnikan adalah
tentang motivasi. Mengapa ia ingin belajar tentang dan untuk kebijaksanaan itu.
Apa itu kebijaksanaan? Motivasi yang sudah dimurnikan bakal menjadi titik api yang
menggerakan (membangkitkan) seluruh imajinasi dan aksi seorang untuk memberi
diri pada kebenaran itu. “Diligite lumen sapientiae” (Cintailah terang
kebijaksanaan).
Pertanyaan tersisa, dimanakah jalan menuju
kebijaksaan dan kebenaran itu? Jawabannya ada pada aktifitas membaca. Membaca
buku dan membaca tanda-tanda zaman. Aktifitas membaca bakal membuka seluruh
pikiran, perasaan dan imajinasi untuk tetap merasa tidak mengetahu apa-apa.
Sokrates, pernah berujar, “saya tidak tahu. Satu hal yang saya tahu bahwa saya
tidak tahu”. Hanya dengan merasa tidak tahu, kita mau untuk terus membaca,
belajar dan menimba kebijaksaan Ilahi dan semesta.
Pernahkah mendengar kisah pertobatan St. Agustinus?
Seorang asing yang pernah disebutkan bahwa malaikat menyuruhnya dengan satu
kalimat biasa tetapi penuh magis. “Ambil dan bacalah”. Salah satu literasi
dasar adalah aktifitas membaca. Menuliskan judul “Merayakan Ke-gila-an” ini berawal
dari caraku membaca pengalaman hidup dan situasi di bukit sandar matahari
ini.
Epilog
Ledalero masih seperti dulu dan akan tetap begini
hingga nanti. Perubahan zaman boleh berganti tetapi kerinduan untuk mencintai
kebijaksanaan dan kebenaran tetap sama. Pada pelipit bukit ini, matahari itu
tetap setia bersinar. Menyingkap tabir kebenaran dalam satu cara merasa dan berpikir.
“Saya tidak tahu. Satu hal yang diketahui bahwa saya (kita) tidak tahu”.
Mencari tahu adalah aktifitas manusia hingga keabadian. Manusia adalah
pengembara yang melintasi aneka situasi serba tidak pasti.
Hanya ada satu yang pasti bahwa kita ada dan
berpikir. Rene Descartes berujar, “Saya berpikir maka saya ada”. Dengan
demikian, hanya pikiran yang tidak pernah mati. Satu cara untuk menyelamatkan wajah hanyalah dengan berpikir. Literasi dan Ledalero adalah bagian dari cara
berpikir itu sendiri.
Yah, berpikir tentang bagaimana berpikir. Aktifitas
membaca adalah keniscayaan. Membaca adalah jalan pulang atau menuju
kebijaksanaan dan kebenaran itu sendiri. Jika semuanya terasa cukup, ikutilah
ajakan Sang Guru Ilahi, “Mari kita pergi ke lembah”. Lembah adalah arena karya.
Waktu dan tempat yang tepat untuk mengkonkritkan seluruh aktifitas membaca di
bukit sandar matahari ini. Salam hangat dari bukit sandar matahari Ledalero. Salam
Cakrawala, Salam Literasi. (MDj/red)
0 Comments