Robert Fahik, S.Fil., M.Si.
Wartawan Cakrawala NTT
|
Tanggal 27 September 2011, pemerintah Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) meluncurkan sebuah program yang diberi nama Gong
Belajar. Program yang dicanangkan sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan di
NTT ini kemudian dikukuhkan melalui Peraturan Gubernur NTT Nomor 9 Tahun 2012
Tentang Pelaksanaan Gong Belajar.
Ketika
meluncurkan Gong Belajar, Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan, Gong Belajar merupakan sebuah gerakan
untuk memotivasi siswa serta menyadarkan orangtua atau keluarga dan masyarakat
agar lebih aktif melibatkan diri bersama sekolah dan pemerintah dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan di NTT. Menurutnya, aspek pengendalian jam belajar siswa menjadi salah satu program penting
dalam gerakan Gong Belajar, karena fakta menunjukkan bahwa para siswa belum
sepenuhnya memiliki disiplin belajar yang baik. Hal
itu diperparah oleh kurangnya pengawasan dan pengendalian dari orangtua dan
lingkungan. Akibatnya peserta didik memilih perilaku instan untuk mencapai kesuksesan seperti
belajar “kebut semalam” atau menyontek. Aktualisasi Gong Belajar berkiblat pada
tiga hal yakni, pengendalian jam belajar pada jam 07.00 –
13.00 oleh para guru dan jam 17.00 – 19.00
oleh orang tua di rumah, pemondokan siswa siap ujian nasional terutama pada
saat menjelang pelaksanaan ujian nasional serta pemberian reward kepada guru yang berprestasi istimewa dengan indikator
antara lain siswa didik di bidang studi mendapat prestasi istimewa.
Sebagian
kalangan menilai bahwa setelah kurang lebih empat tahun berjalan, program ini
disinyalir memberikan dampak positif bagi peningkatan mutu pendidikan di NTT.
Hal ini ditandai oleh beberapa indikator di antaranya persentase kelulusan
Ujian Nasional (UN) yang meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, di tahun 2011 saat
pertama kali program ini baru di luncurkan, tingkat kelulusan SD 94,43 persen,
naik tajam menjadi 99 persen di tahun 2015 lalu. Sementara tingkat kelulusan
SMP/MTs tahun 2011 yang hanya bertengger di posisi 60,13 persen terus mengalami
kenaikan menjadi 97,39 persen pada tahun 2012, dan naik lagi menjadi 98, 04
persen tahun 2014 dan 99,89 persen pada tahun 2015. Sementara untuk SLTA
tingkat kelulusan tahun 2011 yang hanya bertengger di angka 94,43 persen naik
menjadi 98,98 persen pada tahun 2015 lalu. Selain itu beberapa daerah di NTT sudah mulai
melaksanakan program ini. Sosialisasi melalui media massa pun kerap dilakukan
pemerintah daerah sebagai upaya membangun kesadaran masyarakat tentang
pentingnya keterlibatan semua pihak dalam pendidikan.
Sekali pun demikian, Gong Belajar dinilai belum memberi
kontribusi yang lebih. Hal ini berangkat dari perolehan nilai UN siswa-siswi di
NTT yang setiap tahun selalu berada di posisi buntut, tertinggal dari daerah
lain. Sebagaimana diakui Kepala Dinas Pendidikan dn Kebudayaan Provinsi NTT,
Drs. Sinun Petrus Manuk, tahun 2015, misalnya, hasil UN SMA Provinsi NTT berada
di urutan 34, 33, dan 32 untuk masing-masing jurusan; IPS, Bahasa, dan IPA.
Sedangkan untuk SMP dan SMK, NTT berada di urutan yang lebih baik, yakni di
posisi 23 dan 30. Kenyataan lainnya yakni adanya jurang yang cukup lebar antara
nilai UN dan Ujian Sekolah (US). Umumnya hasil UN di NTT selalu berada di bawah
angka 50, sementara hasil US siswa rata-rata berada di angka 80.
Hal lain yang patut menjadi catatan adalah
gerakan ini belum menjadi gerakan bersama seluruh masyarakat NTT. Bahkan banyak
orangtua yang belum begitu menganggap penting gerakan tersebut. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana
(Undana) Kupang, Drs. Petrus Ly, M.Si, mengatakan, program Gong Belajar belum
memberikan dampak pada hasil ujian nasional (UN) di NTT saat ini. Sama seperti
lonceng gereja, sifatnya hanya mengimbau saja. Gong
belajar itu sebuah konsep, sebuah paradigma yang ingin dimiliki masyarakat,
tapi ini melalui suatu proses sosialisasi, butuh waktu panjang. Mungkin jangka
panjang sekitar lima sampai 10 tahun, tapi saat ini belum memberikan dampak
pada hasil UN. Menurutnya, program Gong Belajar itu baik, hanya saja kultur masyarakat NTT belum
mendukung.
Revitalisasi Gong
Belajar
Menyadari pentingnya Gong Belajar, sambil
mencermati berbagai catatan, akhir tahun 2015 lalu, pemerintah provinsi NTT
meluncurkan Reviltalisasi Gong Belajar.
Revitalisasi Gong Belajar ini didasarkan pada Peraturan Gubernur NTT Nomor 15 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Gubernur NTT Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Gong Belajar. Peluncuran Revitalisai Gong Belajar dilaksanakan dalam kegiatan Musyawarah
Besar Pendidikan dan Kebudayaan (Mubes Dikbud) Provinsi NTT di Kupang, Kamis, 3
Desember 2015.
