Maria F.
Bajo
Siswa Kelas XII IPA SMAN 1
Tasifeto Barat, Atambua
|
Hujan sore itu mengguyur deras. Guyurannya seakan
mendengungkan nada-nada melankolis yang mengiramakan nyanyian-nyanyian pilu.
Makin lama makin terdengar lirih. Terasa lengkap dengan hembusan angin lembut,
namun mampu menggetarkan kedua rahangku.
Sambil memeluk lutut, aku bergumam, “Yahh… hujan
memang selalu mengerti.”
Kutatap dalam rintik hujan yang jatuh di kaca
jendela kamarku. Tiba-tiba seperti terhipnotis, perlahan aku terbawa ke masa
lampau; masa di kala Desember dengan bahagianya yang menyakitkan. Masih terbayang
samar kisah itu, Mei 2009 awal kita saling mengenal dan tak lama kemudian kita
memutuskan untuk tak hanya berteman.
Aku bahagia… Tidak!! Bukan aku, tapi kami, ya!!!
Kami bahagia meski dihadang waktu dan jarak, sebab mustahil untuk selalu
bersama jika dia bersekolah di sekolah seketat seminari. Mungkin kami tak
selalu bisa melakukan hal yang biasa dilakukan pasangan remaja lainnya yang
dapat menghabiskan waktu bersama; tertawa bersama, menyusuri taman berdua,
menghabiskan malam minggu, dan merayakan Valentine Day. Kami mungkin tak selalu
punya kesempatan itu, tapi karena itulah kami menjadi pasangan istimewa.
Terkadang sedih datang menghampiri, iri datang
mengganggu, namun rindu itu membuatku tetap bertahan. Hanya lewat doa, kita
bisa sekejap bersama. Karena saat hening dalam doa, aku merasakan hadirnya. Dan
karena kami tahu Tuhan yang paling mengerti.
Tiga tahun berselang, kami terus menjalani
warna-warni ikatan yang disebut cinta itu, ikatan yang istimewa, ikatan cinta
yang religious dan apa adanya.
Awal Desember 2013 menjelma… Tak banyak yang kuingat
dari Desember kala itu selain dentangan lonceng Hari Natal dan senjanya yang
menyakitkan.
Pagi itu, dia mengajakku bertemu di taman dekat
kapela itu. Kutengok jam tanganku, pukul 16.15, sudah lewat 15 menit dari yang
dia janjikan. Saat kupalingkan wajahku dari jam tangan, di ujung jalan itu,
telah hadir sosok hangat yang menenangkan, sosok yang selalu kusebut dalam
lantunan doaku.
Dia berjalan pelan sambil merekahkan senyum dari
bibirnya yang tipis. “Apa kau sudah lama di sini?”
“Tidak. Aku baru saja tiba.” jawabku sambil
tersenyum.
“Oh, syukurlah.” Dia menjawab sambil
mengisyaratkanku untuk duduk di bangku taman itu. Kami mulai menceritakan
banyak hal yang belum sempat kami bagi sebelumnya. Sesekali kami tertawa dalam
candaan.
Sedetik kemudian, hening menerpa kami dalam diam dan
bisu. Dia melepaskan genggamannya, lalu menatapku dalam. Ada yang lain dari
tatapan itu.
“Ada apa? Kau membuatku gugup.” Dia memalingkan
tatapan penuh misteri dariku lalu memandang sebuah salib yang bertaktah megah
di kapela itu. Perlahan dia berkata, “Rin, kau tahu kan, ada seseorang yang memiliki
cinta yang begitu besar, bahkan mengalahkan cinta Rama kepada Sinta.”
Akupun menatap salib itu sambil menerka apa yang
sebenarnya ingin dia katakan.
Tapi rasa yang kita miliki lebih besar dari apa yang
dimiliki Rama dan Sinta,” jawabku singkat sambil menatapnya.
Dia balas menatapku, tapi tatapannya kosong.
Senyumnyapun sulit kuartikan. Perasaanku semakin tak tenang.
“Ada apa? Kau ingin mengatakan sesuatu?”
“Ririn, aku ingin memutus ikatan ini. Aku ingin
melepas belenggu ini darimu. Aku ingin kau menjalani ceritamu sendiri, bukan
tentang kau dan aku, bukan tentang kita lagi.”
Dia mengatakannya bersama gerimis lembut sore itu.
Kebingunganku semakin menjadi-jadi. Jantungku
berdebar begitu kencang. Gerimis terasa menikam ubun-ubunku.
Apa maksudmu? Aku tak mengerti!! Kenapa? Kenapa
begitu mendadak?” Suaraku terdengar gemetar. Banyak pertanyaan muncul di
benakku, tapi aku tak tahu mana yang harus kutanyakan lebih dahulu.
Dia diam tertunduk, tak menatapku.
“Tidak… Aku telah lama memikirkannya. Aku… Aku tak
tahu bagaimana mengungkapkannya. Semakin aku menyayangimu, semakin aku ingin
melepaskanmu. Aku bingung. Ini terlalu rumit.”
Aku hanya diam, coba mencerna kalimat yang tak ingin
kupercayai itu.
“Apa alasanmu ini masuk akal? Jangan berkata-kata
seolah-olah semua demi kebaikanku.” Aku mulai marah tapi sebenarnya aku takut.
“Aku mohon, aku hanya tak ingin terluka”. “Apa? Lalu kau pikir aku baik-baik
saja sekarang?” sambungnya.
Air mataku berderai kencang. Aku seperti ingin
berteriak. Tiba-tiba dia mendekapku.
“Maafkan aku. Aku mencintaimu. Tapi cinta Tuhan
padaku lebih besar. CintaNya telah memanggilku, aku tak sanggup menolak. Aku
akan selalu mencintaimu, tapi dengan cinta yang universal, bukan cinta Rama
kepada Sinta.” Ia mengucapkan kalimat itu sambil mendekapku lebih erat.
Aku terpojok, kehilangan tenaga, tak mampu
berkata-kata.
“Ah… kenapa harus dia, Tuhan?” (*)
Sumber: Majalah Pendidikan Cakrawala NTT edisi 44
0 Comments