Gusty Rikarno, S.Fil Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT |
Sebuah video
berdurasi hampir lima menit beredar luas. Jiwa-jiwa muda dibawah payung wadah
PMKRI berteriak dalam kata yang terdengar jelas. “Gubernur Pengecut. Gubernur
Penakut”. Sementara itu, pihak kepolisian tampak “kewalahan” membuka jalan
untuk rombongan Gubernur, Viktor Buntilu Laiskodat. Mereka berteriak di sudut
jalan biasa tetapi penuh makna. Yah, di tingkungan halus, menuju bibir jembatan
Gongger yang berada di ujung timur wilayah Kecamatan Reok-Kabupaten Manggarai. Di
sini, pilar perbatasan wilayah Manggarai dan Manggarai Timur berdiri tegak.
Jembatan dengan panjang puluhan meter itu adalah pilarnya.
Bibir barat jembatan
ini tetap seperti dulu. Dia adalah saksi nyata ada setiap narasi dan aksi. Di
beberapa tahun silam, kendaraan tambang mangan Lengko Lolok selalu melintas
dengan bebas tanpa hambatan sedikitpun. Saya adalah saksi hidupnya. Menikmati
pendidikan di SMPN 1 Reok saat itu, tidak ada yang paling membanggakan selain
menumpangi kendaraan raksasa itu. Belum lagi para pegawai tambang yang
kelihatan sangat professional dengan topi sepatu dan baju kuningnya. Benar.
Sepatu yang dikenakan para sopir truck mangan ini, lain dari yang lain. Jika
kemudian kamu bernasib baik saat mencari kayu api, kamu bakal dipanggil tukang
masak proyek dan memberikan sebutir telur ayam ras asal membantunya mencuci
piring para pegawai tambang. Makanya saya “bergairah” saat menonton film Laskar
Pelangi untuk pertama kalinya di kelas terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Saat malam tiba, kadang kita terbangun dalam takut saat mendengar dentuman
dinamik dari area pertambangan.
Hari ini, jiwa-jiwa
muda itu berteriak lantang. Berharap sang pemimpin berhenti. Keluar dari mobil,
menurunkan topi, berjabat tangan dan mengangguk setuju saat mereka berorasi. Humornya justru di situ. Harapan itu tidak
sesuai kenyataan. Mereka diabaikan oleh pemimpinnya sendiri. Anggap saja mereka
tidak ada dan suara mereka hanyalah bagian dari dentuman dinamik mangan
beberapa tahun silam. Biasa saja. Ada hati yang teriris di tempat ini? Itu pasti.
Ada suara yang tidak berhasil menjadi kata. Apakah benar Gubernur takut? Hanya
kali Gongger itu yang tahu.
Nikmati perlahan.
Perhatikan saja dan dapatkan sisi humornya. Begitulah seharusnya di saat pandmei
begini. Harus ada yang rela untuk hadir sebagai “pencipta humor”. Imun tubuh
harus stabil dengan menikmati berbagai jenis humor. Kali ini, humor ini
berkelas. Ciptaan Yang Mulia Uskup Ruteng dan Gubernur NTT. Bapa Uskup mungkin
tidak pernah menduga jika cincin uskup yang
melingkar pada jari tangannya dicium oleh seorang Viktor Bungtilu Laiskodat. Tidak
ada teriakan apalagi sebutan penakut dan pengecut. Yang ada adalah tepukan
tangan yang membahana saat Viktor memperagakan bahasa tubuh yang tidak lazim
dibuat untuk ribuan bahkan jutaan manusia yang pernah dijumpainya. Jika selama
ini, pada staf atau masyarakat membungkuk dan mencium tangannya (Viktor), kali
ini ia bersikap sebaliknya. Kamu tahu? Itu biasa. Saya sangat yakin, hal yang sama
pasti akan dibuat Bapa Uskup Sipri Hormat jika kemudian bertemu Bapa Paus di
Roma. Pasti ia membungkuk bahkan berlutut untuk mencium tangan Bapa Paus.
