(Catatan
dari Kegiatan FGD Formator Literasi MPC NTT)
Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Kamis (16/09/2021). Hari itu langit Kota
Kupang nampak cerah. Hiruk pikuk aktivitas masyarakat masih terpantau lancar
kendati pandemi masih melanda. Di sebuah resto ternama (Celebes) terpampang
baliho berukuran sedang bertuliskan “Selamat Datang”. Ada sebuah sambutan
hangat di tengah hiruk pikuk aktivitas dengan nuansa kota yang cerah. Satu per
satu orang (undangan) mulai masuk dan mengumbar senyum kepada yang lain. Ada
nuansa persahabatan, persaudaraan, dan keakraban yang terlihat tulus serta
energik.
Senyum dan tawa kehangatan menjadi
tampilan pembuka dalam kegiatan Focus
Discussion Group (FGD) Formator Literasi Media Pendidikan Cakrawala (MPC)
NTT. Kegiatan yang digagas oleh Divisi Pelatihan MPC NTT tersebut merupakan
wadah komunikasi antara para formator literasi untuk mendiskusikan berbagai hal
terkait budaya literasi beserta regulasi dan realitas terkini yang mendominasi.
Singkat cerita, hari itu adalah momentum terbaik untuk menyatukan semua konsep,
membangun sebuah narasi serta menunjang rencana aksi guna menguatkan literasi.
Sebuah
Narasi tentang Literasi
Tepat Pukul 09:00 Wita, Ketua Divisi
Pelatihan MPC NTT, Marsel Robot mengajak semua formator untuk memulai kegiatan
FGD tersebut. Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Kepala Bidang Guru dan
Tenaga Kependidikan (GTK), Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT,
Adelino da Cruz Soares, Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Syaiful Bahri Lubis
beserta jajaran, Pimpinan Umum MPC NTT, Gusti Rikarno beserta jajaran, praktisi
pendidikan, akademisi, dan penggiat literasi. Kegiatan FGD tersebut dibuka
secara langsung oleh Kabid GTK, Adelino da Cruz Soares dengan tetap menerapkan
protokol kesehatan (prokes).
Dalam sambutannya, Adelino menuturkan
bahwa literasi merupakan aspek penting di dalam dunia pendidikan. Tanpa budaya
literasi yang baik, imbuhnya, sebuah lembaga pendidikan tidak akan bisa
mengimplementasikan semua visi dan misinya secara holistik. Literasi, jelasnya,
menjadi pijakan yang kuat dalam mendukung tercapainya bonus demografi. Maka dari
itu, baginya, kegiatan FGD tersebut adalah langkah strategis dalam menyusun
rencana jangka panjang guna melestarikan dan menguatkan budaya literasi di
lingkungan sekolah.
“Literasi adalah aspek penting di dalam
dunia pendidikan, sehingga semua lembaga pendidikan bisa mencapai visi dan
misinya secara baik. Literasi menjadi pijakan dasar bagi dunia pendidikan dalam
mencapai bonus demografi sekaligus melestarikan budaya literasi itu sendiri di
lingkungan sekolah. Kegiatan FGD hari ini merupakan langkah strategis untuk
mewujudkan hal tersebut,” ujarnya.
Setelah mengikuti seremonial pembuka,
kegiatan FGD pun resmi dilaksanakan. Marsel Robot selaku Ketua Divisi Pelatihan
MPC NTT pun mulai memandu jalannya diskusi. Dengan posisi duduk yang melingkar,
para peserta FGD bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi secara resiprokal. Marsel
pun mulai membuka jalannya diskusi dengan memaparkan fakta-fakta literasi di
dalam dunia pendidikan. Akademisi bidang pendidikan tersebut mengungkapkan
bahwa literasi merupakan jalan yang sepi, tetapi juga menjadi jalan terang
menuju keadaan yang berkualitas. Menurutnya, semua pihak harus bertanggung
jawab untuk meramaikan jalan tersebut, sekaligus menjadi cahaya yang menerangi
para “pengunjung” menuju perubahan yang lebih baik.
“Kita sepakat bahwa literasi adalah
jalan yang sepi yang minim pengunjung karena lika-likunya yang terkadang
membuat orang lain merasa enggan menapakinya. Namun, kita juga harus
mengafirmasi bahwa literasi adalah jalan terang. Literasi mampu mengantarkan
kita semua menuju visi besar NTT bangkit, kuat, dan sejahtera,” ungkapnya.
