Yusta Roli Ramat Redaktur Cakrawala NTT Anggota Komunitas Secangkir Kopi |
Kurang lebih sudah hampir setengah
tahun virus corona (covid-19) meresahkan masyarakat, sejak pertama kali muncul
di Wuhan pada Desember 2019 lalu dan merebak ke Indonesia pada Maret 2020
dengan terkonfirmasinya pasien 01 positif corona. Tak bisa dipungkiri, selain
menelan banyak korban, virus ini juga telah banyak menyebabkan terjadinya
perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat.
Kehadirannya meluluhlantakkan hampir
seluruh tatanan masyarakat, termasuk dunia pendidikan. Agar proses belajar
mengajar tetap berjalan saat kondisi darurat covid-19, pemerintah pun telah menyiasatinya
melalui metode daring (online). Meski
menghadapi banyak tantangan dan berbagai kelemahan metode ini tetap digunakan
selama masa pandemi covid-19. Soal efektif dan tidaknya, sejauh ini belum ada
evaluasi dan belum menjadi perhatian serius pihak pemerintah dan masyarakat.
Tantangan
Penerimaan Mahasiswa Baru Saat Covid-19
Satu semester telah berlalu, namun covid-19
tak kunjung membaik. Saat ini tren positif virus ini justru terus meningkat di
Indonesia. Tak tanggung-tanggung, ada ribuan orang yang terkonfirmasi positif corona
tiap harinya. Fenomena ini menggambarkan bahwa Indonesia masih dalam kondisi
gawat darurat. Masih diperlukan kerja keras seluruh lapisan masyarakat dalam
memerangi wabah mematikan ini. Sebab dampaknya masif dan menyeluruh pada
berbagai aspek kehidupan.
Saat ini, dunia pendidikan kembali
disibukkan dengan rutinitas penerimaan mahasiswa baru. Sebelumnya kegiatan
pendaftaran dilakukan secara konvensional atau melalui blanded learning (gabungan metode daring dan luring). Namun, dengan
adanya aturan PSBB dari pemerintah, khususnya larangan bagi semua perguruan
tinggi untuk tidak melakukan proses perkuliahan tatap muka hingga Januari 2021
mendatang, maka secara otomatis menuntut lembaga pendidikan untuk menerapkan
sistem kuliah dan penerimaan mahasiswa baru secara daring (online) saja.
Penerapan peraturan baru ini tentu
membawa beberapa catatan penting bagi lembaga pendidikan dan calon mahasiswa
baru. Pertama, tantangan bagi kampus. Selama ini kampus-kampus yang ada,
khususnya di Provinsi NTT belum secara keseluruhan menerapkan sistem online. Meski sudah ada beberapa kampus
ternama yang telah mulai menerapkan sistem blanded
learning, namun kampus-kampus ini cenderung tidak mengupdate data di
website atau portal resmi secara berkala. Rendahnya perhatian pada sarana
daring ini tentu berdampak pada keterbatasan mahasiswa baru untuk mengetahui
informasi-informasi penting saat ingin memilih perguruan tinggi. Hal-hal seperti
waktu pendaftaran, biaya kuliah, jurusan, kegiatan-kegiatan kampus, aturan,
beasiswa yang diberikan, serta berbagai informasi penting lainnya merupakan data-data
yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa baru melalui laman akun resmi setiap
perguruan tinggi.
Kedua, ketidakseriusan kampus dalam
mengakses dan menyebarkan informasi melalui media daring menyebabkan kampus
cenderung kesulitan untuk mendapatkan mahasiswa baru. Pada situasi seperti saat
ini, memanfaatkan media online secara
maksimal untuk mempromosikan kampus merupakan sebuah langkah bijak. Sebab,
menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah lulusan SMA dan SMK yang
melanjutkan studi di perguruan tinggi setiap tahunnya rata-rata masih di bawah
60%. Tahun ini, diperkirakan akan ada penurunan jumlah mahasiswa baru akibat pandemi
covid-19, khususnya pada kampus-kampus swasta.
Ketiga, mahasiswa baru khususnya di
daerah-daerah terpencil akan dihadapkan dengan kesulitan untuk mengakses informasi kampus
melalui media daring. Ketidakmerataan pembangunan membawa malapetaka bagi
mereka yang berada di daerah tertinggal. Hal-hal mendasar seperti
ketidaktersediaan listrik, jaringan internet, dan teknologi masih menjadi
pergulatan tersendiri bagi masyarakat desa.
