Dwi Purwestri S. Suwarningsih, S.Psi., M.Ed. Alumni Victoria University of Wellington-New Zealand |
Masih di masa pandemik Covid-19, melalui berita online dan sosial media di NTT pada 26 Mei 2020, diberitakan telah terjadi kesepakatan dalam rapat koordinasi gubernur dengan para bupati, serta wali Kota se-NTT. Singkatnya sebagai berikut: (1) semua jenjang pendidikan SD–SMA di seluruh NTT tetap belajar dari rumah, KBM di sekolah baru akan dimulai pada Juli 2020; (2) aktivitas pemerintahan di NTT baru dibuka pada 15 Juni 2020; (3) semua daerah harus siap menerima kedatangan 5.000an Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT; dan (4) segera membuka kembali daerah yang melakukan penutupan arus keluar dan masuk bagi orang dan barang.
Dalam tulisan ini, saya ingin membahas poin no. 1 yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Menurut saya, kesepakatan ini sudah tepat untuk membuat siswa tetap belajar di rumah. Mengapa demikian? Sebab ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah jika ingin membuka kembali sekolah-sekolah di NTT, khususnya pada masa sebelum Covid-19 merebak. Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah sekolah-sekolah kita punya kemampuan untuk mengurangi risiko penularan virus Covid-19? Kemampuan di sini bermakna beberapa hal, diantaranya adalah ketersediaan sabun dan air bersih yang mengalir untuk cuci tangan di sekolah atau bahkan di masing-masing kelas, kemampuan untuk menerapkan pembatasan fisik atau jaga jarak (physical distancing), dan pertimbangan transportasi dari rumah ke sekolah.
Mari kita bahas satu persatu beberapa pertimbangan di atas. Pertama, apakah pemerintah yakin bahwa semua sekolah sanggup menyediakan sabun cuci tangan serta air bersih yang mengalir di sekolah? Sarana cuci tangan dapat disiasati dengan penyediaan fasilitas cuci tangan portable yang mudah dibeli atau bisa dibuat sendiri. Namun, seperti kita sama-sama ketahui bahwa ketersediaan air bersih pada beberapa wilayah di NTT masih menjadi sebuah PR besar, termasuk ketersediaan air bersih di lingkungan sekolah. Kedua, apakah pemerintah yakin bahwa pihak yang punya kewenangan di sekolah dapat memastikan para guru dan siswa mampu menerapkan sistem jaga jarak? Bangku sekolah yang biasanya diisi dua orang siswa, harus diisi oleh satu orang siswa saja. Hal ini menyebabkan kebutuhan ruang kelas semakin meningkat. Dapat dibayangkan sekolah-sekolah yang ruangan saja terkadang sangat terbatas, kini harus menyediakan ruanganan kelas dua kali lipat. Namun demikian, hal ini dapat disiasati dengan sistem kelas pagi dan kelas siang. Konsekuensi dari penerapan sistem ini, membuat beban kerja guru menjadi dua kali lipat atau bekerja dalam dua shift. Apakah para guru bersedia bekerja dobel ketika tidak ada kepastian gaji mereka juga akan dobel? Ketiga, terkait transportasi yang digunakan siswa/i dari rumah ke sekolah. Di Kota Kupang, sebagian besar siswa sekolah menengah berangkat ke sekolah dengan menaiki transportasi umum (bemo). Memikirkan para siswa ini berdesak-desakan di dalam bemo, tentu saja akan menimbulkan kekhawatiran dari kita semua bahwa proses penularan virus dapat terjadi di dalam angkutan umum ini. Jika orangtua dapat bekerjasama dengan cara mengantar jemput siswa saat pulang dan pergi ke sekolah, tentu akan dapat menjawab kekhawatiran ini, namun tidak ada jaminan semua orangtua memiliki kendaraan pribadi.
Tiga persoalan di atas harus menjadi
pertimbangan penting pemerintah jika ingin membuka kembali sekolah-sekolah saat
pandemik Covid-19 ini masih terjadi. Tentu saja, masih banyak pertimbangan
lainnya yang menyertai kesepakatan bersama gubernur, bupati, dan walikota yang
perlu diperhatikan. Di sisi lain, ketika siswa harus tinggal di rumah dan
otomatis juga belajar di rumah, tidak pula luput dari beberapa kendala.
Pertama, sistem belajar secara daring menyulitkan siswa yang tidak memiliki
sarana (tidak punya mobile phone/smart phone, tidak mampu membeli paket data,
mencari signal internet harus naik ke atas bukit, dan lain sebagainya). Sehingga proses penerimaan tugas dan
pengumpulan tugas menjadi terkendala. Kedua, sistem belajar di sekolah akan
lain dengan belajar di rumah. Dengan fleksibilitas belajar dari rumah
berdasarkan Surat Edaran Mendikbud No. 4 tahun 2020, membuat ketercapaian hasil
belajar dari rumah tidak akan sama dengan hasil belajar di sekolah. Hal ini
menyisakan Tanya, apakah standar ketercapaian hasil belajar siswa dapat
terpenuhi pada tahun ini? Ketiga, orang tua tidak memiliki keterampilan
mengajar seperti layaknya guru di sekolah yang (idealnya) mempunyai latar
belakang pendidikan guru. Orang tua siswa tidak mengerti akan metode
pengajaran, tidak mengerti kurikulum, dan tidak paham standar kompetensi siswa
dalam sebuah mata pelajaran, kecuali jika para orangtua ini dibekali dengan
informasi-informasi tersebut (metode, kurikulum, dan kompetensi yang akan
dicapai).
Belajar di rumah ataupun di sekolah pada masa Covid-19 ini, memiliki tantangannya masing-masing. Masa pandemi ini merupakan masa yang tidak mudah bagi semua orang, termasuk tidak mudah bagi pemerintah dalam mengelola bencana ini. Jika saatnya tiba untuk pemerintah mengumumkan siswa kembali bersekolah, kita harapkan pemerintah sudah siap dengan risiko-risikonya, serta memiliki rencana pengurangan risiko yang mungkin saja timbul.
0 Comments