Created by: rf/mpcntt |
Pengantar Redaksi:
Hari ini (Tanggal 6 Januari) merupakan hari kelahiran salah satu sastrawan, dan
seniman kenamaan Lebanon, Kahlil Gibran. Meski raganya sudah tidak ada lagi
lebih dari setengah abad yang lalu namun karya-karyanya masih tetap hidup di
kalangan pencinta sastra dan seni. Artikel ini kami turunkan sebagai bentuk
penghormatan terhadap sang maestro sekaligus memperkenalkan sosok yang satu ini
khususnya kepada kalangan pelajar, mahasiswa dan generasi muda umumnya dengan
harapan pengalaman hidup serta karya-karya penulis novel “Sayap-sayap Patah”
ini dapat menginspirasi generasi muda untuk berkarya.
KAHLIL GIBRAN lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di
Beshari yang terletak di sebuah dataran tinggi di pinggiran salah satu karang
terjal Wadi Qadisha (Lembah Suci Keramat). Desa Beshari secara geografis
berada di bagian utara Lebanon.
Nama lengkap Gibran dalam bahasa Arab adalah Gibran
Khalil Gibran. Ejaan “Khalil” yang asli diubah menjadi “Kahlil” sesuai lidah
orang Inggris berkat anjuran guru bahasa Inggrisnya di sekolah tempat ia
belajar di Boston. Karena itu Gibran Khalil Gibran selalu dikenal sebagai
Kahlil Gibran.
Gibran termasuk pengikut Gereja Katolik Maronit. Kristen Katolik Maronit adalah Gereja
yang bernaung dalam lingkungan Gereja Katolik Roma tetapi tidak menggunakan
liturgi berbahasa Latin. Bahasa Liturgi yang digunakan adalah bahasa Aramia dan
Siria. Kristen Maronit juga memperbolehkan seseorang yang sudah menikah dan
berkeluarga untuk menjadi pendeta. Akan tetapi yang menjadi pendeta sebelum
menikah, tidak boleh menikah setelah menjadi pendeta.
Ayahnya, Khalil bin Gibran, adalah seorang gembala yang
tidak ingin merubah nasibnya sebagai petani. Ibunya, Kamila, merupakan anak
terakhir dari pendeta Estephanos Rahmi. Gibran mempunyai dua orang saudari
(adik), masing-masing Mariana (1885) dan Sultana (1887), dan seorang saudara
(kakak) tiri bernama Peter. Gibran menerima pendidikan awalnya di rumah dari
ibunya yang adalah seorang polygot (Sebutan
untuk orang yang mampu menguasai beberapa bahasa asing. Kamila menguasai bahasa
Arab, Perancis dan Inggris) yang juga
memiliki bakat seni musik.
Pada usia 10
tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.
Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang
banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika
Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah
umum di Boston,
diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak
kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama
tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut,
di mana dia belajar di College de la Sagasse sekolah tinggi Katolik Maronit
sejak tahun 1899 sampai 1902.
Selama awal masa remaja,
visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah
lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang
sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan
ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.
Gibran meninggalkan tanah
airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, tetapi ingatannya tak pernah bisa lepas
dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang
negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru
memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda
menjadi satu.
Gibran menulis drama
pertamanya di Paris dari
tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya
pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan
di New York City, yang berisi empat cerita
kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang
dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan
dari gereja Maronit. Akan tetapi,
sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara
pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa-masa pembentukan diri
selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral
Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya
yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.
Gibran segera kembali ke
Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup
saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan
dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya
adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan
kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu
terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya
lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha
keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Pada tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna
membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil
menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat
meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.
Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup
senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang
wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki
hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai
1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke
Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota
Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.
Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran
bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang
sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.
Sebelum
tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku
ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma
terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan
suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap
sebagai otobiografinya.
Pengaruh
"Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena
di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai
kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk
memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama
"Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.
Gibran
sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun
berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan
penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan
kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang
pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal
di Amerika.
Ketika
Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti,
seorang novelis Prancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata
pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran
memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia.
Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan tuberkulosis,
tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari
terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di
Greenwich Village.
Hari
berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk
mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu
juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.
Jenazah
Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis (sekarang Gibran Museum),
sebuah biara Karmelit di
mana Gibran pernah melakukan ibadah.
Sepeninggal
Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah
peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku
masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak
sekali membantuku."
Karya-Karya
Gibran termasuk penulis dan penyair yang sangat
produktif. Ada begitu banyak karya tulis yang dihasilkannya. Umumnya
karya-karya Gibran ditulis dalam dua bahasa; bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Karya-Karya Dalam Bahasa Arab: al-‘Arwah
al-Mutamarridah (1906), ‘Ara’ is al Muruj (1908), al-‘Ajnihah al-Mutakassirah
(1912), Dam’ah wa Ibtisamah (1914), al Muwakib (1919), al-‘Awasif (1920), al-Badayi’wa
Taray (1925)
Karya-Karya Dalam Bahasa
Inggris: The Madman/ Si Gila (1918), The Forerunner/ Si Pelopor (1920), The Prophet/
Sang Nabi (1923), Sand and Foam/ Pasir dan Buih (1926), Jesus The Son of Man/
Yesus Anak Manusia (1928), The Earth Gods/ Dewa Bumi (1931), The Wanderer/
Pengembara (1932), The Garden of The Prophet/ Taman Sang Nabi (1933), Prose
Poem/ Penyair (1934), Secret of The Hearts/ Rahasia Hati (1947), Tears and
Laughter/ Air Mata dan Senyuman (1949), Voice of The Master/ Suara Sang Nabi
(1958), A Self-portrait/ Potret Diri (1959), Thoughts and Meditations/ Renungan
dan Meditasi (1960), The Vision/ Visi Rohani (1997), Spirit Brides/ Roh
Pengantin (1998)
Selain karya-karya yang disebutkan di atas, ada juga sejumlah
tulisan Gibran berupa puisi, prosa dan cerpen yang diterbitkan di berbagai
media cetak dan surat kabar.
Pengalaman Hidup di Lebanon
Sebelum Gibran dilahirkan, sudah banyak orang yang keluar
dari Suriah dan Lebanon. Sebagian diri mereka bermukim di Mesir, Amerika dan
sebagian lainnya di Eropa. Mereka yang tidak beruntung melarikan diri,
diasingkan atau digantung di alun-alun untuk menjadi contoh bagi mereka yang
berusaha menentang sultan.
Turki menaklukan Suriah pada tahun 1559, lebih dari 350
tahun sebelum Gibran lahir (1883). Tetapi pegunungan Lebanon terlalu sulit
untuk ditaklukkan pasukan Turki. Oleh karena itu Turki menduduki wilayah pantai
dan daratan, dan menyerahkan daerah pegunungan beserta penduduknya yang keras
kepala ke pemerintahan mereka sendiri di bawah pengawasan seorang utusan yang
ditunjuk oleh Turki, dengan memberi peraturan agar mereka membayar pajak ke kas
negara.
Pada masa Gibran, Lebanon dan Palestina merupakan bagian
dari Syria yang masih berada di bawah kekuasaan Turki Otoman. Pada akhir perang
dunia pertama, kekuasaan Turki atas Syria diambil-alih oleh Prancis berdasarkan
keputusan Majelis Tinggi Liga Bangsa-Bangsa.
Sedangkan Palestina berada di bawah protektorat Inggris.
Mandat Prancis itu bertujuan untuk mempersiapkan kemerdekaan dan kedaulatan
Syria dan Lebanon. Buram konstitusi yang dibuat oleh Prancis itu kemudian
ditolak oleh Syria karena Prancis memperluas wilayah Lebanon hingga mencakup
wilayah Syria. Ternyata perluasan wilayah Lebanon oleh Prancis itu bermuatan
politik. Prancis menginginkan sebuah Le Grand Libano (Lebanon Raya) yang
nanti menjadi pijakan untuk mempertahankan kekuasaannya di Timur Tengah. Tujuan
lain ialah untuk memperluas kekuasaan Kristen Maronit dan mempersempit wilayah
kekuasaan Islam.
