Idul Fitri
mengandung makna kembali kepada kesucian. Kesucian batin dari dosa. Hal ini
akan diraih oleh mereka yang telah menunaikan berbagai kegiatan ibadah selama
bulan Ramadhan dengan baik, dan diterima oleh Allah sebagai amal yang makbul
dan mabrur.
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.
Berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW, amal-amal ibadah di bulan Ramadhan
seperti shaumnya, sholat tarawih, bersedekah, dan lain-lain, semua mendapat
jaminan ampunan. Bagi mereka yang tidak memanfaatkan kesempatan yang baik ini
dan melewatkannya begitu saja, akan menjadi sebuah kerugian baginya.
Ada sebuah peringatan dari Nabi SAW yang menyatakan
barangsiapa yang mengalami hidup di bulan Ramadhan tapi habis Ramadhan dosanya
tidak diampuni, maka jika ia mati, dijamin tempat kembalinya adalah
neraka. Ibadah di bulan Ramadhan juga mengandung nilai tarbiyyah. Nilai
pendidikan yang mendidik diri menjadi manusia yang zuhud, dalam arti hidup
tidak diperbudak oleh hawa nafsu dan dunia.
Menjadi manusia yang peka dan peduli terhadap kaum
dhuafa, menjadi manusia yang taat aturan dan disiplin. Suasana semarak Ramadhan
itu bisa kita saksikan dan rasakan di mana-mana. Di pusat perbelanjaan, di
gerbang tol, di perkantoran, televisi, dan sebagainya. Apalagi di masjid dan majelis
taklim.
Kaum ibu, termasuk kalangan artis dan selebritis
yang biasanya tampil seronok, tampil beda. Semuanya akan menjadi sangat berarti
jika beratsar pada perilaku hidup pasca Ramadhan. Sebab, dalam
realitas yang kita saksikan, tidak sedikit dari kalangan kita, yang begitu
datang Idul Fitri, secara isyraf (berlebihan) berpesta pora, berbuat tabdir,
kembali seronok dan pamer aurat, seolah nilai tarbiyyah selama Ramadhan itu tak
beratsar sama sekali.
Karena itu
wajar jika ada sindiran yang menyatakan busana yang dipakai mereka bukan busana
Muslimah tapi 'busana musiman', busana semusim Ramadhan saja. Makna Idul Fitri
pun bukan kembali suci dari dosa, tapi kembali melecehkan nilai-nilai agama.
Subhanallah!
Dalam suasana
Idul Fitri berbagai kegiatan dengan tema silaturahim untuk saling bersalaman
dan bermaafan digelar di mana-mana dalam berbagai skala. Hal itu rutin
dilakukan setiap Idul Fitri. Terkesan seakan silaturahim itu terbatas
dalam bentuk seremoni pasca-Idul Fitri saja. Seakan kesalahan atau dosa antarsesama
itu harus ditumpuk sampai satu tahun.
Silaturahim wajib
dilakukan sepanjang hayat. terutama dalam bentuk usaha memelihara dan menjaga
diri dan anggota keluarga agar tetap istiqamah dalam keimanan, keislaman, dan
amal saleh.
Kan'an putra
Nabi Nuh AS dinyatakan oleh Allah dalam QS Hud sebagai bukan keluarga Nabi Nuh
AS karena ia tidak beramal saleh. Silaturahimnya dengan sang ayah, Nabi Nuh AS,
menjadi putus karenanya. Sikap berani meminta maaf terhadap sesama
Muslim, merupakan karakteristik manusia beriman.
Bersalaman
atau berjabat tangan juga mempunyai nilai maghfirah. Nabi SAW menyatakan bila
dua orang Muslim bertemu dan bersalaman, maka Allah akan mengampuni dosa kedua
orang itu sebelum keduanya berpisah (HR Abu Daud). Hal ini pun tentu dengan catatan.
Pertama, jika
tidak terjadi pelanggaran di dalamnya. Sebagaimana diketahui dalam Islam ada
batasan antar laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim haram bersentuhan
kulit. Kedua, jika tangan bersalaman merupakan refleksi dari bersihnya hati
kedua orang itu dari kebencian, dendam dan hasud. Apalah artinya tangan
bersalaman jika hati dipenuhi dengan sikap dan perasaan tersebut. Tentu, di
saat pandemi corona saat ini, umat Muslim wajib memperhatikan protokol
kesehatan dengan menjaga jarak fisik.
Dalam sebuah hadits riwayat imam Muslim dijelaskan Allah memerintahkan
kepada malaikatnya untuk menangguhkan permohonan ampunan dari orang-orang yang
dihatinya menyimpan kebencian, dendam, dan hasud terhadap
saudaranya. Bulan Syawal bermakna peningkatan kebaikan yang dilakukan
selama Ramadhan. Suasana Idul Fitri akan menjadi semakin bermakna jika menjadi
akhlak dalam sisa hidup selanjutnya. Wallahu alam. (Shiddiq Aminullah/republika.co.id)
0 Comments