Realitas-realitas demikian merupakan
gambaran ketidaksiapan pemerintah dan dunia pendidikan dalam menghadapi
perubahan yang terjadi secara serentak. Berbagai anggaran dalam dunia
pendidikan selama ini, harusnya dimanfaatkan secara bijak dalam mengolah dan
mengembangkan potensi, serta sarana dan prasarana kampus. Sehingga tidak kalang
kabut saat dihadapkan dengan situasi seperti sekarang. Kampus sebagai lembaga
pendidikan tertinggi harusnya lebih siap menghadapi berbagai perubahan yang
datang. Sebab sejatinya, kampus harus menjadi organisasi moderen yang adaptif
dan fleksibel.
Adaptasi
dengan Perubahan
Dalam sejarah
peradaban manusia, pandemi sudah bukanlah hal yang baru. Beberapa pandemi besar
telah menyebabkan terjadinya perubahan pada masyarakat. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi membentuk berbagai aturan dan pola hidup baru yang
kemudian berdampak pada kebiasaan masyarakat. Sejak 6 bulan terakhir, gaya
hidup masyarakat pun sudah mengalami perubahan. Jika dulu kerja dan sekolah
selalu diidentikkan dengan kantor dan ruangan kelas. Sekarang, kerja dan kuliah
bisa dilakukan dari rumah saja. Atau dari mana saja, tergantung pada kondisi
ketersedian dan akses terhadap HP maupun laptop serta jaringan internet.
Charles
Duhigg (2014), dalam bukunya “The Power of Habit” mengutip hasil penelitian
seorang peneliti Duke University pada tahun 2006, dan menemukan bahwa “40% lebih
tindakan yang dilakukan orang setiap hari bukanlah keputusan sungguhan melainkan
kebiasaan”. Seperti pepatah lama, “alah bisa karena biasa”. Karena itu, kondisi darurat ini
harus menjadi momentum pembelajaran tentang efektivitas dari fleksibilitas
kerja dan belajar. Tentu ini penting, jika kampus benar-benar ingin
bertransformasi dari metode konvensional ke metode yang lebih moderen. Dari model klasik yang kaku, monotan,
dan membosankan ke model yang lebih efektif, menarik, dan fleksibel. Kampus dituntut untuk
memberi contoh bagaimana harus beradaptasi dengan perubahan.
Misalnya, dengan
melakukan perubahan pada sistem promosi kampus yang memanfaatkan berbagai media
daring baik melalui website resmi, media sosial, dan sebagainya. Sistem pendaftaran
pun harus disesuaikan. Birokrasi yang berbelit-belit sudah saatnya dipangkas
dan diubah dengan sistem yang lebih sederhana yang dikemas secara online. Cara daftar yang ribet dan
panjang akan menyebabkan mahasiswa baru mengalami kesulitan, ditambah dengan
kondisi masyarakat NTT yang sebagiannya masih gagap teknologi. Tak hanya cara
daftar, sistem ujian masuk dan pembayaran SPP juga harus dilakukan secara online.
Di tengah
ketidakpastian kapan berakhirnya covid-19 ini, pihak kampus harus segera
mengambil langkah dalam mengatasi keterlambatan penerimaan mahasiswa baru. Kondisi
kita memang sedang sulit, namun penerimaan mahasiswa baru harus tetap dilakukan
demi keberlanjutan kehidupan kampus dan pendidikan pada umumnya. Karena itu,
peran aktif mahasiswa baru untuk mengakses informasi menjadi sangat penting.
Dan dibutuhkan kepedulian dari lingkungan sosial, baik dari keluarga,
teman-teman, tetangga, maupun kenalan, agar membantu mahasiswa baru dalam usaha
mendaftarkkan diri di perguruan tinggi yang diminatinya.
Kepekaan sosial
menjadi modal bersama dalam menghadapi badai ini. Biarlah covid-19 mengubah
tatanan sosial masyarakat, namun kemanusian manusia harus tetap hidup dan
membumi. Badai covid-19 diharapkan menjadi pelajaran berharga untuk
semua pihak khususnya dunia pendidikan. Dan diharapkan akan menjadi angin segar
bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di NTT, serta
pemerataan pembangunan dan SDM di seluruh wilayah.
Selain itu, agar tak disebut sebagai
pabrik ijazah belaka, kampus harus memberi kontribusi nyata terutama dalam
bidang inovasi. Kampus tidak hanya sebagai wadah
untuk mendidik, tetapi juga melahirkan inovasi-inovasi baru yang berguna bagi
kehidupan masyarakat umum. Dalam bidang kesehatan seperti saat ini misalnya,
masyarakat NTT tentu menantikan terobosan-terobosan terbaru sebagai hasil temuan
kampus dalam mengatasi pandemi covid-19.
0 Comments