Dengan demikian,
tidak ada yang spesial dari gerakan spontan seorang Viktor. Toh, adagium tua
selalu terngiang jelas, “di atas langit masih ada langit”. Tidak ada yang baru
tentunya. Semuanya itu bagian dari kenormalan lama. Bukan kenormalan baru. Jika
demikian, pada sisi mana kita melihat ini sebagai sebuah humor yang menenangkan
hati dan pikiran? Hemat saya, ada apa interpretasi yang meletup spontan dari
pikiran publik. Ada sebuah pesan yang istimewa. Uskup Ruteng dan Gubernur NTT
sebagai pemimpin pemerintah dan gereja lokal dalam wilayah Manggarai Raya
berhasil menujukkan kelasnya sebagai pemimpin yang patut diteladani dan
dibanggakan. Mereka berhasil membuat masyarakat (umat) tersenyum. Dua dan
membicarakan persoalan masyarakat (umat) dari hati ke hati. Humor yang
berbobot.
Menarik. Gubernur
dan Uskup Ruteng memiliki arah pandang yang sama walau dasar pijak berbeda. Keduanya
ingin masyarakat NTT bangkit dan sejahtera. Gubernur melihat soal peluang peningkatan
PAD dan penyerapan tenaga kerja sementara uskup melihat dari sisi kelestarian
lingkungan hidup yang berkelanjutan. Gubernur merujuk pada regulasi tentang
sebuah pembangunan yeng terukur dan tercatat sementara Uskup Ruteng melihat
kehidupan itu sebagai perjalanan panjang dari pembuangan Babel menuju Kanaan. Pembangunan
yang utuh dan menyeluruh butuh proses (waktu). Tidak mau menampilkan kesan
tergesa-gesa.
Lalu di mana posis
kita. Mari geser sedikit dan melihat persoalan ini lebih dekat. Di desa Satar
Punda, kecamatan Lambaleda-Manngarai Timur, tepatnya di kampong Luwuk dan
Lingko Lolok, masyarakat terpecah dalam dua pandangan ekstrim. Satu kelompok
menerima tambang dan pabrik semen dan di kelompok lain justru menolak. Semuanya
adalah umat Katolik yang tentunya berada dalam rangkulan kasih Uskup Ruteng. Persoalannya,
Uskup Ruteng berada pada sikap yang tegas dan jelas. Menolak pertambangan. Nah,
humornya dapat ka? Ada umat yang merasa di anak tirikan. Mereka kecewa karena dinilai
sebagai anak-anak “nakal” yang kerasukan suara iblis. Tidak ada cara lain
selain mereka bertobat. Tolak tambang. Padahal mereka sudah menerima uang tahap
dua. Harga diri mereka dipertaruhkan jika kemudian mereka menolak tambang dan
pada saat yang sama mereka mengulurkan tangan menerima uang. Biar homornya
lenih renyah, maka kita bertanya. Mengapa mereka mau menerima uang? Mari kita
ngakak sebentar kalau sampai mereka jawab, kami lapar. Anak-anak kami butuh
biasa sekolah dan tidak ada lapangan kerja. Belum lagi beberapa tunggakan yang
harus kami bayar termasuk iuran gereja mandiri.
Di mulut muara air
tawar dan air laut bertemu. Tepatnya di bawah jembatan Gongger. Air laut yang
sejuk dan sehat untuk diminum dan ada air laut yang asin tetapi menghasilkan
garam agar enak dan tidak tawar. Begitulah hidup. Semuanya adalah rentetan
cerita humor kalau tidak mau disebut sandiwara. PMKRI itu perpanjangan tangan suara
profetis gereja. Gubernur Viktor mungkin merasa tidak perlu mendengar apalagi
menemui para pendemo itu. Untuk apa? Dia sudah bertemu Uskup Ruteng dan
membicarakan persoalan itu dari hati ke hati. Apakah ia pantas disebut apalagi
diteriaki sebagai gubernur pengecut dan penakut? Ah, humor macam apa ini?
