Agustin Palmarista Bela
Siswi SMAK Baleriwu Danga, MbayIlustrasi |
Rino.
Inilah sapaan manis buatku, di kalangan teman-teman frater. Aku adalah salah
satu mahasiswa di fakultas filsafat yang
mengusung cita-cita ingin bekerja diladang Tuhan. Kekhasan kami jika kami
berpergian selalu diiringi sapaan yang tak kunjung henti. Namun, dilorong kumuh
tak bertuan ini ada yang beda. Tampak sosok wajah ayu, indah, dan menawan yang
sesaat membuatku terperangah. Detik ini aku pun terhipnotis hingga tak sadar
kakiku terbentur pada tapak keras lorong. Rasa sakit dan malu menjeratku. Tak
ada kata lagi yang dapat terucap, hanya senyuman yang menjadi ekspresi tunggal
saat itu. Di saat aku terdiam seketika itu juga tangan lembutnya menghampiri.
Inginku menolak tapi keinginan itu pupus tanpa alasan. Perlahan kuraih
tangannya. Tangannya kuat menggegamku agar aku bisa berdiri. Rupanya aku
terlalu berat sehingga ia pun tak mampu mengangkatku. Ia pun akhirnya
kehilangan keseimbangan akibat high sepatu miliknya patah. Rapuhnya tumpuannya
membuat tubuhnya jatuh tepat dipelukanku. Tak hanya itu, bibir manis miliknya
pun mendarat dengan sempurna di pipi kiriku. Rasa malu pun menyelimuti tragedi
romantis saat itu.
“Tidak
apa-apa kan?,” tanyaku berusaha mencairkan suasana. “Iya, tak apa-apa,”
jawabnya lembut.
Inilah
prolog cintaku. Di sini percikan cinta tertambat direlung hatiku. Cinta yang
tumbuh lewat tatapan, senyum dan satu kecupan hangat tanpa alasan.
“Eh……,
terimakasih sudah membantuku. Kenalkan, namaku Rino,” kataku dengan penuh
percaya diri.
“Oh
iya, namaku Fanny,” katanya sambil sambil mengulas senyum manisnya.
Pertemuan
yang tak terduga. Bagiku ini adalah awal dari cinta. Sebuah awal yang indah untuk
kisah kami selanjutnya.
****
Hari
pun terus berlalu tak sedikit pun memudarkan kisah kami.
“Frater
Rino!,” Suara yang tak asing lagi itu terdengar dari pojok ruangan kampus
sembari melambai-lambaikan tangannya. Ternyata Fanny. Ia pun mendekatiku.
“Frater
sebentar ada kegiatan tidak?,” tanyanya penuh harap.
“Tak
ada, memangnya kenapa Fan?,” tanyaku balik.
“Aku
ingin ajak Frater ke pantai.”
Tawaran
ini langsung kusambar dengan anggukan penuh semangat. Tak berpikir panjang lagi
kami pun bergegas. Tepat jam dua siang kami tiba di pantai. Dengan hati girang,
aku membawa Fanny ke tempat yang indah, yang mungkin belum pernah dilihatnya.
Ternyata benar keindahan alam yang kutunjukkan kepadanya membuatnya terkesimah.
Sesekali Fanny berdiri, ia mengambil kameranya dan mulai memotret. Aku pun tak
luput dari bidikan lensa kamera kesayangannya. Saat memotret mata kami saling
beradu pandang. Cintanya pun makin larut dalam perhatianku. Getaran cinta yang
mendominasi ini menuntunku untuk terus menatapnya semakin dalam. Rasa untuk memilikinya
semakin kuat dan memaksaku untuk mengatakan yang sejujurnya.
“I
Love you, Fanny.” Kalimat spesial ini pun terucap. Mendengar kata-kataku ini
Fanny pun jadi tersipu malu. Namun mataku terus memaksanya agar bisa membalas.
Fanny hanya terdiam. Perasaanku pun akhirnya jadi tak karuan dan serba salah.
“Aku
juga mencintaimu.” Kalimat ini langsung membuyarkan perasaanku.
“Hore,
akhirnya harapanku terjawab,” gumanku dalam hati. Tak berselang lama
kuhampirinya dan kudekapkan dia dalam pelukanku. Kami pun terbuai dalam dekapan
mesra. Inilah awal dari pertualangan cinta kami.
*****
Waktu
kian menua, terus merangkak menggapai bulan. Tak terasa lima tahun sudah
hubunganku dengan Fanny terjalin. Saat ini pikiranku melayang. Aku dihantui
oleh pertanyaan-pertanyaan yang kian menjajah pikiran ini, “manakah yang harus
kupilih?” Panggilanku atau Fanny?.” Pertanyaan ini kian bergema dan menyiksaku.
Aku pun makin rapuh dan tak berdaya memikirkan pergolakan rasa ini.
“Tuhan,
aku bosan menunggu. Saat ini aku harus memilih. Aku tak bisa mundur maupun
menjauh. Pilihan ini, harus secepatnya aku putuskan,” keluhku. Waktu pun terus
berganti. Malam terus menjemput kesendirianku sembari merenung jawaban yang pasti.
Semua ini adalah jalanTuhan, apapun resikonya. Ini merupakan tantangan yang
harus aku hadapi.
Keesokan
harinya aku melangkah menuju rumah Fanny dengan hati gundah gulana. Aku siap
menerima apa yang ia katakan padaku. Entah itu amarah, cacian, ataupun
tangisan. Dalam relung hatiku terbingkai satu kata “maafkan aku.” Lagi-lagi air
mataku menetes. Aku dilema. Bagiku ini adalah salah satu hal yang tersulit yang
aku alami. Sesampainya di rumahnya, Fanny langsung menatapku heran. Mungkin
karena ia melihat raut mukaku yang tampak galau. Kuraih tangannya, kupeluknya
dalam dekapan yang mendalam.
“Fan
maafkan aku. Sepertinya kisah kita harus berakhir di sini. Aku mau fokus dengan
panggilanku. Kuharap engkau dapat memahaminya,” tuturku pedih.
Kulihat matanya berbinar seolah menahan peri
yang amat menyayat hatinya. Tanpa kata ia meninggalkanku dan menuju kamarnya.
Duniaku saat itu serasa hampa. Aku berusaha menguasai perasaanku sambil menunggu
jawaban Fanny. Tak lama kemudian Fanny keluar dan menghampiriku. Mata kami pun
saling beradu pandang. Tatapannya terlihat begitu tajam menelusuri setiap lekukan
wajahku. Aku tak berdaya.
“Aku
selama ini selalu berdoa agar kita bisa bersama di masa depan. Namun, jika itu
tidak terjadi aku hanya bisa berharap dapat memilikimu lagi di kehidupan kita
yang akan datang,” kata-kata ini tiba-tiba terucap dari mulutnya. Aku pun
tersentak dengan kebesaran jiwa Fanny. Dalam hati ku berguman Tuhan punya rencana
yang terbaik bagi setiap orang yang berani menata masa depan dengan segala konsekuensinya.
(*)
(Sumber:
Majalah Pendidikan Cakrawala NTT Edisi 48)
0 Comments