PERGILAH KE PASAR OESAPA, TIDAK
PERLU KULIAH (EKONOMI)
(Menggugat Peran Perguruan Tinggi di NTT )
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil.
Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT
Hari masih pagi. Di pelipit bukit
cabang Tilong, Kabupaten Kupang ini, angin bertiup kencang. Gesekan daun lontar
berhasil menciptakan nada-nada resah dan gelisah. Adakah sebentar lagi hari
akan hujan ataukah pertanda awal musim panas yang menyengat? Saya adalah yang
selalu ingin setia membaca bahasa alam. Tiba-tiba, istriku mengajak ke pasar
walau Ia tahu, saya “trauma” menemaninya berbelanja di pasar itu. Bukan karena
hiruk pikuknya manusia atau suasana pasar yang padat berdesakan. Bukan. Tapi
cara ia (istriku) berbelanja. Menawar tomat seharga Rp. 5.000/kumpul, harus
menelan waktu hingga tujuh menit. Jika harga tidak cocok, saya akan dibawanya
pergi jauh ke sudut pasar. Ia tahu, ada seseorang di sana yang juga menjual
tomat. Perbedaan harganya hanya lima ratus rupiah. Tapi untuk ke sana, kita
harus berdesakan dengan yang lain dan menjaga langkah agar tidak menginjak
barang jualan lain. Begitulah ceritanya, hingga saya merasa “tidak profesional”
untuk berbelanja di pasar.
Entah mengapa, pagi ini saya mengiyakan
ajakannya. Saya tidak tahu, apakah ia atau saya yang menemui hari baik. Ada
sedikit suasana romantis di atas punggung motor ketika ia memelukku erat. Saya
pastikan bukan karena angin yang bertiup kencang dan ia takut terhempas. Ia
sedang merindukan dan mendambakan suasana begini. Pergi ke pasar berdua seperti
beberapa tahun silam waktu kami menikmati masa pacaran. Dugaanku benar. Ia
bakal menarik tanganku ke sana ke mari. Di pasar ini tidak ada yang berubah
kecuali untuk satu hal. Mayoritas pedagang tidak menggunakan masker. Kalau ada
yang pakai, tetapi tidak untuk menutup mulut dan hidung tetapi menutup dagu. Di
sini, segala bentuk anjuran dan protokol kesehatan dari pemerintah tentang
bahaya Covid-19 tidak berlaku.
Namun, ada sebuah fakta menarik.
Sebagian besar dari jumlah pedagang di pasar ini adalah ibu-ibu berusia lanjut.
Lebih dari 50 tahun. Mereka dipastikan belum pernah mengenyam pendidikan
sarjana, diploma, bahkan ada yang belum sempat mengenyam pendidikan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Ibu-ibu memang
diakui sebagai sosok yang setia dan sabar. Setia untuk menunggu dan memiliki
keterampilan alamiah untuk “merayu” dan menyakinkan calon pembeli untuk membeli
barang yang dijualnya. Sebut saja tomat. Ia tidak langsung mengatakan tomat itu
baik dan masih segar. Ia akan cerita kalau tomat itu diangkut tadi pagi dari
pelosok desa. Imajinasi calon pembeli berjalan. Itu berarti tomat ini masih
segar, alami, dan tidak tersentuh dengan bahan kimia.
Begitulah yang terjadi. Pertanyaan
tersisa, di manakah anak muda NTT yang baru atau sudah menyelesaikan pendidikan
pada Jurusan Ekonomi?, misalnya. Jika bukan di pasar ini, di manakah mereka
bekerja? Di balik meja sebagai staf pada kantor pemerintahan dan swasta? Atau,
justru sedang nyaman berada di bawah ketiak orang tua sebagai pengangguran
terdidik? Entahlah. Satu hal yang pasti, jika berbicara tentang NTT bangkit dan
sejahtera maka harus melihat sejauh mana peranan anak muda di dalamnya. Saya
berbangga hati dengan komentar sekelompok anak muda. Katanya, mereka sedang
menyibukkan diri di pasar online. Ada banyak produk kecantikan terjual dan
mendapat keuntungan besar dari sebuah HP android. Ia berbaring manja tetapi
sebenarnya ia sedang berjualan. Menarik. Tomat itu dibeli bukan dengan cara ke
pasar. Tomat itu dipesan secara online maka dalam hitungan menit, seseorang
akan datang mengetuk pintu dapur dan melakukan transaksi jual-beli.
