Ilustrasi (Gambar: mirifika.net) |
Lagi-lagi aku menangis
di kamarku. Aku mengingat kejadian tiga
tahun yang lalu. Saat
dimana kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan
yang selalu kuingat. Kecelakaan
yang telah merenggut nyawa keluargaku. Hanya
aku yang selamat. Kini aku sebatang kara.
Kejadian itu selalu melekat
di benakku, tersimpan dalam memori dukaku. Selalu
hadir ketika aku sendirian sambil menepi jagad tak menentu.
“Kenapa ini terjadi
padaku Tuhan?” kataku sambil menangis. “Kenapa Engkau tidak mengambil nyawaku
juga? Kenapa
Engkau masih membiarkan aku hidup,
Tuhan?” air mataku berderai membasahi bantal
yang kupeluk.
Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan
pintu. Entah
itu siapa, aku
tetap tidak peduli. Aku hanya terus menangis,mengingat kejadian waktu itu. Tak kusadari, aku terlelap dalam tidurku. Aku bermimpi bertemu dengan
keluargaku. Mereka
sedang bahagia dan tertawa di sana.
Sungguh aku merasa terpuruk.
“Nak, bangunlah.”
Aku mendengar suara
seorang wanita, tetapi
aku yakin jika aku
membuka mataku, aku akan pergi
dari alam mimpi. Kupastiakan ku akan sangat merindukan mereka.
Tapi, apa
boleh buat? Wanita itu terus membangunkanku. Sungguh, aku merasa enggan untuk bangun. Hanya saja aku
sudah terbangun dari tidurku. Dan akhirnya aku membuka mataku.
“Iya tanta, aku bangun,” kataku sambil mengucak mataku.
“Cepatlah mandi dan
segera turun ke bawah
untuk makan malam,” kata
tantaku dari balik pintu kamarku.
“Iya tanta, aku akan segera mandi.”
Selesai
mandi aku segera ke bawah untuk makan malam bersama
keluarga tantaku. Kadang aku merasa
asing bersama keluarga mereka. Tetapi tantaku selalu membuatku agar tidak merasa
terasingkan. Tantaku memiliki dua anak,
yang pertama sudah duduk di bangku SMA, sedangkan anak keduanya duduk
di bangku SMP , sama
sepertiku. Keluarga tantaku yang menyekolahkanku. Memberikanku tumpangan tempat
tinggal, memberiku
makan, dan
keperluan lainnya. Aku senang bisa tinggal bersama keluarga tantaku. Tetapi, tentunya seorang akan akan lebih bahagia
apabila bisa tinggal bersama orang tua kandungnya.
Setelah makan, aku pamit kepada tantaku dan
juga keluarganya. Aku segera ke kamar,
dan
mendengarkan lagu favoritku, Best Friend,
yang dibuat oleh Ikon. Kim Hanbin adalah vokalis kebanggaanku.
Selang beberapa menit, aku
memutuskan untuk belajar materi besok. Materi pelajaran yang menurutku paling
membosankan. Tetapi aku
belajar, dan
belajar. Hingga pada pukul
20.32 aku diperbolehkan bermain handphone.
Saat yang tepat untuk melepas kepenatan tetapi juga terkadang
membangunkan kenangan yang telah tertidur.
Aku melihat
kenangan-kenangan manis itu. Saat
dimana sebelum kecelakaan itu terjadi. Foto dimana saat aku masih berusia 9
tahun.Waktu aku yang masih sangat kecil.
Tak kusadari, air
mataku jatuh dan membasahi pipiku. Aku
pun
berkata dalam hatiku, “Ya
Tuhan, aku sangat merindukan keluarga
kandungku. Kapan aku bisa bertemu dengan mereka? Kapan aku bisa memeluk ayah, ibu, dan kakakku lagi? Kapan aku
bisa bersama sama lagi dengan mereka,
ya Tuhan?”.
Setelah aku merasa puas dengan tangis dalam diamku, aku memutuskan untuk tidur.
Tetap saja, aku
masih teringat tentang kejadian itu. Setelah beberapa lama, aku pun tertidur lelap.
