Cerpen Yosef Frans Lopes
Ilustrasi : Panorama senja di ujung batas. |
Hujan yang gemercik turun membasahi tanah Timor
Lorosae. Terlihat pelangi menghiasi langit dan sekawanan burung terbang di
udara membawa sejuta rindu yang mungkin dititipkan oleh orang-orang di negeri
seberang. Hujan menjadi teman bermain anak-anak di pinggiran kota yang
bertelanjang dada dengan kebahagiaan yang tak terhitungkan.
Lumpur hasil campuran tanah dan air menjadi sarana
bermain khas anak-anak kampung. Aku yang duduk termenung di teras rumahku,
melihat anak-anak itu sangat bahagia dengan permainan mereka.Tawa mereka seakan
melepaskan segala beban mereka di sekolah. Kursi goyang menjadi sandaranku di
teras rumah ditemani secangkir Cappuccino panas sambil menonton drama yang
dilakoni oleh anak-anak penerus bangsa.
Beberapa jam kemudian satu persatu pelakon itu mulai
memisahkan diri dengan kelompok bermain dan mulai melepaskan lumpur yang
tertinggal dengan menyimpan banyak kenangan. Anak-anak itu pulang dengan hiasan
lumpur yang masih tertempel di wajah sehingga menjadi bukti perjuangan mereka
seharian di medan perang. Cappuccino yang panas mulai perlahan menjadi hangat
dan hujan mulai mereda dengan meninggalkan dingin di ujung senja.
Ada seorang wanita di negeri seberang yang
meninggalkan Tanah Lorosae untuk mengais rupiah di negeri orang. Anita namanya.
Wanita Portugal itu menjadi rinduku setiap saat. Kecantikannya mungkin dianggap
biasa di mata orang, namun tampak luar biasa di mataku. Rupanya menjadi rinduku
di kala aku sendiri dengan kursi sandarku dan secangkir Cappuccino menatap
senja yang terbenam indah membawa harapan yang menjadi luka dan pilu.
Sudah lama ia pergi meninggalkanku seorang diri di
gubuk kecil yang menjadi hartaku yang berharga satu-satunya. Setiap hari
kuhabiskan hariku dengan menulis surat rindu pada Anita, dan menikmati senja di
penghujung hari dan tanpa disadari menonton sekelompok anak kecil yang
memainkan permainan desa.
Foto-foto Anita di kala ia masih hadir bersamaku
menjadi pajangan indah di dinding gubuk. Saat malam aku mulai menikmati minuman
keras untuk menenangkan pikiranku agar tidur dengan pulas dan tanpa memikirkan
beban. Andaikan waktu itu, aku tak melampiaskan amarahku pada Anita, mungkin
aku dan dia hidup dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Kabar pun tak diketahui
satu sama lain. Selama lima tahun kami berpisah tak ada kabar tentangnya.
Mungkinkah, ia sudah dipinang oleh lelaki lain di
seberang sana, ataukah ia menjadi terlantar dalam susah dan luka. ”Aku benci
diriku!” teriakku di kepekatan malam dan menyalahkan diriku sebagai biang
keroknya. “Bagaimana kabarmu di sana Anita? Maafkan aku…. Aku salah!“ kataku
dengan penuh kesal dan air mata membasahi pipiku. Derai air mata telah
kutumpahkan dan meneyesal dengan sungguh tindakanku padanya saat itu.
Aku bangun dari tidurku, saat sang mentari mulai
melakukan tugasnya di bumi. Aku mulai membuka mata dan tetap membaringkan diri di atas ranjang
sambil menatap langit-langit rumah yang sudah diselimuti laba-laba. Aku kaget
dengan suara handphone-ku yang bergetar di atas meja, seakan mencari perhatian
padaku untukku manjakan dia dengan mengambilnya. Kepala yang masih merasakan
pusing karena depresiku malam tadi dan mataku memandang handphone-ku yang
bergetar dengan menunjukkan panggilan masuk dari nomor baru. Akhirnya aku
menggapai handphone itu dan menjawabnya dengan santai dan biasa.
“Hallo….” sapaku pada orang itu.
“Hallo… selamat pagi,” jawabnya dengan suara feminim
yang lembut dan terdengar familiar di telingaku.
“Apakah betul, ini dengan Ameta?” tanya wanita itu
dibalik handphone.
“Ia betul, ini dengan Ameta… dengan siapakah ini?”
tanyaku padanya dengan sedikit bingung dan heran.
“Ini dengan….” layar handphone ku menjadi gelap
alias baterinya mati karena semalaman tak kuberi asupan yang cukup.
”Siapa wanita itu. Pagi-pagi sudah menelpon” ucapku
kesal. Akhirnya aku bangkit dari ranjangku dan mengabaikan handphone-ku dengan
energi yang suram.
Aku langsung membersihkan diriku dan menyiapkan
sarapan pagi untuk seorang diri saja. Selesaiku melahap habis semua jeri
payahku, aku merasa kasihan pada handphone-ku yang belum sarapan aliran listrik
dan mencolok alat cas untuk mengisi daya. Sambil bateri terisi penuh aku
membersihkan kotoran hasil depresiku di ruang tengah.