Jika demikian ceritanya, mengapa
harus menghabiskan waktu untuk kuliah? Atau kuliah itu untuk apa? Selembar
kertas ijasah? Nama besar keluarga? Atau kuliah itu sebagai jalan untuk mampu
menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan banyak uang? Begini. Hidup itu
adalah tentang bagaimana kita mampu meramu segala yang ada sesuai dengan cara
kita ada dan hidup. Misalnya, kamu kuliah dengan motivasi mengubah garis nasib
keluarga yang sederhana. Pihak orang tua menjual sapi untuk biaya kuliah dengan
total pengeluaran sejak masuk pertama hingga wisuda sebesar, Rp. 60.000.000,00.
Biaya ini tidak termasuk uang wisuda dan biaya pesta syukurannya. Padahal kalau
mau efektif dan sedikit rasional, uang itu kamu pakai untuk berbisnis tomat.
Caraya, pergi ke pasar dan berceritalah dengan ibu-ibu yang tidak sempat kuliah
itu. Keuntunganmu pasti lebih besar karena modal usahamu besar. Jika
keuntungannya besar, maka kamu bisa pekerjakan beberapa orang ibu lainnya yang
tidak sempat sekolah dan saatnya kamu kuliah. Toh, uangmu sudah banyak dan
sekarang kamu hanya butuh selembar ijasah. Dari pada kamu kuliah, sudah
habiskan banyak uang dan waktu bertahun-tahun jika pada akhirnya hanya untuk
menganggur dan membebankan orang tua juga negara.
Jika kamu seorang idealis bakal kamu
marah dengan tulisan ini. Tetapi kalau kamu adalah seorang yang rasional dan
realistis, maka kamu bakal bersyukur. Fakta berbicara. Angka pengangguran terdidik
mencapai angka 6,8 jiwa. Logikanya jelas. Perguruan Tinggi tidak menjamin
kemudahan mendapatkan pekerjaan. Penganggur terdidik justru meningkat. Lulusan
sekolah rendah malah cepat mendapatkan pekerjaan. Lapangan pekerjaan untuk kaum
terdidik meluas, tetapi banyak yang tak mampu memenuhi persyaratan kerja (https://www.beritasatu.com/nasional/553406-penganggur-terdidik-meningkat).
Saya banyak bercerita dengan calon
guru dan dosen. Kepada si calon guru yang kebetulan adalah keponakan, saya
bertanya, “motivasi apa yang membuat kamu memilih fakultas keguruan?” jawabanya
singkat dan pasti. “Untuk mengajar peserta didik”. Tidak ada alternatif jawaban,
semisal untuk belajar dan mengajar (KBM). Logika ini yang nantinya, ketika
menjadi guru (dosen), dia merasa sebagai yang paling tahu. Sumber segala ilmu.
Maka tidak heran jika metode mengajarnya, masih menggunakan gaya ceramah. Dia
marah jika siswa (mahasiswa) tampak acuh tak acuh dan menanyakan sesuatu di
luar kemampuannya menjawab. Kepada seorang dosen, saya bertanya. Apa yang
membuatmu masih merasa bangga dari profesimu sebagai dosen ketika mengetahui
alumni (mantan mahasiswamu) masuk kelompok pengangguran terdidik? Sebagian
besar mereka (dosen) tidak berani langsung menjawab. Beberapa orang sempat
protes dan bertanya balik. “Menurut kamu, bagaimana?” atau “kenapa harus tanya
begitu?” padahal saya merindukan ia menjawab jujur. Misalnya, itulah dosa kami.