Di sisi senada, Kepala Kantor Bahasa
Provinsi NTT, Syaiful Bahri Lubis juga mengatakan demikian. Menurutnya, literasi
sudah semestinya dipandang sebagai hal yang sangat urgen, dan bukan semata
tuntutan formalitas. Membaca dan menulis, imbuhnya, adalah dua hal mendasar yang
menjadi penggerak roda pendidikan. Syaiful memberikan contoh terkait teladan
Pramoedya Ananta Toer, penulis besar berkebangsaan Indonesia yang selalu
menjadikan kegiatan menulis sebagai pekerjaan menuju keabadian. Apabila seseorang
berhenti menulis, terang Syaiful, maka otomatis ia akan hilang dari lembaran
sejarah. Demikianpun guru, apabila ia tidak pernah menulis, apalagi membaca,
maka sebenarnya ia telah hilang dari dunia pendidikan itu sendiri. Sebab,
baginya, pendidikan dan literasi adalah dua hal yang saling berkaitan secara
integral.
“Literasi harus dipandang sebagai sebuah
keharusan. Literasi adalah roda penggerak pendidikan. Pramoedya Ananta Toer
selalu menekan bahwa menulis adalah pekerjaan untuk keabadian, sehingga bila
seseorang tidak menulis maka dia akan hilang dari sejarah. Begitupun guru,
apabila ia tidak menulis maka ia akan hilang dari dunia pendidikan itu sendiri.
Sebab literasi dan pendidikan adalah dua hal yang menyatu,” pungkasnya.
Membangun
Tradisi, Menguatkan Literasi
Tidak terasa waktu diskusi telah
berjalan hampir dua jam lamanya. Tepat Pukul 12 : 30 Wita, Marsel selaku
moderator diskusi mulai mengumpulkan semua pendapat dan gagasan dari para
formator literasi yang hadir. Terlepas dari semua narasi tentang literasi, ada
sebuah kalimat yang sempat
terlontar dari hampir semua anggota FGD tersebut, yakni; “Untuk menguatkan budaya literasi, maka sudah seharusnya tradisi
tentangnya dibangun secara sistematis dan terarah”.
Tradisi menjadi acuan pertama dalam
menguatkan budaya literasi. Dalam konteks kebudayaan, tradisi merupakan hasil
dari proses budaya yang diciptakan, dirasakan, dibiasakan serta diproduksi
secara terus menerus hingga menjadi identitas dominan secara individual maupun
kelompok (kolektif). Masyarakat, misalnya, akan memiliki sebuah identitas
apabila rutin melakukan tradisinya. Tradisi merujuk pada satu kesatuan pikiran,
tindakan, dan norma regulasi yang melekat dalam diri anggota masyarakat, sehingga
dimana pun ia berada, tradisi tersebut akan terus dilakukannya karena kuatnya
keterikatan batiniah dan emosional. Pengulangan kebiasaan tradisional tersebut
akan melahirkan budaya dan produk kebudayaan yang khas sebagai lampiran
identitasnya di tengah interaksi sosial.
Begitupun literasi. Bila ingin dilestarikan sebagai sebuah budaya, maka literasi harus dibiasakan sebagai sebuah tradisi. Tradisi tersebut harus melekat dalam diri para guru dan peserta didik secara kuat. Misalnya, sebuah sekolah akan diakui sebagai “Sekolah Model Literasi” apabila rutinitas membaca dan menulis para warganya bisa menjadi teladan (role model) bagi sekolah lain. Namun, yang menjadi pertanyaan penting di dalam FGD tersebut adalah bagaimana cara yang strategis untuk membangun tradisi literasi tersebut.
Kepala SMPK St. Yoseph Naikoten, Kupang,
RD. Amanche Frank yang turut hadir dalam kegiatan tersebut mengungkapkan bahwa
ada dua hal menarik yang sering terjadi di dalam lingkungan pendidikan, yakni;
publikasi dan apresiasi. Menurutnya, ada banyak guru dan peserta didik yang
mampu menulis, tetapi minim sarana publikasi. Selain itu, sambungnya, terdapat
banyak pula guru dan peserta didik yang ingin menulis, tetapi respon aspresiatif
dari lingkungan sekitarnya tidak mampu mendukung karya-karya literasinya secara baik. Oleh
sebab itu, paparnya, media-media publikasi, termasuk MPC NTT harus mengayomi
segala bentuk karya literasi untuk menunjang kebutuhan publikasi dan respon
apresiasi tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Syaiful
menuturkan bahwa Kantor Bahasa Provinsi NTT selalu membuka wadah kerja sama
untuk mendukung dan mengapresiasi proses peningkatan budaya literasi. Dalam aspek
apresiasi, ungkapnya, Kantor Bahasa Provinsi telah membangun kerja dengan pihak
MPC NTT untuk memberikan honor bagi para penulis (pelajar dan mahasiswa)
apabila tulisan atau karyanya (puisi, cerpen, atau resensi buku) diterbitkan
pada Majalah Cakrawala NTT maupun Media Daring cakrawalantt.com. Hal tersebut,
pungkasnya, bisa menjadi stimulus bagi para warga sekolah untuk menulis
sekaligus membaca. Dengan demikian, literasi bisa menjadi kebiasaan, tradisi,
sekaligus budaya yang mengakar dalam identitas guru dan peserta didik.
