Oleh Gusty Rikarno, S.Fil
Jurnalis
& Pegiat Literasi Media Pendidikan Cakrawala NTT
Kami baru
selesai berbicara. Ada yang memang berhubungan dengan topik diskusi, ada yang
sekadar sharing praktik baik dan atau tidak yang hanya ingin bicara.
Kali ini, saya lebih banyak berdiam diri dan menikmati ke mana topik
pembicaraan itu dibawa. Satu hal yang pasti, beberapa aksi kecil yang
berhubungan dengan topik itu sudah saya (kami) lakukan. Yah, untuk beberapa
kalangan itu sudah dinilai luar biasa. Saya diam saja. Toh, mereka yang
berbicara. Bukan saya.
Lalu kami
diminta berada dalam ruangan virtual. Dipersilakan berbicara sesukanya. Maka
terjadilah demikian. Semua orang ingin berbicara. Terkadang saya kagum, di
situasi begini orang masih berimajinasi tentang suasana dan kondisi di saat
semuanya baik-baik saja. Beberapa gagasan sengaja dilemparkan untuk memantik
hangatnya diskusi. Sementara itu, moderator tampak serius dan kelihatan sedang
mencatat sesuatu. Satu hal yang pasti bahwa diakhir peserta diskusi dipersilakan
dari ruangan virtual dan biarkan tim kecil yang bekerja.
Terkadang
hidup ini, begitu. Berbicara atau diam sesukanya. Entahlah, apa yang lebih
berguna. Lebih baik berbicara untuk sesuatu yang tidak bisa dikatakan atau
sebaliknya justru memilih diam. Menurut saya, dua-duanya sama. Sama-sama
terlihat asyik walau tanpak sedikit membingungkan. Akh, sudahlah. Hidup ini
adalah tentang bunyi (suara). Bersuara atau berbicara artinya hidup. Sama
halnya dengan diam yang bersuara walau tidak berbunyi. Poin pentingnya bahwa
sekarang kita masih hidup.
………………………………………………..
Kami baru
selesai berbicara. Kali ini tentang Tim Penggerak Literasi Daerah (TPLD).
Membanggakan. Di daerah ini nantinya, akan terbentuk TPLD yang akan di-SK-kan
oleh Gubernur. Tim ini akan bekerja, menggerakkan literasi di daerah ini. Luar
biasa. Pertanyaan tersisa adalah apakah selama ini daerah kita sedang tertidur
pulas tanpa melakukan pergerakan apa pun di bidang literasi? Atau mungkin,
pergerakan sudah ada tetapi belum masif, tidak terukur dan cenderung
“dimonopoli” oleh seorang atau beberapa orang saja?
Tiba di
titik ini, saya memilih untuk diam. Sempat berniat untuk berbicara tetapi
akhirnya memilih untuk diam. Diam adalah caraku merayakan rasa bangga dan
syukur. Di daerah ini, akan terbentuk tim yang bekerja tuntas hingga ke pelosok
daerah. Membayangkan hasilnya, itulah alasanku untuk kagum dan diam. Bakalan
asyik dan seru apalagi nantinya saya diikutsertakan di dalamnya.
Struktur
pengurus sementara sudah dibentuk. Singkat dan sekilas saja. Toh, itu tidak
penting, yang paling penting adalah hasil kerjanya. Satu kalimat yang betah
bertahan adalah kita tidak sekadar bekerja sama tetapi bekerja bersama-sama.
Perlahan namun pasti, imajinasi tentang mimpi yang kudoakan dalam diam akan
hadirnya generasi emas NTT bakal terwujud. Saya optimis. Beberapa lembaga besar
duduk dan akan bergerak bersama. Sebut saja, Dinas Pendidikan Provinsi, LPMP,
BP Paud dan Dikmas, Kantor Bahasa dan para pegiat literasi yang hebat nan
tangguh dari komunitas dan lembaganya masing-masing. Mimpi untuk NTT segera
didekalrasikan sebagai Provinsi Literasi di tanah air akan segera terwujud.
Dinas
Pendidikan Provinsi NTT membuka kegiatan. Mengupas tentang tema dan maksud
perjumpaan di ruangan virtual itu. Sebenarnya, tidak ada hal baru mengenai
informasi tentang gerakan literasi. Nafas sinergisitas dan kolaborasi yang
sudah dan sering digaungkan salama ini oleh pihak dinas pendidikan diutarakan
lagi. Hanya sebuah informasi baru bahwa TPLD akan segera di-SK-kan oleh
Gubernur NTT. Oleh karena itu, struktur dan program kerja harus segera
dibentuk. Dua hal yang segera didiskusikan, diisi dan sedapat mungkin
dilaksanakan. Struktur TPLD dan program kerja. Seakan menggarisbawahi satu hal.
Struktur pengurus dan program kerja itu mudah asal anggaranya ada. Mungkin
begitu. Saya tidak tahu. Syukurlah. Ibu kepala BP PAUD-DIKMAS dan Bapak Kepala
LPMP menegaskan itu. Anggaranya ada dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset dan Teknologi. Lagi pula, itu memang tugas negara. Negara sudah berdosa
karena membebankan para pegiat literasi yang bekerja dalam diam dan tanpa
anggaran selama ini. Sudah saatnya negara harus bertobat.
