SUDAHLAH ...
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
Jurnalis Media Pendidikan
Cakrawala NTT
Di awal Juni 2020 ini, duniaku
perlahan berputar menuju ke barat. Tempat sang senja melabuhkan setiap mimpi
dan harapan. Angin di bulan ini masih seperti dulu. Bergerak sesukanya dan apa
adanya. Namun tidak untuk hatiku. Langkahku seakan berhenti di titik zero.
Hampa dan tak berarti. Tiba-tiba air mataku jatuh. Membayangkan semua yang bakal
terjadi. Dalam diamku, ada nama Tuhan yang kusebut dan kupanggil setengah
merintih. Apakah mimpi-mimpiku harus berakhir di titik ini? Ke manakah bara api
yang pernah bernyala dan membakar jantung semesta? Apakah sang Cakrawala harus
kehilangan cahaya dan daya pikat untuk merawat optimisme anak negeri, generasi
emas punyanya NTT?
Di seputaran pemancar, cabang
Tilong-Kabupaten Kupang saya bernyawa. Memeluk erat hati dan asa dari dua sosok
perempuan. Istriku Mathilda dan dan putriku Charista. Sebidang tanah berukuran
25 X 50 meter telah menjadi saksi atas seluruh hidup dam mimpi-mimpiku. Ada
beberapa jenis bunga, papaya california dan terung ungu yang harus selalu
disiram. Sementara itu, di sudut barat belakang rumah sebuah kandang ayam
berdiri tidak sempurna. Tiga ekor pejantan di dalamnya setia menjalankan peran
ganda sebagai pejantan untuk lima ekor betina lainnya sekaligus bertugas
membangunkanku di pagi hari. Saya sudah terbiasa menyisakan sebagian makananku
untuk si black, anjing mungil kesayangan putriku Charista. Jika malam telah
tiba saat putriku terlelap, saya selalu setiap menghabiskan waktu mendengar
alunan instrumen alam sambil membaca buku dari macam jenis judul. Begitulah
caraku membunuh bosan dan jenuh yang perlahan menggerogoti hati dan pikiranku.
Apakah seluruh hidupku berakhir
di sebidang tanah berkuran 25 x 50 meter ini? Haruskah mimpi-mimpiku berakhir
pada tagar, stay at home? Ada cerita dalam humor jika covid 19 ini bukanlah
sejenis virus tetapi hanyalah sejenis bakteri. Caranya sederhana. Diakrabi
saja. Tidak harus diperangi. Sudahlah. Ada rumor yang beredar kalau virus
(bakteri) corona itu memang sengaja diciptakan. Terserahlah. Mungkin karena
alasan itu, kita harus bersiap menuju fase new normal (kenormalan baru). Sebuah
situasi dan kondisi yang masih harus dikendalikan dan diawasi. Diijinkan untuk
keluar rumah dan beraktifitas seperti sebelumnya asal tetap mematuhi arahan
dari pemerintah seperti mengunakan masker, cuci tangan, menjaga jarak dan
mengantongi hasil rapit test/swab test untuk mereka yang melakukan perjalanan
jauh. Pihak Bandar udara dan PELNI tentunya tidak mau ambil resiko. Calon
penumpang adalah mereka yang dipastikan sehat secara medis.
Sahabat baikku memberi kabar. Ia
memintaku untuk melengkapi berkas seperti profil diri, praktik baik dalam
narasi, foto dan video dan beberapa bukti publikasi media terhadap kegiatan
yang dijalankan serta praktik baik yang telah dilakukan selama masa pandemi
corona. Ditanya, untuk apakah semua berkas dan dokumen itu? “Kamu dinilai
pantas menerima “Apresiasi Prestasi Pancasila Tahun 2020” dari Badan Pembina
Ideologi Pancasila Republik Indonesia. Jujur, saya ragu. Apakah saya memang
pantas untuk menerimanya. Ataukah ada yang lebih layak untuk penghargaan
sebesar itu? Lagi pula, secara pribadi saya belum merasa berbuat banyak. Bahwa
ada pengakuan dari pihak lain termasuk beberapa media lokal dan nasional
tentang seluruh sepak terjangku di bidang literasi, tetapi itu tidak berarti
saya pantas menerima apresiasi itu. Untuk memenuhi rasa hormat dan terima kasih
pada sahabat baikku, saya meng-iyakan saja tawarannya. Apakah saya harus
melengkapi dokumen yang harus dilengkapi, justru di situ soalnya. Saya belum
berniat melengkapi dan mengirim dokumen yang diminta itu walaupun bisa
dilengkapi.
Saat ini, saya ingin tenang.
Menikmati segala situasi termasuk rasa bosan dan jenuh yang perlahan
menggerogoti jiwa. Jika waktunya tiba, saya ingin berlari mengejar waktu yang
tersisa. Ada beberapa alur cerita perjuangan yang sudah kurancang. Mungkin saya
harus menata lagi seluruh mimpi-mimpiku dan mengejarnya dari sisi yang lain.