Catatan
Penutup
Di penghujung kegiatan, Marsel pun
menekankan pentingnya pembangunan tradisi dan penguatan literasi. Ketua Divisi
Pelatihan MPC NTT tersebut pun mendorong Tim MPC NTT untuk bisa membuat dan
menerbitkan pedoman penulisan bagi para guru dan peserta didik. Hal tersebut
juga didukung oleh Andreas Andi, akademisi pendidikan dari Universitas Nusa
Cendana (Undana) yang turut hadir dalam kegiatan tersebut. Bagi Andreas, pedoman
menulis sangat berguna untuk membentuk pola pikir seseorang, sehingga pemikiran dan
runtutan tulisannya bisa teraktualisasi secara logis, kritis, dan sistematis.
Pada akhir kegiatan, Pimpinan Umum MPC
NTT, Gusty Rikarno, mengucapkan apresiasi dan terima kasih kepada para formator
literasi yang telah berpartisipasi di dalam kegiatan FGD tersebut. Menurutnya,
kegiatan tersebut sangat bermanfaat dan bermartabat guna menyambutkan generasi
emas NTT 2045 mendatang. Pekerjaan yang dilakukan hari ini, ungkapnya, adalah
pekerjaan untuk keabadian, sebab hasil akhir dari proses panjang tersebut akan
dirasakan puluhan tahun yang akan datang. Dirinya berharap agar konsep
sinergitas-kolaborasi yang telah dibangun tersebut bisa terus lestari dalam
wadah informasi dan komunikasi bagi para formator literasi.
“Saya mewakili Tim MPC NTT sangat berterima
kasih atas kehadiran dan partisipasi aktif dari kita semua. Saya percaya bahwa
apa yang kita kerjakan hari ini akan sangat berguna bagi generasi emas di masa
yang akan datang, walaupun masih terhitung puluhan tahun. Yang menjadi utama
adalah kita bisa terus menjadi semangat sinergitas kolaborasi ini dalam
wadah-wadah komunikasi bagi para formator literasi,” pungkasnya.
Di ujung catatan ini, ada kisah menarik yang
ditulis oleh Milan Hubl, seorang sejarawan yang menjadi korban rezim Gustav
Husak, pemimpin otortiter Republik Cekoslovakia. Menurutnya, langkah utama
untuk menaklukan sebuah kelompok masyarakat adalah dengan memusnahkan
ingatannya, menghancurkan semua buku, kebudayaan dan sejarah yang melekat
padanya. Lalu, perintahkan seseorang menulis buku, membangun kebudayaan serta
menyusun sejarah baru, sehingga secara perlahan mereka akan melupakan masa
lalunya dan hidup pada keyakinan masa kini dan masa depan.
Kisah Milan Hubl tersebut sebenarnya
ingin menegaskan bahwa dokumentasi adalah hal penting di dalam sejarah dan
peradaban sebuah masyarakat, termasuk melalui dokumentasi arsip tulisan. Bayangkan
saja, apabila sebuah masyarakat tidak memiliki tradisi dan budaya literasi
menulis yang cakap, maka bukan tidak mungkin kelompok masyarakat tersebut akan
hilang ditelan perkembangan, atau mudah terprovokasi karena minimnya
pengetahuan sejarahnya. Tugas kita adalah membangun tradisi literasi,
menguatkan semangat literasi, serta menuntun semua pihak tanpa terkecuali untuk
giat menulis dan membaca. Kelak, ketika literasi menulis dan membaca telah tumbuh
subur, maka sejarah, realitas, dan masa depan sebuah bangsa akan kuat layaknya
karang di tengah lautan.
Teks dan Foto : Mario Djegho (red)
0 Comments