Oleh Joni Liwu, S.Pd
Guru SMP
Negeri 13 Kota Kupang
Membaca
pengantar sebuah majalah ilmiah bertitel bahasa dan ideologi, jari-jemari ini tergerak
untuk menuliskan sesuatu yang disebut diksi dalam sebuah teks lisan pun
tulisan. Mengawali pengantarnya, penulis dalam jurnal tersebut mengisahkan kekisruan
Irael dan Palestina hingga pernyataan gencatan senjata. Namun, demikian penulis
tersebut, gencatan tersebut tidak sampai pada gencatan kata, kalimat, dan wacana. Bahkan karenanya, ia turut
menyulut suasana horor hingga masyarakat bangsa kesurupan dan saling memaki
kelompok-kelompok tertentu.
Ia kemudian menyimpulkan bahwa pose Israel dan
Palestina di hadapan kita melalui kata, frasa, kalimat, dan wacana yang telah
dikontruksi secara sistematis oleh jurnalis. Para jurnalis mengontruksi
realitas menjadi realitas verbal, atau sering disebut dengan realitas kedua (second
reality). Unsur elementer untuk mengubah realitas pertama (realitas
sebenarnya) menjadi realitas kedua (realitas verbal) adalah bahasa.
Saya kemudian
berasumsi bahwa plihan kata dalam komunikasi umumnya seperti kekang yang dapat
mengendalikan arah. Pada seekor kuda misalnya, tanpa kekang ia berjalan sesuai
insting, tak tentu arah. Bahkan media masa karena kemerdekaan memilin diksi,
pembaca ataupun pemirsa seolah dijadikan seperti kerbau dicocok hidupnya.
Dalam
teks tertulis, melalui tahap editing penulis akan mencermati setiap teks.
Setidaknya melakukan analisis wacana, walau tidak semestinya sebagaimana pada
mata kuliah analisis wacana tetapi bahwa teks tersebut memenuhi unsur kohesi
dan koherensi. Sebuah Teks tersampaikan ke pembaca karena memenuhi unsur
komunikatif. Setiap pilihan kata memiliki hubungan bentuk dan makna yang berisi
sebuah informasi. Dengan demikian, sebuah wacana tersampaikan jika diksi atau
pilihan kata memiliki tautan bentuk dan makna. Itu soal teks tertulis.
Lalu
bagaimana dengan teks lisan? Dalam
konteks lisan hampir pasti diksi pun diperhatikan. Namun kadang diksi
terabaikan. Belum lagi jika teks dilisankan dalam konteks debat di ruang
publik. Komunikator yang terlibat kadang terjerembap karena pilihan kata.
Kadang pula publik ikut terseret keluar area debat (baca: tema debat) karena
pelaku debat memilin kesalahan diksi lawan bicara hanya sekedar melumpuhkan
alur berpikir. Dalam konteks debat publik di media masa seperti telvisi, hal-hal kecil ini sering dipertontonkan. Mereka
seolah saling menelanjangi hanya karena diksi. Diksi yang tidak tepat lalu menyulut
lawan bicara, apalagi jika kesalahan pilihan kata berdampak bagi kepentingan
masyarakat banyak.
Pilihan
kata tentu tidak bisa berdiri sendiri, artinya tertambat pada sebuah teks atau
kalimat dalam tataran singkat dan wacana untuk taran yang lebih luas. Wacana
itu sendiri merupakan tataran yang paling besar dalam hierarki kebahasaan.
Wacana tidak merupakan sebuah kalimat secara acak tetapi merupakan satuan
bahasa, baik lisan maupun tulis. Hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana
tersusun berkesinambungan dan membentuk sebuah kepaduan. Oleh karena itu,
kepaduan makna dan kerapihan bentuk pada sebuah teks ( lisan mapun tulisan )
merupakan salah satu faktor penting dalam rangka meningkatkan tingkat
keterbacaan.
Beberapa
rujukan ilmiah yang dapat disandingkan tentang diksi. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2006: 264), menjelaskan diksi sebagai pilihan kata yang tepat dan
selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh
efek tertentu (seperti yang diharapkan). Atau seperti pendapat Goris Keraf,
pakar bahasa kelahiran Lamaholot yang
menurunkan tiga kesimpulan utama mengenai diksi.
Pertama, pilihan
kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang
tepat atau menggunakan ungkapan kata yang tepat, dan gaya mana yang paling baik
digunakan dalam situasi.
Kedua, pilihan
kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna
dari gagaasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang
sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengar. Ketiga, pilihan kata yang
tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata
atau perbendaharaan kata bahasa itu.