Benar. Saya harus berani membanting stir dan mencari titik temu demi
mimpi-mimpiku itu. Pandemi covid 19 bukanlah alasanku untuk selalu berjalan di
tempat. Tidak. Covid 19 mengajakku untuk berlari lebih cepat. Ada kreatifitas
dan inovasi yang harus dikristalkan dalam cara yang lebih konkrit dan rasional.
………………………………………………………….
Charista, putriku memberi kabar.
Katanya, ada dua butir telur di kandang ayam. Ia memintaku mengambil sebutir
untuknya. Di usianya yang beranjak empat tahun, ada banyak hal yang membuatnya
kagum dan heran dalam bingung. Ia selalu bertanya dan sesekali memaksaku untuk
menjawab sesuai yang dipikirkannya. Tidak terasa. Saya sedang bertindak sebagai
ayah, guru dan sahabat untuknya. Ia selalu menjerit jika gerbang pondokku itu
berbunyi dan melihatku pergi tanpa memberitahunya. Adakah ia mengerti tentang
situasi yang kualami saat ini? Saya pastikan tidak. Bukan karena usianya masih
kecil tetapi memang karena situasi ini sulit dimengerti temasuk oleh orang
dewasa sepertiku.
Handphon-ku berdering. Saudara
sulungku menelpon. Katanya, bapa dan mama dari kampung ingin berbicara penting.
Hatiku bergetar. Tidak biasanya mereka berbicara hal-hal penting melalui
telphon. Pasti ada informasi atau kejadian penting untuk saya ketahui. Mama
langsung menanyakan keadaanku. Katanya, ia bermimpi saya sakit. “Dua malam
terakhir, saya sulit tidur memikirkanmu. Saya resah dan gelisah. Syukurlah,
kamu baik-baik saja. Sampaikan salam untuk anak Thilde dan cucuku. Kami baru
habis panen. Saya menyesal tidak bisa mengirim sedikit beras untuk kalian. Yah
… sekiranya saja transportasi lancar, saya pasti saya sudah mengirim beras
merah kesukaanmu itu”. Kini, gantian bapa yang berbicara. Di usia 75 tahun ini,
ia banyak mengeluh. Bukan tentang situasi pandemi covid 19 ini atau kurangnya
hasil panen tahun ini. Ia mengeluh tentang pinggangnya yang selalu nyeri dan
membuatnya tidak bekerja maksimal seperti dulu. Begitulah bapa. Selalu
mengakhiri pembicaraan dalam nada memohon dan memaksa untuknya mengendong cucu
lagi.
Warna senja di awal Juni 2020
ini menjadi beragam dan membuatku kehilangan kata dan nada. Ada bibit bunga
matahari yang sudah tumbuh dan harus segera dipindahkan untuk ditanam di sudut
halaman sisi kanan pondokku. Thilde istriku bercerita tentang teman gurunya
yang resah. Anehnya, bukan tentang honor atau tunjangan sertifikasi yang belum
terbayar. Bukan juga tentang sulitnya mencari rumah atau mendapatkan siswa
untuk mengikuti ujian di rumah. Mereka resah tentang Lippo Plasa dan Hipermart
yang sedikit dikunjungi orang. Ada barang yang didiskon besar-besaran dan ia
ingin membelinya. Tetapi sayang, uang tidak cukup. Ada kebutuhan dalam keluarga
yang jauh lebih penting. Untuk pertama kalinya di beberapa minggu ini, saya
tersenyum lalu tertawa.
Beberapa orang guru juga
menelphon dan bercerita lalu memohon. Memintaku untuk menerbitkan jurnal
untuknya agar bisa diusul untuk kenaikan pangkat. Ia tertawa dalam ragu saat
saya memberikan alamat email dan memintanya untuk segera mengirimkan file tulisannya.
Kami tertawa bersama, ketika mengetahui kalau ia memintaku untuk menulis dan
menerbitkan jurnal itu untuknya. Di akhir obrolan, bersama kami berharap agar
covid 19 ini segera berakhir. Kami ingin seperti sebelumnya. Belajar bersama
khususnya dalam hal menulis karya ilmiah.
Sudahlah. Biarlah semuanya
mengalir. Hidup adalah seni untuk meramu dan menikmati termasuk beragam situasi
dan kenyataan yang sulit dimengerti dan diprediksi. Ada senyum dan tawa yang
tidak seharusnya hilang begitu saja. Sebidang tanah berukuran sedang ini,
terasa cukup untuk sesaat merebahkan seluruh hidup dan mimpi-mimpiku. Bersabar
dan berharap, pandemi covid 19 ini segera berakhir. Selamat memasuki masa
kenormalan baru. Tetaplah menjaga hati, pikiran dan sikap, sebab situasi hidup
kita belum sepenuhnya normal.
Salam Cakrawala, salam Literasi
…
0 Comments