Di titik
ini, saya tersenyum bangga. Inilah yang menjadi harapan, doa dan kerinduan
bertahun-tahun sejak menjatuhkan pilihan untuk berjalan di jalan sepi literasi
NTT. Di tahun itu, tepatnya 2013, saya (kami) memilih untuk menempuh jalan sepi
literasi itu. Terjal, berlumpur, berduri dan berbatu, itulah yang terjadi.
Masyarakat NTT masih nyaman dengan bahasa tutur. Ingin berbicara banyak walau
tidak harus mengatakan sesuatu. Menurutnya, berbicara sudah cukup untuk
mengatakan dia masih hidup. Padahal, berbicara dan menulis adalah dua hal yang
saling mengandaikan. Itulah fondasi dasar ber-literasi. Membaca dan menulis.
Bukan membaca dan berbicara banyak. Maka jangan pernah dibilang hebat dalam hal
literasi finansial, digital, kewarnegaraan dan lain sebagainya kalau literasi
dasar ini masih lemah. Jujur, saya bersyukur karena Bapak Kaban Perpustakaan
Daerah berbicara tentang hal ini.
Di ruang
virtual ini kami duduk dan diam untuk dua alasan. Tidak mau berbicara dan atau
tidak berkesempatan berbicara. Saya tahu. Ada sekian banyak yang ingin mendapat
kesempatan berahmat itu. Berbicara. Hadirnya TPLD adalah angin segar untuk
lajunya pergerakan literasi di daerah ini. Tidak tanggung-tanggung, beberapa
lembaga besar duduk dan berpikir serta akan bergerak bersama.
Secara
pribadi dan lembaga Media Pendidikan Cakrawala NTT, pastinya selalu siap
mendukung. Jalan panggilan sekaligus passion kami yang sudah kami jalani
dan nikmati selama ini. Inilah yang kita rindukan. Literasi harus menjadi
pergerakan yang masif, terukur dan konsisten. Tidak saatnya lagi berjalan
sendiri dalam sunyi untuk maksud dan tujuan yang sama. Sekali lagi, kita
sepakat akan satu hal yakni bekerja sama dan sama-sama bekerja.
Namun di
titik terjauh, perlu dipikirkan secara bijaksana agar TPLD hadir sebagai
“bunda” yang merangkul semua penggerak literasi yang sudah sekian lama bekerja
dalam sunyi. Inilah tugas berat yang tidak semudah menyusun struktur dan
program kerja. Oleh karena itu, perlunya sebuah bidang atau divisi khusus untuk
maksud ini. Tentunya kita tidak sedang mengharapkan para penggerak literasi itu
“angkat tangan” dan membiarkan TPLD bekerja sendiri. Sangat berbahaya dan
bertentangan dengan “roh” literasi itu sendiri.
Hemat
saya, literasi seharusnya dilihat sebagai pergerakan semesta yang seharusnya
terbentuk dari rasa kepedulian bersama. Jika itu yang menjadi fondasi utamanya,
maka pergerakan literasi tidak harus selalu berhubungan dengan seberapa besar
anggaran yang disiapkan. Dana (uang) itu penting. Namun yang jauh lebih penting
adalah niat dari para penggerak literasi itu sendiri. Atau dengan kata lain,
motivasi untuk menempuh jalan sunyi literasi harus dimurnikan. Hasil atau produk
yang dihasilkan itulah yang diutamakan. Bukan wacana dan atau sekadar
menjalankan program. Atau semacam “proyek” sesaat. Itu memalukan. Sangatlah
elok kalau program kerja yang disusun harus berorientasi pada hasil atau produk
literasi yang terukur.
……………………………………
Beberapa
orang anak tetangga membawa kabar dan bercerita. Narasi yang mereka sampaikan
sama. Mereka sedang tidak baik-baik saja. Mereka jenuh dengan semua ini. Dengan
informasi dan peristiwa akhir-akhir ini. Saya diam saja. Toh, temanya sudah
ditebak. Pasti tentang covid-19. Jujur, sebenarnya saya juga jenuh, bosan,
marah dan terkadang ingin menyerah. Bukan tentang covid-19 itu, tetapi tentang
situasi ini. Situasi dimana orang lebih senang berbicara banyak hal tanpa
mengatakan sesuatu. Daerah ini butuh sedikit ruang refreshing. Kita
sudah jenuh dengan banyaknya wacana dan program yang berakhir tragis tanpa
jejak. Cukuplah covid-19 saja. Jangan lagi diracuni dengan narasi yang berakhir
mati. Kehadiran TPLD ditantang untuk me-refresh situasi dan kondisi ini.
Saatnya literasi dilihat sebagai jalan pulang menuju NTT bangkit dan sejahtera.
Untuk
selanjutnya, ijinkan saya dan kami untuk menikmati, mengamati dan sekiranya
dizinkan untuk ikut nimbrung menjalankan program-program TPLD. Kami dan
kita adalah penggerak yang bekerja dalam sunyi dan tanpa anggaran itu. NTT
butuh kita saat ini. Butuh narasi-narasi yang terukur dan terkontrol. Produk-produk
literasi adalah batu pijak untuk kita mendeklarasikan diri sebagai salah satu
Provinsi Literasi di tanah air.
Salam
Cakrawala, Salam Literasi.
Foto:
Dokumentasi Redaksi
0 Comments