Ada beberapa tujuan
yang
ditekankan, yakni: (1)
Membangun kesadaran bersama masyarakat bahwa pengelolaan
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama pemerintah, sekolah, orang tua dan
masyarakat,
(2) Menumbuhkan kesadaran siswa akan pentingnya belajar, (3) Meningkatkan kuantitas dan kualitas lulusan, (4) Menumbuhkan
disiplin dan budaya belajar pada siswa, (5) Meningkatkan peran
aktif sekolah, orang tua, masyarakat, tokoh agama dan pemerintah dalam
mengontrol disipln belajar anak, (6) Mengaktifkan kembali
kelompok kerja guru (KKG) Musyawarah Guru Mata pelajaran (MGMP dan kelompok
kerja kepala sekolah (KKS), (7) Mengelola sekolah dengan
menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS), (8) Mengembangkan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, Efektfi dan
menyenangkan (PAIKEM) di sekolah, dan (9) Memaksimalkan peran
pengawas dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui mekanisme pengawasan dan
implementasi kebijakan.
Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu
Raya dalam kegiatan ini meminta semua kepala daerah kabupaten/kota se-NTT dan
jajaran hingga para lurah, RT/RW, para tokoh agama, masyarakat dan pemuda untuk
bersama mendukung anak-anak untuk mengikuti pendidikan. Dengan adanya Revitalisasi Gong
Belajar, kata
Lebu Raya, diharapkan semua elemen bisa memberi kesempatan kepada
anak untuk belajar dengan menciptakan suasana belajar yang kondusif,
juga terutama meningkatkan mutu lulusan.
Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi NTT, Drs. Sinun Petrus Manuk, mengatakan, kalau sebelumnya gerakan Gong Belajar hanya melibatkan para guru, dan orangtua
dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di NTT, pemerintah melakukan revitalisasi dengan melibatkan berbagai pihak antara lain para tokoh
agama, tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan hingga tingkat RT/RW. Artinya, semua pihak harus bersama-sama berjuang untuk peningkatan pendidikan di daerah ini. Menurutnya,
selama perjalanan gerakan Gong Belajar sejak dicanangkan tahun 2011 lalu,
kontribusinya terhadap peningkatakn kualitas belajar hanya 1,7 persen. Dengan revitalisasi gerakan Gong Belajar, kata Manuk, kita berharap kontribusinya akan lebih besar lagi.
Quo Vadis “Gong
Belajar”?
Sejak
diluncurkan tahun 2011 lalu, Gong Belajar terus bergema. Sayangnya gagasan
mulia ini belum mengakar di lingkungan pendidikan kita, baik di sekolah maupun
di rumah. Bahkan tidak sedikit kalangan merasa pesimis dan bertanya-tanya, ”Quo
Vadis Gong Belajar?”; ”Mau ke mana Gong Belajar?” Dalam arti yang lain, tidak
berlebihan jika kalimat tersebut diterjemahkan sebagai ”Mau di bawa ke mana
Gong Belajar?”, atau ”Sudah sampai di mana Gong Belajar?”
Sesungguhnya
Gong Belajar adalah seruan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa membangun
pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Semua pihak perlu merasa memiliki
keterpanggilan untuk terlibat secara aktif dalam urusan pendidikan. Mengacu
pada gagasan Gong Belajar, selain pemondokan siswa jelang ujian nasioal dan
pemberian reward bagi guru, kiranya pengawasan
jam belajar patut menjadi catatan penting terutama bagi guru dan orangtua.
Dalam konteks
pendidikan formal di lingkungan sekolah, para guru diminta untuk hadir secara
utuh bagi siswa selama jam sekolah (jam 07.00 – jam 13.00). Dalam hal ini
profesionalisme guru mutlak dituntut, baik sebagai individu yang terus belajar,
maupun sebagai guru yang terus mendampingi para siswa dalam belajarnya. Setiap
jam pelajaran hendaknya selalu terisi dengan proses belajar-mengajar yang
menarik dan menciptakan keaktifan siswa. Kalaupun ada guru yang berhalangan
hadir di kelas karena alasan mendasar, kiranya siswa diberikan tugas tertentu
atau diwajibkan untuk memanfaatkan waktu kosong di perpustakaan dengan membaca
buku, majalah, atau referensi lainnya yang tersedia.
Pada sisi
lain, orangtua diharapkan untuk tidak melepas tanggung jawabnya sebagai ”guru”
di rumah dengan menciptakan suasana belajar yang kondusif, setidaknya pada jam
17.00 – jam 19.00. Pada jam dimaksud, sedapat mungkin anak diarahkan serta
dibiasakan agar menggunakan waktu yang ada untuk belajar. Bisa dengan membaca
ulang bahan pelajaran hari tersebut, mengerjakan tugas yang ada, membaca buku,
atau menghasilkan karya tulis tertentu. Untuk mendukung hal ini, kebiasaan
sederhana seperti mematikan televisi bisa dilakukan para orangtua agar tercipta
suasana belajar yang kondusif bagi anak.
Jika hal-hal
di atas bisa dimulai dalam lingkungan pendidikan kita (baik di sekolah mau pun
di rumah), maka gagasan brilian Gong Belajar rasanya tidak perlu direvitalisasi
lagi untuk keduakalinya. Mengapa? Karena kesadaran untuk menggunakan waktu
belajar secara bijak sudah menjadi budaya yang mengakar dalam diri setiap
peserta didik. Kalau sudah seperi itu, menurut saya, tidak perlu ada lagi yang
bertanya ”Quo Vadis Gong Belajar?” Gong Belajar telah menjelma dalam kesadaran
masyarakat pendidikan; guru, orangtua, dan terutama peserta didik untuk terlibat
secara utuh dalam urusan pendidikan.(*)
0 Comments