Mengutamakan nilai ketimbang menuntun mereka untuk mampu berpikir sendiri
sehingga nantinya bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.
Ada apa dengan Perguruan Tinggi (PT)
kita? Jika mau jujur, ada yang mis dari keberadaan PT kita. Saat ini, saya
disibukkan oleh keponakan saya yang mau kuliah. Katanya mau masuk Teknik Sipil.
Setelah ditanya tentang motivasi atau target dari pemilihan jurusan ini, ia
menjawab hanya ikut teman dan ingin masuk pegawai negeri. Sebagai keluarga
dekat saya menayakan dan memintanya untuk jujur. Hobimu apa saat ini? Ia belum
sempat menjawab ketika dari balik gagang telepon saya mendengar mamanya
mengerutu, kalau dia (keponaan) ini selalu bangun kesiangan dan habiskan waktu
dengan laptop. Perlahan akhirnya saya sadar kalau ia punya minat besar di
barang ini. Ia sangat bergembira karena saya tawarkan untuk masuk Jurusan
Teknik Komputer (IT). Akhirnya ia pun jujur bahwa Teknik Sipil itu hanyalah imanjinasi
dari bapaknya untuk ia wujudkan.
……………………………………………………..
Perguruan Tinggi adalah sebuah
institusi ilmiah yang memang layak dituntut pertanggungjawabannya atas
banyaknya pengangguran terdidik di negara ini termasuk di NTT. Tidak perlu
mengelak bahwa Perguruan Tinggi itu hanya mencetak ijasah. Bukan seorang sarjana
yang profesional di bidangnya. Perkara ia bekerja atau nganggur adalah dosa
pribadi dan dosa pemerintah yang bertugas menyiapkan lapangan kerja. Hemat
saya, itu tidak sehat. Mari kita sederhanakan. Kalau ada mahasiswa yang dinilai
lemah dari sisi IPK dan berkarakter mengarah pada pribadi berkebutuhan khusus,
maka sebaiknya ia diarahkan untuk pindah jurusan. Misalnya ada mahasiswa di
fakultas keguruan Jurusan Bimbingan Konseling (BK), lebih banyak absen, suka
membuat keributan, dan sebagainya, maka kembalikan ia pada tempatnya atau ke
habitatnya. Ia tidak bisa menjadi calon guru BK. Itu seperti cerita, orang buta
menuntun orang buta.
Walau demikian, saya memberi
apresiasi kepada Perguruan Tinggi yang sudah bekerja maksimal untuk menyiapkan
generasi NTT ke dunia kerja dan bekerja sama lintas sector, baik dalam negeri
maupun luar negeri. Begitulah seharusnya. Bukan Perguruan Tinggi yang lebih
mengutamakan uang kuliah atau registrasi mahasiswa, sementara dosennya
menyibukkan diri bekerja di luar kampus dan meninggalkan sebuah diktat yang
harus dibeli oleh mahasiswa sebagai syarat untuk mendapatkan nilai. Selain itu,
pihak yayasan harus tegas. Dosen “nakal” harus dipecat. Misalnya, “berpacaran/selingkuh”
untuk diberi nilai mata kuliah. Jika tidak, dia (mahasiswi) bakal tua di
kampus. Pointnya, pihak Perguruan Tinggi harus bertanggung jawab dan
membubarkan diri jika kemudian tidak berguna dalam mencetak generasi yang
mandiri dan berkarakter. Satu hal lagi. Jangan kibuli masyarakat kalau kampus
itu berkualitas hanya karena menempati akreditasi A atau B. Apa itu akreditasi?
Sesuai fakta yang ada di kampus atau hasil “main mata” dengan tim akreditasi?
Maksud saya, mulailah jujur, baik secara pribadi sebagai dosen maupun secara
institusi sebagai sebuah Perguruan Tinggi. Stop tipu-tipu.
Salam Cakrawala, salam literasi.
0 Comments