Di antara beberapa golongan Kristen di wilayah Lebanon,
Kristen Maronit-lah yang menjadi mayoritas. Golongan ini mendapat perhatian
istimewa dari Prancis dengan jalan memperluas wilayah huninya.
Syria sangat menentang kebijakan politis ini dan tetap
memandang Lebanon sebagai bagian dari wilayahnya. Cara pandang Prancis dan
Syria berada dalam kancah pertentangan. Pihak Prancis menginginkan Lebanon
Raya, sedangkan Syria tetap melihat Lebanon sebagai kedaulatan Grand Syria (Syria
Raya). Syria berdasarkan batas-batas yang telah ditentukan oleh kekuasan
Ottoman, tetap mengabdikan Lebanon dan Palestina di bawah kedaulatannya.
Polemik antara Prancis dan Syria berlanjut hingga dikukuhkannya petisi oleh
Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1946. Dalam petisi itu, Syria dan Lebanon sebagai
satu kesatuan.
Lebanon secara keagamaan didiami oleh beberapa agama
monotheisme. Pembagian penduduknya cenderung didasarkan pada agama yang
dianutnya. Pola kependudukan seperti ini menimbulkan konflik-konflik antar
agama.
Keadaan pertentangan agama mulai memudar ketika lahir
semangat Nasionalisme Syria dan gerakan Pan Arabisme untuk menentang
penjajahan Turki Ottoman. Semangat kesatuan berbangsa mengungguli semangat
fanatisme agama. Kahlil Gibran adalah sosok penjelmaan zaman kebangkitan
nasionalisme Arab tersebut.
Kondisi semangat berbangsa semakin kental dan keadaan
berpikir agamais semakin sirna ketika terungkap prinsip-prinsip nasionalisme, “Addien
Lillah wal watun Liljamie” (Agama untuk Tuhan, tanah air untuk semua), “Baini
wa Bainallah” (Agama itu urusan aku dengan Allah). Maka ketika pemerintah
Turki Ottoman mengibarkan panji Islam, jemaah Islam Lebanon serentak berseru, “Anna
Arabi global Islam” (Aku anak Arab sebelum Islam).
Dalam dinamika semangat nasionalisme inilah Gibran tumbuh
dan berkembang. Keterlibatannya dalam kancah politik terbukti dari beberapa
tulisan, pidato-pidatonya dalam berbagai kesempatan dan surat-menyurat dengan
rekan-rekannya. Itulah alasan mengapa Gibran diakui sebagai salah satu figur
pelopor kebangkitan bangsanya.
Selama masa awal remaja, visinya tentang tanah kelahiran
dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani Kerajaan Turki, sifat munafik
organisasi gereja, dan peranan kaum wanita Asia Barat yang sekedar sebagai
pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam
karya-karyanya yang berbahasa Arab. Sejak kecil, Gibran meninggalkan tanah
airnya namun ingatannya tak pernah lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi
inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan
dirinya. Ini yang kemudian justru memberikan kebebasan untuk menggabungkan dua
pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.
Kecemerlangan Gibran sungguh tidak bisa dilepas-pisahkan
dari dunia Lebanon. Bahkan semua tulisan awal Gibran berlatar Lebanon.
Keindahan tanah mistik ini menjadi pelipur laranya, sumber imajinasinya dan
kelak menjadi sumber kerinduannya. Kerinduan kepada tanah air Lebanon dibawanya
sampai pada nafas terakhirnya. Dalam memaparkan biografi Gibran, Ghougassian
menulis bahwa Gibran tidak dikebumikan di Amerika, namum sesuai kehendaknya ia
dibawa ke Lebanon dan dikebumikan di sana.
Demikianlah pengamalan hidup Gibran di Lebanon telah
turut menentukan lahir dan berkembangnya pemikiran Gibran. Pengalaman hidup
yang dimaksud tidak lain ialah segala sesuatu yang dialaminya bukan saja
sebagai rangkaian peristiwa semata namun sebagai pengalaman-pengalaman yang
telah turut membangun keutuhan diri Gibran, baik semenjak masa kecilnya maupun
ketika ia kembali dari Amerika untuk belajar di Sekolah Al-Hikmah Lebanon.