“Nak, bangun. Cepat mandi dan sarapan.”
Kata-kata itu yang selalu
membangunkanku. Aku pun
segera menjawabnya
dan sgera pergi untuk mandi.
“Baik tanta.”
Keluar
dari kamar mandi, aku segera memakai
seragam sekolahku. Aku segera keluar dari kamarku dan pergi menuju meja makan.
Aku menyapa tantaku dan keluarganya. Aku segera menghabiskan sarapanku. Aku
berangkat ke sekolah
bersama kakak sepupuku, salah seorang anak
tantaku.
Aku segera ke sekolah dengan anak tantaku, dia bernama Vino. Vino selalu
baik padaku. Orangnya sangat ramah, sopan
,dan peduli. Di kelasku hanya
dia yang baik padaku. “Apa karena aku ini hanya numpang di rumah Vino sehingga
mereka menjauhiku? Apa karena aku tidak memiliki keluarga kandungku lagi?”. Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu
muncul di benakku ketika aku berada di sekolah. Tetapi Vino selalu menenangkanku dan memberikanku kekuatan. Ketika
teman temanku menjauhiku, aku
selalu berpikir, “Kenapa aku tidak ikut
meninggal pada saat itu? Kenapa Tuhan? Kenapa?” Aku
memberotak dalam hati.
Saat pulang sekolah, kakak sepupuku mengajakku ke sebuah toko yang juga menjual boneka.
Katanya ia mau membelikanku boneka. Ia menyuruhku
memilih sendiri boneka kesukaanku.
Sifat perhatiannya membuatku rindu pada kakak kandungku. Setelah membeli
boneka, dia mengajakku dan Vino ke taman. Di sana aku melihat banyak anak yang tampak sedang bahagia.
“Kak, ada apa kakak mengajakku ke sini?”
“Kata tanta, kamu dari semalam hanya
menangis. Jadi kakak sama Vino mengajak kamu jalan jalan,” kata kak Marko.
“O ya, memangnya kakak sama Vino tidak
keberatan?”
“Keberatan? Sungguh
tidak. Kakak malah senang mengajak kamu dan Vino jalan-jalan. Kita bisa bersama-sama bertiga.”
Aku hanya membalas
perkataan kak Marko dengan senyuman yang
menjadi salah satu warisan ibuku dan menjadi kekuatanku.
Tetapi kejadian
itu selalu saja ada di benakku sampai kapan pun. Aku pun pulang bersama Vino dan kak
Marko. Di dalam mobil, kami
hanya bercanda. Candaan mereka, lelucon
mereka, cerita
mereka membuatku tertawa. Tiba di
rumah tantanku, suasana
terasa sangat sepi, tidak
seperti di taman tadi. Hanya sesekali terdengar deru kendaraan yang lewat.
“Kak, tanta sama om ke mana? Bukannya ini sudah sore?”
Aku kaget, kak Marko dan Vino tiba-tiba
menghilang. Aku takut. Aku segera memberanikan diri untuk masuk. Aku segera
menyalakan lampu. Sungguh terkejut, aku sangat terharu atas apa
yang terjadi. Aku menangis.
“Happy Birthday,” gemuruh suara orang-orang di dalam rumah itu segera terdengar.
“Selamat ulang tahun
sayang, semoga
panjang umur, sehat
selalu, makin
sopan, ramah, peduli dan bahagia terus ya,” kata tantaku.
“Selamat ulang tahun,” kak Marko dan Vino pun turut mengucapkannya.
Aku tersenyum bercampur rasa haru di hari
ulang tahunku ini. Hari dimana kecelakaan itu juga terjadi, waktu
itu. Aku menangis sesaat. Mengenang waktu itu. Ketika ajal hendak
menjemputku namun Tuhan masih menggendongku lalu membiarkan keluargaku pergi
tanpa kembali. Air mataku berderai membasahi pipiku. Tantaku
segera mendekapku, menenangkanku.
“Sudahlah, bahagia saja. Pasti mereka di sana juga bahagia,” kata tantaku.
The
Ellen Kristin Hartman_ Siswa Kelas VII K SMP Frater Maumere, Kabupaten Sikka
0 Comments