Saya tidak tahu,
kata apa yang diucapkan Viktor saat itu. Tapi bibir jembatan Gongger itu tetap
setia menjadi saksi bagaimana Gubernur punyanya NTT itu menjelajahi pantai
utara Pulau Flores mulai dari Dampek, Pota, Riung, Mbay hingga akhirnya mungkin
tiba di Maumere. Ia meninggalkan tanah Manggarai yang masih menyimpan
persoalan. Seperti tabib terluka ia (gubernur) segera membalut luka-lukanya
karena masih ada (masyarakat) yang terluka dan harus disembuhkan. Ia tetap
sebagai gubernur. Bukan Pengecut apalagi penipu. Pekerjaaan belum apa-apa.
Sementara waktu terus berjalan. NTT sedang bangkit atau masih tertidur pulas dan
tidak sempat berdoa apalagi bekerja? Tidak heran jika kemudian Viktor berujar “Gubernur NTT akan mati kartunya jika gereja berbeda
dengan gubernur. Itu langsung pincang. Itu ibarat lari, langsung ligamen putus.
Jadi, kalau dengar bapak uskup sudah berbeda dengan gubernur, ligamen gubernur
putus. Itu jalan pun sudah setengah mati. Pakai tongkat sudah itu. Yang awalnya
dengan sprint tiba-tiba jalan pakai tongkat”.
Mari kita tertawa dan merarayakan kehidupan
ini. Hidup hanyalah sebatas cerita. Toh, masa kepemimpinan seorang Gubernur
hanya lima tahun dan bertambah lima tahun lagi kalau masyarakat masih percaya.
Pernah saya menulis “ketika gubernur Berperan Sebagai Sales”. Memang seharusnya
begitu. Gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Keputusaannya
adalah juga bagian dari keputusan pemerintah pusat. Tidak salah jika kemudian
Uskup Ruteng menyurati presiden tentang persoalan ini. Apakah itu ekspresi
kehilangan kepercayaan terhadap wakil pemerintah pusat di daerah yang adalah
seorang gubernur? Saya tidak tahu.
Begeserlah sedikit. Apa peran gereja
untuk membagun ekonomi umat? Pertanyaan ini datang dari berbagai arah angin.
Sudah pasti saya tidak memiliki banyak referensi apalagi legitimasi untuk
menjelaskan sebagai sebuah jawaban. Seperti seorang yang berada di kursi
belakang panggung teater, saya hanya biasa melihat dan menikmati sekian banyak adegan
humor yang dimainkan di atas panggung. Tugas saya hanya dua. Diam dan atau
tersenyum. Itu saja. Satu hal yang pasti, tugas gereja menjaga kehormanisan
Tuhan dan alam dan berusaha sedapat mungkin umatnya masuk Surga. Sementara itu,
tugas pemerintah adalah bertanggung jawab atas angka kemiskinan yang terus
meningkat dan memastikan masyarakat tetap menjadi manusia (masyarakat) yang
baik. Tidak perlu menjadi malaikat dan sebaiknya jangan mau menjadi setan.
Pertanyaan terakhir, untuk siapa Uskup
Ruteng dan Gubernur NTT berjuang? Untuk sebuah PAD dan besar cerita hebat
dikemudian hari tentang pernah hadir seorang pemimpin yang berhasil membawa NTT
keluar dari garis kemiskinan dan kebodohan. Atau untuk nilai sebuah suara
kenabian dari seorang gembala yang selalu siap menghardik serigala yang datang dan
mengacam kehidupan para dombanya? Atau untuk seorang yang lebih banyak diam dan
tersenyum menikmati setiap humor yang diperagakan oleh pemerintah dan gereja? Kapan
ia disebut sebagai umat (domba) yang dirangkul, dipeluk dan dimanjakan oleh
gembalanya? Atau masihkah ia memandang pemerintah hadir dan ikut
bertanggungjawab atas seluruh situasi yang dialaminya? Ataukah semua itu hanya
humor yang akan berakhir ketika jembatan Gongger itu runtuh?
Salam Cakrawala, Salam Literasi
1 Comments
Sangat bermakna...
ReplyDelete