Kota Kupang, CAKRAWALANTT.COM – Dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat tentang produk-produk kebudayaan, UPTD Museum Daerah NTT menggelar sosialisasi informasi koleksi kain tenun ikat. Kegiatan sosialisasi yang berfokus pada tenun ikat Ende ini dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi, S.Pd., M.Pd, pada Kamis (10/06/2021) di Aula Museum Daerah NTT.
Kegiatan
sosialisaasi yang mengusung tema ‘Museum sebagai Media Informasi Karya Budaya’
ini menghadirkan Petrus Pande Migo (Pemerhati Budaya Etnis Ende) dan Christina
M. A. Gero, S.S., M.Hum., sebagai narasumber. Sementara peserta sosialisasi
terdiri dari para guru, mahasiswa, pemerhati kebudayaan dan komunitas kreatif
di Kota Kupang. Bertindak selaku moderator, Wenseslaus Gampur, S.Pd., M.Si.,
Kasie Edukasi dan Publikasi UPTD Museum Daearah NTT.
Linus Lusi
dalam sambutannya mengungkapkan pentingnya peran museum dalam mempublikasikan
karya-karya fenomenal dan monumental yang adalah produk budaya NTT. “Kalau kita
bicara tentang museum sebagai media informasi karya budaya, pertanyaan
mendasarnya adalah sudah sejauh mana museum mempublikasikan karya-karya
fenomenal dan monumental yang lahir dan tumbuh dari Rahim NTT. Secara
etnografis, masyarakat NTT datang dari berbagai kepulauan. Perpaduan kebudayaan
ini kemudian melahirkan banyak corak dan ragam tenun ikat. Masing-masing daerah
memiliki corak tenun ikat yang khas dan unik,” tuturnya.
“Ketika kita ke
Ende, di situ tidak terlepas dengan corak ragam danau tiga warna Kelimutu,
gunung Meja dan dibalut dengan dua kekuatan budaya setempat. Budaya pantai dan
budaya gunung. Corak kain yang dikenakan para mosalaki pun mengikuti
strata-strata tertentu,” tambahnya mencontohkan.
Terkait dengan
pemahaman masyarakat tentang produk-produk budaya yang syarat makna ini, beliau
mengatakan bahwa ada gap yang begitu
tinggi antara generasi lama dan generasi milenial seekarang ini. Generasi
sekarang tidak punya cukup keahlian dan pemahaman dalam hal menenun. Oleh
karena itu, melalui kegiatan ini beliau mendorong agar tenun ikat juga
dikembangkan di sekolah-sekolah.
Christina M. A.
Gero dalam pemaparannya menjelaskan perihal nilai religio-magis, motif dan
ragam hias geometris dari aneka tenun ikat Ende. Adapun motif dan ragam tenun
hias tenunan Ende adalah sebagai berikut Lawo
Jara Elo (sarung jenis inni hanya boleh ditenun oleh perempuan yang sudah
menopause), Zuka (Sarung untuk kaum
laki-laki), Zawo Mangga (jenis sarung
hitam nila yang bertata ragam hias geometris kecil), Zawo Jara (sarung bermotif kuda), Semba (kain selendang yang dipakai oleh kaum pria pemangku adat), Zawo Pundi (sarung dengan motif dan
ragam hias geometris yang ramai), Zawo
Butu Nggela, Zawo Mbutu Pusaka, Zawo Kezimara, Zawo Nggaja, Zawo Mbuli Jopu, dan
Zawo Pundi.
Menurut
Christina, dibalik keindahan motif tenunan Ende ini terdapat aneka makna dan
nilai. Di dalamnya terkandung nilai spiritual yang dipercaya memiliki nilai
suci dan sakti. Hal senada diungkapkan Petrus Pande Migo bahwa dalam proses
pembuatan kain tenun ini, ada hal-hal tertentu yang harus dipatuhi. Apabila
dilanggar maka akan berkonsekuensi buruk.
Pande Migo
menjelaskan bahwa ada banyak pesan moral yang bisa kita petik dari motif-motif
tenun ikat Ende. Misalnya pada Zawo Jara
Mangga, motif kuda yang berdiri berhadapan memberikan pesan moral bagi
masyarakat Ende Lio untuk bekerja sekuat tenaga seperti tenaga kuda, tanpa
mengeluh dan berputus asa apalagi bermalas-malasan.
Berita &
Foto: Baldus Sae
0 Comments