Gambaran Umum Filsafat Kahlil Gibran
Gibran tidak menulis tentang filsafat, tetapi saat ia
mulai menulis karya besarnya, Sang Nabi, yang membahas persoalan
kelahiran dan kematian, ia menempatkan dirinya dalam ungkapan bergaya Sokrates,
“kenalilah dirimu”. Seorang wanita bertanya kepadanya, “Wahai nabi
Allah...beritahu kami semua yang ditunjukan kepadamu di antara kelahiran dan
kematian.” Segera Gibran menulis, “Aku tidak menyukai hukum-hukum ciptaan
manusia dan aku melarang tradisi bahwa nenek moyang kita meninggalkan kita.” Ia
menempatkan dirinya di dalam lingkup ahli agama yang menggambarkan secara
khusus salah satu prinsip St. Agustinus, “Manusia tidak boleh ragu kecuali ia
hidup, berpikir dan menyadari bahwa ada sesuatu bernama kebenaran.”
Karya-karya
besar Gibran seperti The Prophet, The Garden of The Prophet dan The
Earth of Good banyak memuat pemikiran-pemikiran filosofis Gibran. Bahasan
dalam buku- buku tersebut mengandung makna yang amat dalam- bersifat filosofis
tentang Tuhan, alam, kehidupan manusia, eksistensi kesempurnaan manusia dalam
spiritual, religiositas dan humanisme.
Pada dasarnya, semua kotbah para nabi berkisar pada satu
dimensi mengenai relasi sosial yang otentik. Al-Mustafa dalam Sang
Nabi mencabut semua situasi intersubyektif-perkawinan, hukum, anak-anak,
persahabatan, hadiah dan lain-lain di mana manusia berhubungan satu sama yang
lain. Namun The Prophet juga mengajarkan bagaimana hubungan eksistensial
ini dilakukan secara murni.
Intersubyektifitas bukanlah satu-satunya jenis hubungan
yang hendak disampaikan Gibran. Pada dasarnya The Prophet dan dua
karyanya yang lain, The Garden of The Prophet (1933) dan The
Earth Gods (1931) membentuk sebuah trilogi yang diarahkan untuk
melaksanakan dimensi eksistensi manusia. Ungkapan-ungkapan filosofis teknis
yang sesuai adalah Mitwelt (sinonim Mitdasein, berhubungan dengan
pikiran-pikiran/ orang lain), Umwelt (hubungan dengan dunia) dan Gotteswelt
(hubungan dengan Tuhan).
The Garden of The Prophet mengkaji hubungan
manusia dengan alam (Umwelt). Yang ditekankan adalah hubungan antara
“ekologi” dan “environmentalisme”, tidak dengan perspektif keilmuan, melainkan
syair. Kosmologi yang dikedepankan Gibran dalam buku itu sangat
antropomorfisis. Dia mendeskripsikan emosi manusia dengan konsep yang dipinjam
dari alam.
The Earth Gods menekankan hubungan Tuhan dengan
manusia (Gotteswelt). Manusia memiliki keinginan untuk lebih dekat
dengan Tuhan. Dalam filsafat Gibran, manusia cenderung mendekati Tuhan “dalam”,
“melalui” dan “dengan” cinta semata. Essai ini merupakan dialog yang terjadi
antara tiga dewa, dua di antaranya menganggap bahwa “manusia adalah makanan
untuk para dewa”. Artinya, manusia adalah makanan untuk persembahan kepada para
dewa dan mainan untuk memuaskan perilaku mereka. Bagaimanapun, dewa ketiga
adalah segala keharuan; ungkapan-ungkapannya merupakan upaya untuk merubah
sikap dua dewa lain yang totaliter; dia mengingatkan keduanya bahwa cinta
merupakan kebijakan para dewa. Akhirnya untuk mengikat keduanya di sisinya,
demi kenyamanan manusia, dia mengingatkan keduanya bahwa manusia mampu melaksanakan
kebijakan para dewa; dia memberi mereka panggilan cinta laki-laki untuk
perempuan. (rf/red/dari
berbagai sumber)
0 Comments