Awan mulai gelap diiringi suara petir seperti bunyi
sangkakala yang ditiup pegawai-pegawai istana dalam menyambut kedatangan sang
raja. Perlahan rintik hujan mulai jatuh membasahi Bumi Lorosae. Terlihat
kelompok anak kecil mulai berdatangan. Mereka berkejaran dan menyambut turunnya
hujan dengan senangnya.
Aku masih seperti biasa. Kursi goyang dan secangkir
cappuccino ala portu menjadi sahabat terbaik. Selalu menemani kesendirianku di
tengah guyuran hujan deras ini. Drama klasikal dengan tokoh-tokoh hebat menjadi
tontonan bahagiaku sore ini. Panggung yang alamiah yaitu tanah yang berlumpur
menjadi tempat pementasan drama para cendikiawan cilik.
Walaupun banyak anak yang jatuh terpeleset, namun
wajah mereka tetap memancarkan tawa dan bahagia mereka. Mereka luar biasa,
meskipun jatuh berulang kali tapi jiwa untuk bangkit kembali terus membara.
Arena permainan mereka telah menyimpan sejuta kenangan kecil mereka. Aku hanya
tertawa saat melihat ada anak lucu terjatuhan karena tanah yang licin dengan
ekspresi wajah yang aneh dan mengemaskan.
Perihal tentang rindu akan wanita yang kucintai dari
jarak 1001 kilo meter, menjadikanku untuk belajar bagaimana merasakan hidup
tanpa orang yang sangat dicintai dengan waktu yang lama. Kepergiannya membawa
luka yang mendalam. Kekalahan telak telah kuakui pada saat itu. Aku menjadi
serakah saat aku menghantam wajah manisnya yang setia memancarkan senyum
sebagai kekuatan di kala aku sedih dan sakit. Air matanya yang sebening kristal
menjadi tumpah tak henti di pipinya. Secarik kertas, menjadi perantara untuk
menyampaikan kepergiannya tanpa menunjukkan arah yang jelas.
Saat malam tiba dengan hujan yang masih mengguyurku
tenangkan batin dan mencoba untuk menghubungi nomor misterius, yang belum
tuntas untuk berbincang pagi tadi. Akupun mencoba meneleponnya namun hasilnya
nihil. Ia tak menjawab panggilanku. Selang beberapa menit, saat aku berada
dalam ketidakpastian ini, nomor baru itu menelepon balik padaku.
“Hallo, selamat malam!” sapaku padanya
“Iya… selamat malam,“ sahutnya dengan suara yang
lebih menyakinkan saya bahwa mungkin ini adalah Anita.
“Aku adalah orang yang tadi pagi ditelepon” jelasku
singkat.
”Betul… tapi apakah ini dengan Ameta Junior
Monteiro?” tanyanya dengan penuh yakin.
“Iya… ini saya sendiri dengan nama Ameta Junior
Monteiro” jawabku dengan penuh heran.
“Aku adalah Anita Dosantos Ximenes” terangnya.
“Anita?” dengan suara kaget dan terkejut aku belum
yakin dengan ungkapannya dan aku tanyakan lagi untuk suatu kepastian. ”Siapa?”
tanyaku dengan jantung yang berdetak tak karuan.
“Saya adalah Anita. Wanita yang pernah menaruh hati
padamu Ameta dan engkau adalah suamiku.” pungkasnya dengan suara yang terdengar
sedih.
Aku sangat kaget di malam itu. Sontak merasakan
kekecewaan besar. Bahagia, sedih, dan merasakan sepotong hati yang hilang telah
didapat kembali. Air mataku tak henti-hentinya mengalir dan mulutku tak
berhenti mengucapkan seribu maaf. Wanita yang sudah hilang selama lima tahun,
akhirnya terdengar lagi suaranya yang masih sama seperti dulu.
“Maafkan aku Anita.” ucapku dengan kesal ditemani
deraian air mata yang membasahi pipiku.
“Ameta, dari lubuk hati yang paling dalam aku telah
memaafkanmu. Aku sungguh masih mencintaimu walaupun sudah lama aku pergi jauh.
Ameta, aku salah telah meninggalkanmu sendirian tanpa memberikan kabar dari
jarak yang jauh ini. Maafkan aku” ungkapnya dengan menumpahkan air mata.
“Di mana kamu sekarang Anita?” tanyaku dengan penuh
bahagia di malam ini dengan guyuran hujan yang tak kunjung henti.
“Indonesia…. Aku berada di Kupang. Aku telah
mendapatkan pekerjaan yang sangat layak dan aku masih menunggumu, Ameta”
jelasnya.
Perbincangan kami menjadi upacara menyambut kembali
hari-hari indah yang telah berlalu. Sungguh aku sangat mencintaimu, Anita. Saat
aku terbangun dari tidurku, notifikasi handphone-ku berbunyi menunjukkan tanda
bahwa ada pesan masuk, yang berasal dari Anita bertuliskan: “Selamat pagi
Ameta….