Jika
diulur, kesalahan memungut diksi dalam debat di ruang publik karena
faktor-faktor sebagaimana simpulan Goris Keraf di atas. Pertama karena
komunikator tidak paham bahwa pilihan kata yang tercetus dari mulutnya tidak
sesuai dengan situasi. Kedua bahwa komunikator tidak memiliki pemahaman yang
lengkap tentang nilai rasa. Bahwa sebuah kata memiliki nilai rasa.Semisal
menggunakan kata “kau” yang dianggap bernilai rasa rendah atau kasar. Oleh
karena itu, demi kesantunan kata tersebut jarang digunakan dalam komunikasi
lisan bahkan untuk ruang publik. Walaupun demikian, jika dicermati kata “kau”
merupakan salah satu kata ganti yang tidak dilarang penggunaannya. Dalam konteks kesantuan, kata tersebut kemudian
menjadi tidak terpilih jika disandingkan dengan kata Anda. Dua kata yang
memiliki kesamaan makna namun salah satunya dianakritikan dalam pengunaannya.
Penyebab
kesalahan diksi hanya karena minimnya kosa kata yang diraup seseorang. Pada
tataran ini, komunikator hanya akan terbentur dan berpasrah menggunakan diksi
yang terasa hambar. Syukurlah jika diksi tersebut sesuai konteks tetapi sangat
fatal bila berdampak menyentuh dan menggerus batin seseorang. Semua soal diksi.
Dari diksi terjalin kersaudaraan, diksi pula yang menyebabkan pertikaian.
Gelaran
acara di sebuah televisi swasta yang menyedot perhatian pemirsah misalnya menampilkan
pembicara yang menjadi kontroversial hanya karena diksi. Bagi sebagian pemirsah
menanggapi plihan kata “dungu” oleh seorang pembicara dalam sebuah acara Televisi
swasta tersebut. Pilihan kata tersebut sangatlah tidak etis. Hal itu mungki
pula karena netizen berada di ruang politik yang berbeda. Jika diamati secara
dangkal yang membuat pembicara tersebut menarik dan berbeda dari pengamat
politik lainnya adalah gaya bicara. Dalam gaya bucaranya tersebut ia
mengleuarkan diksi-diksi yang terdengar unik. Salah satu di antaranya adalah
penggunaan kata “dungu”. Meskipun terdengar negatif, namun penggunaan kata
tersebut mendapat banyak respon dari berbagai pihak. Respon yang didapat
didominasi oleh respon negatif. Walaupun respon negatif, hal tersebut membuktikan
bahwa pilihan kata yang tepat mampu menarik perhatian orang lain dalam
berkomuikasi.
Sinyalemen-sinyalemen
di atas mengerucut pada beberapa hal di antaranya sebagai berikut. Pertama
bahwa, diksi merupakan alat untuk
membedakan nuansa-nuansa makna. Hal ini berhubungan erat dengan banyaknya kata
dalam bahasa Indonesia, yang memiliki makna serupa. Dengan demikian, diksi juga
harus mempertimbangkan situasi dan nilai rasa dari kelompok masyarakat
tertentu.
Tujuan
dari hal tersebut adalah mempermudah penyampaian makna serta menyesuaikan
penggunaan kata terhadap situasi dan kondisi tertentu.
Kedua,
Diksi berkaitan erat dengan pembendaharaan kata yang dimiliki oleh seseorang.
Pembendaharaan kata berarti meliputi kapasitas seseorang dalam kekayaan kosa
kata yang dimilikinya. Maka pembendaharaan kata yang luas akan berdampak pada
tingkat penguasaan bahasa dalam beretorika.
Tulisan
singkat ini hanya ingin menyulut pemahaman seseorang bahwa diksi yang berbeda
dan unik dalam bahasa lisan ataupun tulisan, setidaknya akan mampu menarik
perhatian dari orang lain yang mendengar atau membaca. Terlebih, bila dalam
bahasa lisan, reaksi terhadap diksi yang menarik bisa terlihat dari reaksi yang
ditujukan oleh lawan komunikasi. Bukan tidak mungkin diksi dalam sebuah komunikasi
adalah senjata. Kekisruan menyulut perpecahan dapat terjadi dalam sebuah
komunitas yang heterogen. Siapapun, entah rakyat jelata pun pejabat publik
semestinya mampu memilin diksi agar terhindar dari kekisruan. Kemajuan infomasi
teknologi memungkinkan kesalahan dan kekeliruan menggunakan diksi tersebar
dengan begiru cepat. Dengan demikian, nama baik pun tercemar, reputasi pejabat
misalnya tercoreng.
Dalam
kondisi bangsa yang sedang terpolarisasi oleh situasi politk misalnya, setiap
pengguna bahasa haruslah cermat menggunakan diksi agar kesatuan bangsa selalu
tewujud. Kebinekaan bangsa ini selalu terawat. Lakukan gencatan senjata
terhadap kata, kalimat dan wacana agar tidak menyulut permusuhan. Mulailah itu dengan
diksi. Mari berliterasi.
Foto: Dokumentasi Penulis
Editor: Robert Fahik/ red
0 Comments