Oleh
: Rosalia Lepang Wator, S.Pd
(Guru
SKO San Bernardino, Lembata)
CAKRAWALANTT.COM - Perjalanan menjadi seorang guru
tidaklah mudah. Sebagai seorang guru di Sekolah Keberbakatan Olahraga (SKO) San
Bernardino, Lembata, penulis memiliki berbagai pengalaman terkait peran dan
eksistensi guru di dalam dunia pendidikan. Seperti halnya olahraga Kempo, penulis menerangkan makna guru
sebagai seorang petarung. Petarung yang terus berjuang untuk memenangkan sebuah lakon
pertaruhan tentunya harus selalu berani untuk memulai atau menemukan hal baru
di dalam perjalanannya. Hal tersebut tentunya akan berguna bagi proses kreatif
dan pembentukan pola inovasi di dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Tidak
dapat dipungkiri, salah satu hambatan utama yang sering dihadapi oleh seorang
guru di dalam Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM) adalah pola mengajar yang monoton.
Kurangnya dinamika sebagai bagian esensial dalam proses perubahan tentunya
memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan pembelajaran dan peningkatan
minat belajar peserta didik. Maka dari itu, kreativitas dan inovasi guru selaku
tenaga pendidik harus terus dimaksimalkan guna menciptakan kondisi pembelajaran
yang baik.
Dalam
realitas kemasyarakatan, profesi guru dianggap sebagai pekerjaan yang
bermartabat dan mulia. Mistifikasi profesi guru menjadi upaya apresiatif untuk
mengangkat mutu dan kualitas personal guru itu sendiri. Hal itu juga tertuang
dalam syair Himne Guru yang ditulis oleh Sartono pada tahun 1975. Menurutnya,
guru sering dipuji sebagai patriot dan pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Guru
menjadi sumber kebijaksanaan dan teladan bagi anak-anak bangsa. Maka dari itu,
sosok guru selalu merujuk pada analogi pelita dalam kegelapan.
Namun,
di lain pihak, ketika seorang guru menjadi renta dan (mungkin) melakukan
kesalahan yang bersifat manusiawi, maka publik sontak menyerangnya secara personal
tanpa memerdulikan alasan atau faktor penyebabnya. Misalnya, ketika seorang
terjebak dalam pola pendidikan yang konservatif, maka para peserta didik akan
“meninggalkannya” karena kemajuan teknologi di bidang pendidikan. Tidak heran,
para guru pun dituntut untuk terus meningkatkan kualitas diri di tengah arus
perkembangan zaman.
Tuntutan
perkembangan tersebut juga kadang menyebabkan guru mengingkari kebutuhan
dirinya, baik secara fisik maupun psikis. Guru memberikan seluruh dirinya bagi
perkembangan dunia pendidikan bahkan meninggalkan semua kepentingan pribadinya.
Dengan kata lain, kemajuan dan kesejahteraannya pun kadang tidak dihiraukan
agar fokus dirinya bisa tertuju pada peningkatan edukasi para peserta didik
secara holistik.
Guru
kadang terjebak dalam rutinitas dan ritme kerja yang tidak seimbang. Bila
ditelisik secara lebih mendalam, maka kultur sekolah, lingkungan pekerjaan dan
dinamika harian seorang guru bisa membentuk kepribadiannya. Dinamika keseharian
guru tampaknya lebih dekat dengan gagasan akan status quo daripada dinamika perubahan dan kreativitas yang
seringkali bersifat non rutin. Rutinitas tersebut kadang membuat guru tidak
bisa bekerja sesuai orientasi karena padatnya aktivitas.
Memahami Emosi
Rutinitas
guru juga kadang menyebabkan kejenuhan. Selain itu, dalam kegiatan
pembelajaran, sisi emosional guru pun juga terlatih. Tidak jarang, guru pun bisa
menunjukan sisi kemanusiaannya bila terjebak dala kejenuhan rutinitas yang
monoton dan tidak dinamis.
Berangkat
dari hal tersebut, dapat diartikan bahwa emosi adalah satu dimensi afeksi yang
berbeda dengan dimensi lainnya (sensasi) karena menyangkut perasaan akan
sesuatu yang diutarakan, dipahami dan disadari. Emosi menjadi semacam
keberadaan internal seseorang terkait aspek fisiologis dan sensorisnya. Maka
dari itu, emosi dapat menjadi aspek strategis yang turut mempengaruhi keadaan
internal dan eksternal individu, termasuk guru.
Seorang
guru harus mampu memahami kajian emosi, baik dari sisi positif (positive activating emotions), negatif (negative activating emotions), positif
netral (positive deactivating emotions),
serta negatif netral (negative
deactivating emotions). Pentingnya memahami kajian emosi bagi seorang guru
adalah untuk meningkatkan kualitas interaksi bersama peserta didik.
Emosi
mengandung beberapa unsur, seperti konatif (penilaian), afektif (perasaan), dan
konatif (perilaku). Belajar sendiri merupakan pengalaman emosi yang melingkupi
kognitif, afektif, dan konatif beserta pendekatan-pendekatan multidimensi.
Sisi
emosi juga berdampak pada proses dan hasil belajar. Rasa senang dan sukacita
dalam KBM bisa mendorong dan mempengaruhi hasil belajar yang positif secara
akademis. Begitupun sebaliknya, sisi negatif dari emosi bisa menghadirkan kecenderungan
degradasi nilai di dalam KBM. Maka dari itu, di setiap KBM, para guru harus
mampu menciptakan pola pembelajaran yang kreatif (creative teaching) dan
menyenangkan guna menumbuhkan sisi emosi yang positif di dalam diri peserta
didik.
Lebih
lanjut, peserta didik juga harus dilatih untuk mengendalikan emosi (effective self regulation) yang tidak
menyenangkan atau bersifat negatif. Dalam hal ini, guru harus mewujudkan emosi
positif untuk mendukung setiap misi pembelajaran peserta didik di dalam kelas. Guru harus
membuat inovasi dan transformasi pembelajaran, seperti rote memory model secara monolog menuju pendekatan yang lebih
menumbuhkan aspek kepercayaan dan penilaian positif terhadap peserta didik.
Guru bisa memberikan masukan yang konstruktif, memberikan peluang untuk belajar
dari kesalahan, serta menumbuhkan kemandirian (autonomy support) beserta kerja sama dengan model cooperative/collaborative learning.
Sementara itu, guru juga harus menciptakan iklim yang
mendorong peserta didik untuk mejadi lebih percaya diri dan partisipatif di
dalam KBM. Selain itu, guru harus mampu memahami emosi peserta didik yang
berkaitan dengan konstruksi sosial dan regulasi diri serta sekaligus memberikan
stimulus untuk memperoleh strategi-strategi baru.
Editor : Rofinus R. Roning/Mario Djegho (red)
1 Comments
Like
ReplyDelete