Aku tak bisa tidur semalaman karena mengingatmu.
Sungguh aku merindukanmu, Ameta…. Maukah kamu menjemputku besok di batas
Mota’ain? Pesannya di layar handphone-ku. “Aku akan menjemputmu sayang” balasku
dengan penuh bahagia.
Aku mulai bangkit dengan semangat dan mempersiapkan
istana kecilku untuk menyambut kedatangan sang ratu. Kutata dengan baik
foto-foto mesra kami yang menjadi pemandangan indah istana kecil ini. Saat
malam tiba, aku mulai cepat-sepat beristirahat tanpa mengonsumsi minuman keras
lagi dan tidur dengan penuh syukur dan penuh harap yang menjadi akhirku hari
ini.
Saat mentari membias kelabu, aku segera
mempersiapkan diriku dengan yakin untuk menjemput wanita yang menjadi
pendamping hidupku. Wanita yang memiliki satu rusukku, ia adalah Anita. Garis
batas Mota’ain akan menjadi saksi kisah cinta dua manusia yang saling mencintai
dengan tulus. Air mata akan menjadi ucapan selamat datang di antara kedua insan
itu. Selain itu, pelukan yang erat menjadi bukti kekuatan cinta yang tanpa
dendam melahirkan kisah cinta baru.
Panas yang membara tak mematakan semangatku untuk
menunggu kepulangan wanita impianku. Perbatasan menjadi tempat penantian di
hari ini. Walaupun lelah menunggu, aku akan tetap menunggu sampai kapan saja.
Matahari mulai menyembunyikan kekhasannya di balik bumi dan menjadi senja di
perbatasan Mota’ain. Keputusasaan mulai terlihat di raut wajahku. Sedikit lagi
hujan akan turun membasahi bumi. Orang-orang mulai pergi meninggalkan ruang
tunggu perbatasan dan menjadi sangat sepi. Hanya terlihat Tentara Nasional
Indonesia dan Tentara Timor Leste yang berseragam lengkap dengan menjinjing
senjata di tangan setiap prajurit yang berpatroli di sekitar pos perbatasan.
“Ameta!” teriak seorang wanita dari garis batas. Itu
adalah Anita…. Sungguhkah engkau kembali? Aku sontak kaget dan pandanganku
langsung mengarah padanya dan berlari sekuat tenaga dengan hujan yang mengguyur
tanah perbatasan dengan lebat seakan bumi merasakan sedih yang mendalam karena
kekuatan cinta Adam (Ameta) dan Hawa (Anita).
Aku tak memedulikannya. Aku terus berlari sejauh 50
meter dan harus menggapai tangannya, seakan drama ini mengalahkan drama
klasikal para cendikiawan cilik yang mementaskan drama itu di kala hujan turun.
Akhirnya…. Ku gapai tangannya dan memeluknya di garis batas Mota’ain dengan
senja yang memancarkan terangnya, kawanan burung yang terbang di udara menjadi
tamu sore itu, dan pelangi menjadi rasa yang tercipta kembali.
Ciuman cinta di keningnya dan tangis akan sebuah
kerinduan yang telah lama hilang akhirnya dipertemukan kembali di garis batas
Mota’ain dengan senja yang terpancar indah. Kecantikannya di mataku tidak
berubah sedikit pun. Matanya yang syahdu tetap berkilau di setiap tatapan dan
lirikannya. Maafkan aku, Anita untuk salah dan egoku. Jangan pernah pergi lagi
meninggalkan daku sendirian untuk merawat istana mini yang kita bangun bersama.
Hari ini, di garis batas Mota’ain di ujung senja,
kita merajut cinta yang hampir hilang ditelan waktu. Aku akan membawamu pulang
dan duduk di teras rumah sambil menonton anak-anak kecil mementaskan keahlian
mereka di atas panggung berlumpur. Kamu akan tertarik pada kisah mereka.
Kesepian akan perlahan hilang dari hidupku. Kursi goyang akan menjadi dua
sebagai tahkta sang ratu. Hidupku semakin berubah, di saat ia kembali untuk
membuktikan kesungguhan cintanya padaku. Kami menyambut hari-hari baru di tanah
Lorosae dengan cinta dan kebahagiaan. Sekali lagi menatap senja yang indah di
teras rumah, bersama wanita pujaanku.
Timor Leste, 1997
*Penerbitan karya ini merupakan hasil kerja sama antara Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT dan Kantor Bahasa Provinsi NTT.
Redaksi MPC NTT menerima karya sastra berupa
cerpen, puisi, resensi buku dan sebagainya untuk dipublikasikan di Media Daring
cakrawalantt.com dan Majalah
Cakrawala NTT (khusus bagi peserta didik dan mahasiswa). Bagi penulis yang
karyanya lolos akan diberikan apresiasi berupa honor. Karya dapat dikirim ke
email redaksimpcntt@gmail.com
beserta data diri, nomor Whatsapp dan nomor rekening.
0 Comments